Hujroh - Forum Pesantren Indonesia Alumni Pesantren Indonesia Forum      Misi Hujroh
 

Main juga kesini sul:
The Ghurfah Kisah Sukses Alumni Alumni di Luar Negeri Bisnis Online Hikayah fi Ma'had Railfans Dunia Pesantren Ekonomi Islam
Forum  Life & Solution  Keluarga 
METODE DAN SARANA MENDIDIK PADA ANAK DENGAN KEBIASAAN
Pages: [1]

(Read 566 times)   

Co Hujroh

  • Abadan fi Ma'had
  • ***
  • Co Hujroh No Reputation.
  • Join: 2018
  • Posts: 2095
  • Logged

METODE DAN SARANA MENDIDIK PADA ANAK DENGAN KEBIASAAN

Mendidik dengan Kebiasaan
Telah ditetapkan dalam syariat Islam bahwa anak semenjak lahir sudah diciptakan dalam keadaan bertauhid yang murni, agama yang lurus, dan iman kepada Allah. Sebagaimana yang difirmankan Allah:
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakanmanusiatidakmengetahui." (QS. Ar-Rum [30]: 30)

Rasulullah Saw juga bersabda:

"Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah." (HR. Al-Bukhari)
Maksudnya, yaitu dilahirkan dalam keadaan tauhid dan iman kepada Allah.
Dari sini, tibalah saatnya pembiasaan, pendiktean, dan pendisiplinan mengambil perannya dalam pertumbuhan anak dan menguatkan tauhid yang murni, akhlak yang mulia, jiwa yang agung, dan etika syariat yang lurus. Sudah tidak diperselisihkan lagi bahwa ketika anak memiliki dua faktor ini: faktor pendidikan Islam yang luhur dan faktor lingkungan yang kondusif, sudah bisa dipastikan anak tersebut akan tumbuh dalam iman yang kuat, memiliki akhlak Islam, serta mencapai puncak keagungan jiwa dan pribadi yang mulia.
Mengenai faktor pendidikan Islam ini, Rasulullah Saw telah menguatkannya dengan lebih dari satu hadits:

 "Seseorang mendidik anaknya lebih baik daripada bersedekah dengan satu sha'.” [HR. At-Tirmidzi)

"Tidak ada hadiah yang diberikan seorang ayah kepada anaknya yang lebih baik daripada pendidikan yang baik." [H R. At-Tirmidzi)
"Ajarkanlah anak-anak dan keluarga kalian kebaikan dan didiklah mereka." (HR. Abdurrazaq dan Sa'id bin Manshur)
 "Didiklah anak-anak kalian dengan tiga perkara, mencintai nabi kalian, mencintai sanak keluarganya, dan membaca Al-Qur’an." (HR. Ath- Thabrani)
Sedangkan mengenai faktor lingkungan yang kondusif, Rasulullah #| telah memberikan pengarahan masalah itu pada lebih dari satu kesempatan:

"Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi." (HR. AI-Bukhari)
Dapat dipahami dari hadits ini bahwa jika anak memiliki dua orang tua muslim yang shaiih, pasti keduanya akan selalu mengajarkan prinsip-prinsip iman- dan Islam sehingga anak tumbuh dengan akidah keimanan dan keislaman yang kuat. Inilah yang dimaksud dengan faktor lingkungan yang kondusif.
"Seseorang itu tergantung kepada agama temannya. Maka perhatikanlah oleh salah seorang dari kalian dengan siapa seseorang itu berteman." (HR. At- Tirnudzi)
Dapat dipahami dari hadits ini bahwa teman itu akan meniru tabiat temannya. Jika temannya itu seorang yang shaiih dan bertakwa, maka akan didapatkan darinya keshalehan dan ketakwaannya. Inilah yang dimaksud dengan faktor lingkungan yang kor dusif, baik itu di sekolah maupun
lingkungan rumah.
Sudah bisa dipastikan bahwa lingkungan yang baik memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pendidikan seorang muslim untuk membentuk keshalihan dan ketakwaannya, dan pembentukan pribadinya yang beriman, berakidah, dan berkahlak mulia.
Per-hatikan hadits yang mengisahkan tentang seseorang yang telah membunuh 99 orang di bawah ini:
"Dari umat sebelum kalian ada seseorang yang telah membunuh 99 orang. Kemudian ia bertanya tentang orang terpandai di muka bumi ini. Si pembunuh itu pun ditunjukkan kepada seorang rahib. Ia mendatangi sang rahib dan berkata kepadanya bahwa dirinya telah membunuh 99 orang, apakah ada kemungkinan bagi dirinya untuk bertaubat? Sang rahib menjawab, 'Tidak.' Lalu dibunuhlah sang rahib tersebut, sehingga genaplah korban yang dibunuhnya menjadi 100 orang.
Kemudian ia kembali bertanya mengenai orang yang terpandai di muka bumi ini. Lalu ditunjukkan kepadanya seorang ulama. Ia berkata kepada ulama tersebut bahwa dirinya telah membunuh 100 orang, apakah ada kesempatan bagi dirinya untuk bertobat? Ia menjawab, Ya, siapakah yang bisa menghalagi seseorang untuk bertaubat? Pergilah ke suatu daerah. Karena di sana banyak orang yang beribadah kepada Allah. Beribadahlah kepada Allah bersama mereka dan jangan lagi kamu kembali ke negerimu karena itu adalah negeri yang buruk.'
Sang pembunuh pun pergi. Sampai ketika ia tiba di tengah-tengah perjalanan, ia dijemput maut. Saat itu, malaikat rahmat dan malaikat azab berselisih. Malaikat rahmat berkata, 'Ia mati dalam keadaan bertobat menghadap Allah.' Malaikat azab berkata, 'Ia belum pernah melakukan kebaikan sedikit pun.' Kemudian datang seorang malaikat lagi yang berwujud manusia. Ia mencoba untuk mendamaikan di antara kedua malaikat itu. Ia berkata, 'Ukurlah oleh kalian di antara dua daerah itu. Manakah yang paling dekat, maka itu menentukan nasib si pembunuh ini.'
Akhirnya mereka pun mengukurnya. Ternyata daerah yang paling dekat dengan si pembunuh itu adalah daerah yang sedang ia tuju. Malaikat rahmat pun langsung mengambilnya.’’ (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan, "Kemudian Allah mewahyukan kepada tanah ini agar menjauh dan kepada tanah yang satunya menjauh. Lalu berkata, ‘Ukurlah di antara kedua daerah ini.’ Ternyata pembunuh tersebut lebih dekat satu jengkal [ke tempat yang sedang ditujunya), la pun akhirnya diampuni.”
Berdasarkan teks hadits di atas bisa diambil kesimpulan bahwa anak ketika mendapatkan pendidikan yang baik dari kedua orang tuanya dan guru-gurunya dan mendapatkan lingkungan yang kondusif dari temannya yang shalih, maka anak akan terdidik dalam akhlak yang mulia, keimanan, ketakwaan, serta terbiasa dengan setiap etika yang luhur dan mulia.
Berdasarkan prinsip-prinsip ini, sudah menjadi kebiasaan generasi salafus shalih memilih paraguruuntukanak-anakmereka dan mempersiapkan lingkungan untuk tempat mereka tumbuh dalam kebaikan. Begitu juga membiasakan mereka dengan akhlak dan sifat yang mulia.
Al-Jahizh meriwayatkan bahwa ketika 'Uqbah bin Abu Sufyan menyerahkan anaknya kepada seorang guru, ia berkata, "Sebelum engkau membuat anakku menjadi shalih, shalihkanlah dirimu dulu. Karena mata anak-anak ini terikat dengan matamu. Maka kebaikan menurut mereka adalah apa yang engkau anggap baik, dan yang jelek menurut mereka adalah apa yang engkau anggap jelek. Ajarkanlah mereka sejarah orang-orang bijak, akhlak orang-orang yang terpelajar, ancamlah mereka dengan amarahku, didiklah mereka untuk menghormatiku. Jadilah engkau seperti dokter bagi mereka yang tidak segera memberi obat sampai tahu penyakitnya. Janganlah engkau bersandar kepada maaf dariku, karena aku telah bersandar kepada kecakapanmu."
Ar-Raghib AI-Ashfahani menyebutkan bahwa Al-Manshur mengutus utusan kepada orang-orang yang dipenjara dari Bani Umayyah. Ia berkata kepada mereka, "Apakah hal yang paling sulit yang kalian lewatkan selama di penjara ini?” Mereka menjawab, "Kami kehilangan kesempatan mendidik anak-anak kami.”
Berikut ini pesan Ibnu Sina tentang pendidikan anak, "Hendaklah di tempat belajar, anak ditemani anak yang baik akhlaknya dan disenangi kebiasaannya. Sebab, anak itu lebih mudah menerima (pengaruh) dari anak yang lain, ia mengambil (kebiasaan) dari temannya dan mudah menurut kepadanya."
Siapa yang ingin lebih banyak mendapatkan contoh-contoh besarnya perhatian generasi terdahulu terhadap pendidikan anak mereka dan usaha mereka dalam mempersiapkan lingkungan yang baik untuk anak-anaknya, hendaklah kembali pada pendahuluan bagian kedua buku ini. Di sana Anda akan mendapatkan penjelasan yang dapat memuaskan kepenasaran Anda.
Salah besar orang yang menganggap bahwa manusia terlahir sebagai orang baik atau jahat, seperti terlahirnya kambing sebagai oinatang yang jinak dan harimau binatang buas. Sehingga, tidak mungkin mengubah kejelekan pada diri manusia,
seperti tidak mungkinnya mengubah kebaikan yang ada pada dirinya.
Pendapat yang salah ini sudah terbantahkan, baik secara syariat, akal, maupun empiris. Secara syariat, sebagaimana firman Allah:
 

"Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan." (QS. Al-Balad [90]: 10)
Maksudnya, Kami kenalkan kepada manusia jalan kebaikan dan kejahatan.
Demikian juga dengan firman-Nya:

"Dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannyaj, maka Aliah mengilhamkan kepada jiwa itu [jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya." (QS. Asy- Syams [91]: 6-10)
 
"Sesungguhnya Kami telah menun- jukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir." (QS. Al-Insan [76]: 3)
Demikian pula sabda Rasulullah Saw yang telah disebutkan sebelumnya:
"Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi." (HR. Al-Bukhari)
Sedangkan secara akal juga terbantahkan. Untuk apa Allah menurunkan kitab-kitab dan mengutus para rasul? Bukankah untuk membuat manusia baik dan bahagia di dunia dan akhirat? Kemudian untuk apa juga pemerintah membuat undang-undang dan sistem? Lalu mengapa pemerintah ingin mengawasi jalannya sekolah, institut, dan universitas yang ada? Untuk apa pemerintah memilih orang-orang untuk dijadikan guru dan spesialis dari para pakar pendidikan, akhlak, dan sosial? Bukankah itu demi pendidikan, pengajaran, perbaikan akhlak, memerangi kerusakan, dan meluruskan yang menyimpang? Kalau bukan untuk itu, lalu untuk apa kitab-kitab suci diturunkan dan para rasul diutus? Untuk apa juga membuat undang-undang, lalu untuk apa pula adanya guru? Bukankah itu menjadi usaha berat yang tiada guna?
Maka kita bisa mengambil kesimpulan dari pertanyaan-pertanyaan di atas bahwa manusia diciptakan dengan potensi kebaikan dan kejelekan secara bersamaan. Jika ia mendapatkan pendidikan yang baik dan lingkungan yang kondusif, maka ia tumbuh dalam kebaikan dengan keimanan yang murni, akhlak yang utama, dan rasa cinta kepada kebaikan dan kebajikan. Dan di tengah masyarakat, ia menjadi manusia yang beriman, berbudi luhur, dan mulia.
Adapun bantahan secara empirisnya adalah sebagai berikut:
1. Yang teramati di dunia manusia bahwa ketika ada seseorang yang hidup lama dalam kesesatan dan kejahatan dengan tindakan kriminalnya yang sudah teramat parah, sampai-sampai masyarakat di sekitarnya merasa tidak aman dan nyaman dengan keberadaannya. Tiba-tiba, dengan kasih sayang seorang yang shalih, atau seorang guru yang berpengaruh, atau mungkin juga seorang dai yang tulus, berhasil mengubah arah hidupnya dari kerusakan kepada kebahagiaan, memindahkannya dari lingkungan yang jahat kepada lingkungan yang baik. Sehingga, setelah begitu lama ia hidup dalam kejahatan ia berubah menjadi orang yang terkenal dengan kebaikan dan keshalihannya.
Fenomena seperti itu banyak terjadi di sekitar kita sekarang ini yang sudah diliputi gelombang fitnah, dosa, dan kemungkaran. Sehingga tidak mungkin dipungkiri, kecuali hanya oleh orang yang tidak mau menerima kebenaran.
2.   Yang teramati di dunia hewan bahwa manusia diberi kemampuan untuk menjinakkan hewan buas dan melatih hewan sehingga mampu beratraksi. Maka dari itu, kita bisa menyaksikan ada manusia yang menari dengan kuda, bercanda dengan burung, dan mengajarkan binatang buas. Jika ini bisa terjadi pada binatang, maka apalagi pada insting manusia yang menurut ilmu psikologi merupakan insting yang paling fleksibel karena sifatnya yang terkadang mengalami pertentangan, memiliki keanekaragaman, serta menerima percampuran, perubahan, dan pelurusan.
3.   Yang teramati di dunia tumbuh-tumbuhan bahwa benih ketika ditanam di tanah yang subur, rutin disirami, diberi pupuk, serta dijaga dari hama dan gangguan lainnya, kemudian dipelihara dengan memperhatikan duri-durinya dan meluruskan dahan- dahannya, maka benih tersebut akan menjadi pohon yang menghasilkan buahnya setiap waktunya
dengan izin Allah. Sehingga buahnya dapat bermanfaat bagi manusia, dijadikan tempat berteduh, dan manfaat lainnya pads setiap waktu.
Sebaliknya, jika benih tadi tidak dipe-hatikan dengan benar. Tidak disirami, tidak diperhatikan duri- durinya dan dahan-dahannya, maka tentu ia tidak akan menjadi pohon yang nant nya akan menghasilkan bunga dan buah. Ia hanya akan menjadi tanaman tak terurus yang menjadi mainan angin dan tempat bertenggernya burung- burung.
***
Demikian juga dengan jiwa manusia yang memiliki kelemahan, potensi, kecerdasan, dan watak yang ketika dibiasakan dengan akhlak yang luhur, disiram dengan pengetahuan, dan ditopang dengan amal shalih, maka ia akan tumbuh dalam keoaikan secara bertahap mencapai kesempurnaan. Pada akhirnya, bisa membuat si pemilik jiwa tersebut menjadi seperti malaikat yang berjalan di tengah- tengah manusia.
Namun, jika jiwa itu dibiarkan begitu saja sampai dipenuhi karat kebodohan, ditutupi keburukan, dan diliputi kebiasaan yang tercela, maka jiwa tersebut sudah pasti akan tumbuh dalam kejelekan dan kerusakan. Pada akhirnya, si pemilik jiwa itu menjadi seperti binatang buas yang sedang berjalan di tengah-tengah manusia, sedangkan dirinya mengira dirinya adalah manusia yang mulia.
Berdasarkan penjelasan di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa anggapan yang mengatakan tabiat manusia, baik atau jahat, tidak dapat diubah adalah anggapan yang salah. Hal ini terbantahkan oleh syariat, akal, dan bukti empiris. Selain itu juga mendapat bantahan dari para ahli psikologi dan pakar moral.
Di sini cukuplah bagi kita dengan apa yang dikatakan oleh Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumi Ad-Din mengenai pembiasaan anak dengan kebaikan atau kejelekan dengan memandang kepada potensi dan fitrahnya. Ia mengatakan:
"Anak adalah amanah bagi orang tuanya. Hatinya yang suci adalah substansi yang berharga. Jika ia dibiasakan dengan kebaikan, ia akan tumbuh dalam kebaikan dan bahagia di dunia dan akhirat. Adapun jika ia dibiasakan dengan kejelekan dan diabaikan begitu saja seperti binatang, maka ia akan sengsara dan celaka. Maka dari itu, menjaga anak adalah dengan mendidik, mendisiplinkan, dan mengajarkannya akhlak-akhlak terpuji.”
Ibnu Khaldun di dalam Muqaddimah- nya sependapat dengan AI-Ghazali mengenai potensi yang terdapat pada diri anak dan kemungkinannya untuk diperbaiki setelah menjadi rusak. Bahkan, banyak para filsuf barat maupun timur yang sependapat dengan pendapat ini.
Seorang pendidik haruslah membedakan usia dalam memberikan proses perbaikan kepada individu, juga dalam :ara mendidik dan memberikan proses pembiasaan. Sehingga orang dewasa memiliki metode dan cara yang khusus, demikian juga dengan anak kecil.
Dalam manhaj Islam, ketika mem- oerikan proses perbaikan kepada orang dewasa (yaitu yang telah mencapai usia balig] bertumpu pada tiga perkara yang asasi.
Ketiga perkara tersebut adalah mengikatnya dengan akidah, menelanjangi kejelekan, dan mengubah lingkungannya.
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a.   Mengikatnya dengan akidah
Ini adalah asas yang paling berpengaruh pada seorang mukmin agar selalu merasa diawasi Allah, merasakan keagungan-Nya, dan takut kepada-Nya di mana pun dan kapan pun. Ikatan akidah sudah seharusnya membuat kekuatan jiwa dan kehendak diri pada diri seorang mukmin menjadi semakin kuat, sehingga ia tidak akan menjadi budak syahwatnya dan tawanan hawa nafsunya. Bahkan sebaliknya, ia akan selalu terdorong untuk melaksanakan manhaj rabbani (metode/ aturan Allah) sebagaimana yang telah diturunkan dan diwahyukan kepada Rasul- Nya, dengan tanpa ragu ataupun merasa keberatan. Motto dirinya adalah firman Allah Swt :
 
"...Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al- Ma'idah [5]: 50)
"...Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah...” (QS. Al-Hasyr [59]: 7)
Karena di antara konsekuensi dari iman adalah melaksanakan syariah dengan tanpa merasa keberatan, ber-serah diri secara totalitas kepada ajaran Islam:
 
"Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka per- selisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusanyang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." [QS. An-Nisa’ [4]: 65)
Tidak diragukan lagi bahwa semua ibadah, dzikir, tilawah, dan tadabbur Al-Qur'an siang dan malam, merasakan keagungan Allah di setiap kondisi, meyakini akan datangnya kematian, mengimani adanya siksa kubur dan pertanyaan malaikat, meyakini adanya alam akhirat, dan kengerian hari kiamat, semua itu dapat melahirkan perasaan selalu merasa diawasi oleh Allah. Sekaligus membuat manusia menjadi istiqamah dan seimbang dalam memenuhi kebutuhan rohani dan jasmaninya, dan di antara bekerja untuk dunia dan beramal untuk akhiratnya. Memberikan semua haknya masing-masing tanpa mengabaikan atau menguranginya sedikit pun. Motto dirinya adalah sabda Rasulullah Saw:

"Bagi Allah ada haknya pada dirimu, bapi dirimu sendiri ada haknya pada dirimu, bagi keluargamu juga ada hahnya pada dirimu, maka berikanlah setiap masing-masing haknya."
Semua sepakat, ketika seorang mukmin sudah bisa menguatkan rasa selalu diawas Allah dan memiliki kehendak untuk menguasai hawa nafsunya, maka ia akar menjadi baik dari dalam dirinya dan melalukan segala perkara dengan selalu menjadikan akidah dan nuraninya
sebagai standar. Ia tidak akan sesat, fasik atau menyimpang, karena ia memilik; keyakinan yang kuat bahwa Allah past: selalu melihat dan mengawasinya. Dialah Yang Maha Mengetahui semua rahasia dan yang disembunyikannya di dalam dada.
Inilah rahasianya mengapa para shahabat ketika turun pengharaman minuman keras, mereka serentak berkata “Kami telah berhenti, wahai Rabb kami. Dan perkataan mereka itu diikuti dengan membuang semua minuman keras yang mereka miliki di jalan-jalan Madinah.
Ini juga rahasia mengapa masyarakat muslim saat itu berada dalam keshalihan. Sehingga 'Umar bin Al-Khathab m yang menjadi hakim saat kekhilafahan Abu Bakar selama dua tahun duduk tanpa menerima adanya pengaduan tentang perselisihan yang harus diselesaikan. Dan dikisahkan bahwa 'Umar datang kepada Abu Bakar untuk mengundurkan diri dari jabatannya, karena sudah begitu lama ia duduk tanpa ada yang harus dikerjakan disebabkan tidak ada perkara yang harus diselesaikan.
Semua rahasianya adalah perasaan selalu diawasi Allah yang dimiliki oleh para shahabat dalam setiap perkara dan kondisi. Sehingga untuk apa lagi mereka berselisih, sedangkan manhaj rabbani sudah ada di hadapan mereka? Untuk apa lagi mereka bertikai, sedangkan hati mereka telah dipenuhi dengan rasa takut kepada Allah? Mungkinkah mereka menyimpang, sedangkan mereka sudah memberikan kepada semua haknya masing-masing. Karenanya, jadikanlah hal ini pelajaran.
b.   Menelanjangi kejelekan
Inilah cara yang paling efektif untuk membuat puas orang dewasa meninggalkan kemungkaran dan perbuatan dosa. Menelanjangi kejelekan dan membuka kedokkebatilan adalah cara yang dilakukan Al-Qur’an untuk memuaskan orang-orang jahiliyah meninggalkan tradisi dan kebiasaan buruk mereka yang penuh dengan dosa. Kita ambil contoh untuk itu:
Ketika Islam mengharamkan minuman keras, proses pengharamannya adalah dengan turunnya beberapa ayat Al- Qur’an yang turun secara berselang. Secara bertahap, ayat-ayat tersebut menyingkap kejelekan yang terkandung dalam minuman keras, pengaruh buruknya pada diri manusia, dan bahayanya terhadap akhlak, sosial, dan agama.
Pertama kali, turun firman Allah:
"Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buatminumanyang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan." (QS. An-Nahl [16]: 67)
Maka pada ayat itu orang-orang yang berakal akan membandingkan antara minuman yang memabukkan dan rezeki
yang baik. Minuman keras dan rezeki yang baik itu adalah dua hal yang sama sekali berbeda, sehingga mereka mulai menyadari dan siap dengan pengharamannya yang akan datang selanjutnya.
Kedua, turun ayat:
 
"Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, 'Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya...'." (QS. Al-Baqarah [2]: 219)
Ayat ini menguatkan sisi dosa yang terkandung pada minuman keras, dibandingkan dengan manfaat perdagangannya. Hal ini betujuan untuk melepaskan setiap jiwa dari kebiasaan yang sudah melekat.
Ketiga, turun ayat:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedangan kamu dalam keadaanmabuk,sehinggakamumengerti apa yang kamu ucapkan. (Jangan pula aampiri masjid) sedangkan kamu dalam keadaan junub... "(QS. An-Nisa’ [4]: 43)
Disebutkan di dalamnya pengaruh min aman keras terhadap akal dan gangguannya, kecuali jika minuman itu ditinggalkan pada saat-saat shalat.
Keempat, turun ayat:

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu ajar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat A’lah dan sembahyang. Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan
pekerjaan itu)."{QS. Al-Ma'idah [5]: 90-91)
Apakah maksudnya Al-Qur’an menyertakan minuman keras dengan judi dan berhala, kemudianmenyifatinyasebagaihal yang kotor. Setelah itu, mem-peringatkan bahwa semua itu adalah perbuatan setan, lalu menyebutkan bahayanya secara akhlak karena ia dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara manusia, juga menyebutkan bahayanya secara agama karena dapat menghalangi dari dzikir kepada Allah dan dari shalat?
Bukankah ini menunjukkan bahwa minuman keras telah ditelanjangi hakikat sebenarnya, sehingga menjadi jelaslah bahaya dan buruknya minuman keras bagi mereka yang berakal? Apakah ada orang yang menolak pengharamannya setelah dijelaskan keburukannya? Sudah pasti bahwa orangyangberiman dan b erakal akan mengatakan, "Aku ber-henti, wahai Rabbku setelah Engkau menjelaskannya dengan rinci dan selan-jutnya mengharamkannya. Inilah yang dilakukan oleh para shahabat setelah terbuka kedok minuman keras, dan turunnya ayat pengharamannya.
Dan qiyaskanlah berdasarkan pengharaman Al-Qur'an ini semua keyakinan jahiliyah dan kerusakan sosial yang ada. Seperti syirik kepada Allah, zina, riba, judi membunuh, mengubur anak perempuan hidup-hidup, memakan harta anak yatim, dan dosa-dosa lainnya. Al-Qur’an barulah mengharamkannya setelah menerangkan hakikatnya, menyebutkan kejelekannya, dan memerintahkan orang-orang yang berakal untuk menjauhinya. Sebab itu semua dapat memberikan kerusakan kepada individu dan masyarakat sekaligus.
c.   Mengubah lingkungan
Faktor ini tidak kalah pentingnya dengan asas-asas yang lainnya dalam proses perbaikan individu, pendidikan, dan mempersiapkannya menjadi insan yang baik. Sebab, jika memang tidak penting mengapa Allah mengizinkan Rasul-Nya untuk berhijrah ke Madinah? Mengapa Nabi «H memerintahkan para shahabatnya untuk berhijrah?
Bukankah itu untuk membentuk dan mempersiapkan lingkungan yang kondusif untuk pendidikan dan untuk mendirikan negara yang bernaung di bawah syariat yang diturunkan dari Allah dan berada di bawah satu bendera kesatuan yang menyeluruh? Bukankah itu demi proses pe rbaikan insan muslim dalam masyarakat yang diatur oleh aturan Islam dan hukum yang diturunkan dalam Al-Qur'an?
Sebelumnya kami juga sudah menyebutkan hadits tentang seseorang yang telah membunuh 100 jiwa, dan ia datang kepada orang yang paling berilmu untuk bertanya ke padanya, apakah ia masih bisa bertaubat? Makaorangyangberilmutersebutmenjawab, "Pergilah ke suatu daerah, karena di sana banyak orang yang beribadah kepada Allah. Beribadahlah kepada Allah bersama mereka dan jangan lagi kamu kembali ke negerimu karena itu adalah negeri yang buruk."
Bukankah hadits ini menunjukkan bahwa lingkungan yang baik memiliki pengaruh yang kuat terhadap proses perbaikan individu dan meluruskannya dari kebiasaan dan sifat yang buruk? Kami juga sudah menyebutkan hadits Rasulullah 3H tentang pertemanan dapat memberi pengaruh positif atau negatif pada diri individu, karena seseorang itu tergantung pergaulannya dengan temannya. Dari sini, kita tahu bahwa titik permulaan perbaikan individu (termasuk dewasa) adalah mengubah lingkungan yang rusak yang dihuni oleh mereka yang sudah menyimpang dan memiliki kebiasaan jahiliyyah.
Berdasarkan paparan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa manhaj Islam dalam perbaikanindividuyangdewasaberasaskan kepada tiga hal yang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perbaikan akhlak. Ikatan akidah, sebagai asas yang pertama, pada diri individu dewasa melahirkan rasa selalu diawasi Allah dan takut kepadanya, baik ketika sedang sendirian maupun di tengah orang banyak. Ikatan akidah juga dapat menguatkan kehendak diri untuk menahan diri dari hal-hal yang diharamkan dan menghias diri dengan akhlak dan sifat yang terpuji.
Menelanjangi hakikat kemungkaran, membuat individu dewasa merasa puas untuk meninggalkan perbuatan dosa dan bertekad untuk tidak melakukannya lagi. Bahkan, ia merasa nyamanuntuk meninggalkan setiap perbuatan yang mengandung dosa. Mengubah lingkungan sosial, dapatmenyiapkanprosesperbaikan untuk individu dewasa. Yaitu, berupa teman-teman yang baik dan lingkungan yang kondusif. Secara bertahap, individu dewasa ini akan terpengaruh dengan kebaikan lingkungannya sehingga akhlak dan perbuatannya pun menjadi ikut baik.
Maka dari itu, yangharus dilakukan oleh pendidik adalah menjadikan manhaj Islam sebagai rujukan dalam proses perbaikan individu dewasa. Tentunya jika mereka menginginkan kebaikan bagi individu- individu tersebut dan keselamatan serta kestabilan untuk anggota masyarakat.
 
"Katakanlah, 'Inilah jalan (agamajku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjahyang nyata. Mahasuci Allah dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik." (QS. Yusuf [12]: 108)
***
Adapun manhaj Islam dalam perbaikan individu anak, bersandar pada dua asas;
1.   Instruksi
2.   Pembiasaan
Ketika kemampun anak dan fitrahnya dalam menerima instruksi dan pembiasaan lebih besar dibandingkan usia atau fase lainnya, maka pendidik, baik itu orang tua maupun guru harus mengonsentrasikan untuk memberi instruksi kebaikan kepada anak dan membiasakannya sejak ia mulai mema-hami kehidupan. Sebelumnya kami telah menyebutkan perkataan Imam Al- Ghazali, "Anak adalah amanah bagi orang tuanya. Hatinya yang suci adalah substansi yang berharga. Jika ia dibiasakan dengan kebaikan, ia akan tumbuh dalam kebaikan dan bahagia di dunia dan akhirat.”
Mengenai hal ini saya ingin memberikan beberapa contoh untuk para pendidik tentang memberikan instruksi kepada anak kecil dan membiasakan mereka dengan prinsip-prinsip kebaikan agar mereka memiliki pemahaman yang benar:
□ Sisi teoritis:
RasulullahSaw memerintah para pendidik untuk menginstruksikan (memberikan pengajaran) kepada anak-anak mereka kalimat la ilaha illallah (tidak ada ilah yang hak kecuali Allah). Sebagaimana yang diriwayatkan Al-Hakim dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw bersabda:

"Bukalah untuk anak-anak kalian kalimat pertamanya dengan Ia ilaha illallah."
□ Sisi praktisnya untuk instruksi ini adalah membiasakan anak untuk mengimani dan meyakini dengan kedalaman hati dan perasaannya bahwa tidak ada pencipta dan tidak ada tuhan yang hak selain Allah. Dan itu dengan cara memperlihatkan tanda- tanda penciptaan yang dilihat oleh anak, seperti adanya bunga, langit, tanah, laut, manusia, dan makhluk- makhluk lainnya agar anak mengambil kesim-pulan secara akalnya tentang adanya Allah m Sang Maha Pencipta.
Dengan demikian, hakikatkebenar- an yang dicapai oleh pendidik bersama anaknya adalah bahwa alam semesta ini dipenuhi dengan segala benda yang ada yang bisa ditangkap oleh pendengaran dan penglihatan. Semua benda itu tidak mungkin ada dengan sendirinya, karena semua itu adalah benda mati dan tidak memiliki akal, kuasa, pengetahuan, dan kehendak. Kalau begitu, sudah bisa dipastikan bahwa ada pencipta yang mengadakan semua benda tersebut. Dialah Allah
Begitulah caranya pendidik bersama anaksampaikepadakeimanankepadaAllah Yang Maha Esa lagi Maha Pencipta melalui merenungkan dan memikirkan penciptaan langit dan bumi. Di sini secara bertahap bersama anak memulai perenungan dari hal yang bisa ditangkap indra sampai hal yang bisa ditangkap hanya oleh akal. Dari hal yang bersifat parsial kepada hal yang global dan total. Dari yang sederhana kepada yang kompleks sehingga anak merasa puas, secara perasaan dan akalnya, tentang perkara iman kepada Allah secara argumentatif.
 
□ Rasulullah Saw memerintahkan para pendidik untuk menginstruksikan shalat kepada anak-anak mereka saat mereka berusia 7 tahun. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Abu Dawud, dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash bahwa beliau bersabda:

“Perintahlah anak-anak kalian shalat saat mereka berusia 7 tahun dan pukullah mereka (ketika meninggalkannya) pada saat berusia 10 tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka"
Ini adalah tinjauan dari segi teoritis.
Adapun dari sisi praktisnya, dengan mengajarkan anak perihal shalat dan hukum-hukumnya, kemudian membiasakan anak untuk melakukan shalat dengan tekun dan melaksanakannya di masjid secara berjamaah, sehingga shalat menjadi akhlak dan kebiasaannya.
□ Rasulullah Saw memerintahkan para pendidik untuk menginstruksikan kepada anak-anak mereka hukum- hukum tentang halal dan haram. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Al-Mundzir dari Ibnu Abbas m bahwa beliau bersabda:
"Perintahlah anak-anak kalian untuk melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan, karena itu pencegah untuk mereka dan kalian dari api neraka.”
Ini adalah tinjauan dari sisi teoritisnya.
Sedangkan dari sisi praktisnya, yaitu melatih anak untuk melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangannya. Jika pendidik mendapati anak melakukan kemungkaran atau berbuat dosa, ia harus memperingatinya. Katakan kepadanya, "Ini adalah perbuatan mungkar dan hukumnya haram."
Jika pendidikan mendapati anaknya melakukan kebaikan, ia harus menyemangatinya dan mengatakan kepadanya, "Ini adalah perbuatan baik dan halal.” Dengan demikian anak akan memperhatikan dan mengikuti sampai kebaikan menjadi kebiasaan dan akhlaknya.
□ Rasulullah Saw memerintahkan para pendidik untuk menginstruksikan kepada anak-anak mereka untuk saling mencintai nabinya, keluarganya, para shahabatnya, dan membaca Al-Qur’an. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari Ali bahwa beliau bersabda:

"Didiklah anak-anak kalian dengan tiga perkara: mencintai nabi kalian, mencintai keluarganya, dan membaca Al-Qur'an."
Ini adalah tinjauan dari sisi teoritis.
Sedangkan dari sisi praktisnya, pendidik bisa mengumpulkan anak- anaknya dan membacakan kepada mereka kisah-kisah peperangan Rasulullah J||, sirah keluarganya dan para shahabatnya, serta pribadi- pribadi agung dalam sejarah. Ajarkan pula kepada mereka membaca Al- Qur’an. Dengan demikian, anak-anak dapat meniru semangat jihad mereka dan perasaan juga emosi mereka terikat dengan sejarah Islam. Selain itu, mereka menjadi terikat dengan Al- Qur’an, sebagai manhaj dan undang- undang.
Sebelumnya kami sudah menyebutkan apa yang dikisahkan oleh kitab-kitab tarikh dan adab, bahwa Al-Mufadhal bin Zaid melihat seorang anak laki-laki dari seorang perempuan Arab gurun. Al- Mufadhal merasa kagum dengan anak itu, lalu ia bertanya kepada perempuan itu tentang anak tersebut. Perempuan itu berkata, "Ketika ia genap berusia 5 tahun, aku menyerahkannya kepada seorang guru untuk menghafal Al-Qur’an dan membacanya, mengajarkannya syair dan meriwayatkannya, dibuat cinta terhadap kisah-kisah epik kaumnya, serta diperdengarkan kepadanya kisah-kisah kepahlawanan pendahulunya. Lalu ketika ia telah memasuki usia balig, aku menaikannya ke atas kuda untuk berlatih menunggang kuda, memainkan senjata, berjalan di antara rumah-rumah, dan mendengarkan suara yang berteriak meminta tolong.”
***
Inilah yang dimaksud dengan instruksi dan pembiasaan, atau bisa juga disebut dua sisi: sisi teoritis dan sisi praktis dalam membentuk dan mendidik anak agar menjadi seseorang yang berakidah kuat, rajin beramal, dan siap berjihad.
Ini adalah contoh tentang instruksi dan pembiasaan pada anak. Rasulullah sg telah meletakkan prinsip-prinsipnya. Di mana prinsip-prinsip tersebut termasuk ke dalam ruang lingkup manhaj umum dalam Islam tentang pembentukan akidah anak dan mempersiapkan keimanannya. Maka sudah bisa dipastikan jika pendidik mengerahkan segala usahanya untuk mendidik si kecil dengan instruksi dan pembiasaan, maka ia bisa menjadi pejuang Islam. Kelak, ia akan menjadi pembela akidah, dakwah, dan jihad. Umat akan merasa bangga karena memilikinya dan masyarakat merasa gembira karena akhlaknya.
Adapun perkara penting yang harus diketahui oleh pendidik dalam mendidik berbagai macam kebaikan kepada anak dan pembiasan akhlak yang mulia terhadap anak, yaitu: memotivasi anak, kadang memberikan hadiah. Di lain waktu menggunakan metode penyemangatan dan terkadang juga menggunakan cara penakutan. Terkadang juga pendidik harus menggunakan hukuman, ketika ia melihat hal itu bermanfaat bagi anak dalam meluruskan penyimpangan yang terjadi pada dirinya.
Semua metode tersebut bermanfaat dalam pembiasaan anak terhadap berbagai kebajikan, akhlak mulia, dan etika- etika sosial. Cara-cara itu juga dapat menjadikan anak menjadi manusia yang berbudi luhur, mulia, dan istiqamah. Di dalam hatinya terdapat cinta dan di jiwanya terdapat kemuliaan dan kehormatan.
Terakhir saya ingin mengatakan bahwa para pendidik dengan segala perbedaan karakter dan keadaannya, jika mereka menjadikan manhaj Islam sebagai rujukan dalam mendidik, maka anak-anak akan tumbuh dengan memiliki akidah yang kuat dan akhlak Al-Qur'an yang luhur. Bahkan, mereka bisa menjadi teladan dalam perbuatan baik dan sifat yang mulia.
Maka dari itu, yang harus dilakukan pendidikdalammendidikanakadalahdengan menggunakan instruksi dan pembiasaan secara proporsional. Jika mereka melakukan itu maka mereka telah melakukan tanggung jawab dan kewajiban mereka. Selain itu mereka juga telah menyukseskan proses pendidikan serta ikut mewujudkan faktor- faktor pendukung keamanan dan kestabilan di tubuh masyarakat. Pada saat itulah kaum mukminin merasa gembira karena memiliki generasi yang mukmin, masyarakat yag muslim, dan umat yang shalih.
Mendidik dengan kebiasaan dan pendisiplinan merupakan faktor pendukung pendidikan yang paling baik dan efektif. Hal itu dikarenakan metode pendidikan tersebut bersandar pada kegiatar memperhatikan dan mengikuti, penyem, ingatan dan penakutan, dan bertolak dari pemberian bimbingan dan arahan. Maka, kita sangat membutuhkan para pendidik yang melaksanakan tugas mereka dengan sebaik-baiknya, memberikan perhatian yang penuh terhadap pendidikan Islam, tekun dan sabar, demi melihat anak-anaknya di masa depan menjadi para da'i pengemban risalah Islam, para reformis kebaikan, dan pejuang- pejuang jihad.
Sudah bisa dipastikan bahwa pendisiplinan anak sejak kecil adalah faktor yang memberikan hasil yang terbaik. Sebab, pendisiplinan ketika sudah dewasa sangatlan sulit, jika ingin hasil yang sempurra dan semestinya. Semoga Allah merahmati orang yang mengatakan:
Pendidikan itu akan berhasil jika diberikan sejak kecil, dan sulit untuk berhasil pada saat sudah dewasa.
Karena dahan yang kecil akan mudah diberituk dan diluruskan, tidak seperti pohon kayu yang sudah tumbuh menjadi besar.