PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul
Kawasan Indo-Malaysia adalah pusat keanekaragaman pisang di dunia (Anonim, 2006). Indonesia merupakan pusat asal pisang-pisangan terutama untuk jenis Musa acuminata. Perbedaan faktor ekologi, geografi, tingkah laku silang, dan hibridisasi menyebabkan tingginya tingkat keanekaragaman tanaman pisang pada tingkat morfologi maupun gen. M. acuminata disebut juga pisang liar atau pisang hutan merupakan herba dengan batang palsu dan bunga majemuk yang terkumpul menjadi beberapa kelompok (sisir). Batang palsu tersusun oleh beberapa pelepah daun yang saling membungkus (Nasution dan Yamada, 2001).
Pisang liar M. acuminata berbiji dan merupakan bank genetik yang penting untuk program pemuliaan tanaman pisang (Anonim, 2006). Kultivar pisang adalah varietas tanaman pisang yang dibudidayakan, memiliki sifat yang mantap dan dapat dibedakan dari varietas lain secara khas (Nasution dan Yamada, 2001). Kedudukan taksonomi kultivar pisang dapat berada pada tingkatan takson marga, jenis, atau di bawah jenis. M. acuminata kultivar merupakan keturunan dari M. acuminata liar yang telah mengalami mutasi dan seleksi (Simmonds dan Shepherd, 1955). Kultivar M. acuminata bersifat steril karena itu menghasilkan buah tidak berbiji. Polen yang dihasilkan bersifat fertil, sedangkan sel telur tidak berfungsi (Crowder, 1986). M. acuminata yang tersebar di Indonesia diketahui memiliki 15 varietas, antara lain M. acuminata Colla var. breviformis Nasution,
M. acuminata Colla var. zebrina (v. Houtte) Nasution, M. acuminata Colla var. alasensis Nasution, M. acuminata Colla var. halabanensis (Meijer) Nasution, M. acuminata Colla var. acuminata, M. acuminata Colla var. nakaii Nasution, M. acuminata Colla var. ceri fera (Back) Nasution, M. acuminata Colla var. longepeolata Nasution, M. acuminata Colla var. bantamensis Nasution, M. acuminata Colla var. rutili fes (Back) Nasution, M. acuminata Colla var. malaccensis (Ridl) Nasution, M. acuminata Colla var. sumatrana (Becc) Nasution, M. acuminata Colla var. tomentosa (K.Sch.) Nasution, M. acuminata Colla var. microcarpa (Becc) Nasution, dan M. acuminata Colla var. flava (R.dl) Nasution (Nasution dan Yamada, 2001).
Penelitian ini menggunakan pisang bergenom AA yang ditentukan berdasarkan penanda morfologi. Pisang diploid AA merupakan jenis pisang meja (dessert) yang hidup tersebar di seluruh daerah di Indonesia (Siddiqah, 2002). Pisang diploid AA (2x) mempunyai jumlah genom x = 11 dan jumlah kromosom sel somatik (2n) sebanyak 22 (Crouch et al., 1998).
Keanekaragaman merupakan bahan baku utama perakitan materi genetik menjadi bentuk baru yang diinginkan. Keanekaragaman genetik pisang secara sederhana telah diungkap melalui penanda morfologi (Jumari dan Pudjoarinto, 2000), dan Siddiqah (2002). Karakter yang digunakan untuk menentukan grup genom antara lain ada tidaknya biji, warna kulit buah, warna daging buah, dan perbandingan panjang/lebar buah. Hasil penelitian terhadap 125 kultivar pisang dari 22 daerah di Jawa diperoleh 7 grup genom yaitu AA, AAA, AAB, AB, ABB,
ABBB, dan BB (Jumari dan Pudjoarinto, 2000). Berdasarkan sifat ciri buah grup genom AA dikelompokkan menjadi dua subgrup (Tabel 1).
Tabel 1. Subgrup Kultivar Pisang Diploid AA
Genom Subgrup Contoh Kultivar Sifat ciri
AA 1. Pisang becici becici, monyet, jaran,
gading, lilin bukan pisang buah,
buah pendek (2-3 x
panjang/lebar), berbiji
2. Pisang mas branjut, berlin, emas pisang buah, buah
besar, empat puluh hari, jantan, koja prethel, mas
pak jalil, mas tropong, pendek (2-3 x panjang/lebar), tidak
berbiji
palembang, penjalin, pinang, raja jambe, raja wligi, rejang
Keanekaragaman morfologi relatif mudah diidentifikasi, namun penanda ini variasinya sedikit, dikendalikan banyak gen, dan dipengaruhi lingkungan sehingga klon atau jenis yang berkerabat dekat sulit dibedakan (Darmono, 1996). Data keanekaragaman karakter morfologi pisang diploid AA sebagian telah tersedia, namun informasi yang ada belum mencukupi sebagai bahan baku pemuliaan tanaman pisang dengan sifat yang diinginkan (Megia et al., 2001).
Penanda keanekaragaman yang lain adalah isozim. Menurut Megia et al., (2001) terdapat beberapa macam isozim, antara lain malat dehidrogenase (MDH), peroksidase (PRX), dan glutamat oksaloasetat transaminase (GOT). Po/imorfisme MDH dan PRX menunjukkan derajat lebih tinggi daripada GOT. Profil isozim spesifik untuk MDH sebanyak enam belas, PRX sebanyak dua puluh, dan GOT sebanyak delapan. Meskipun polimorfisme cukup tinggi, pola isozim spesifik untuk menentukan komposisi genom pisang tidak ditemukan.
Penanda isozim lebih unggul karena bersifat kodominan, tetapi isozim adalah produk ekspresi suatu gen sehingga jumlah alel dibatasi umur dan jenis jaringan yang dianalisis (Crouch et al., 1998). Sifat isozim tersebut menyebabkan variasi alel dari hasil analisis sering tidak mencukupi untuk menganalisis genom pisang secara menyeluruh.
Pisang memiliki struktur genom yang kompleks karena dalam kelompok tanaman ini dapat terjadi persilangan sendiri, hibridisasi, mutasi, maupun seleksi. Oleh karena itu untuk menganalisis keanekaragaman genetik pisang diperlukan karakterisasi molekuler sebagai pelengkap hasil karakterisasi morfologi maupun isozim. Penanda molekuler adalah penciri dalam mendeteksi keragaman genetik atau polimorfisme genetik untuk tujuan pengembangan sistem pemuliaan berbasis molekuler (Solihin, 2005). Penanda molekuler dapat membantu menentukan posisi suatu gen karena letaknya berada di dekat gen (Muladno, 2002). Semakin banyak posisi penanda molekuler diketahui, semakin besar peluang posisi gen diketahui. Informasi keanekaragaman genetik diperlukan untuk menentukan penanda molekuler. Oleh karena itu informasi keanekaragaman genetik perlu diungkap terlebih dahulu.
Penanda DNA dalam identifikasi keanekaragaman hayati antara lain AFLP (amplifıed fragment length polymorphisms), RFLP (restriction fragment length polymorphisms), RAPD (random amplified polymorphisms DNA) dan mikrosatelit atau SSR (simple sequence repeat) (Yunus, 2004). AFLP merupakan gabungan dari teknik RFLP dan PCR polymerase chain reaction). Teknik ini sedikit rumit karena melibatkan enzim restriksi dan amplifikasi DNA
(Rimbawanto et al., 2004), memerlukan waktu yang relatif lama dan mahal. Hasil RFLP ditunjukkan melalui perbedaan sekuen DNA tanaman yang dianalisis berdasarkan panjang fragmen restriksi. Beberapa jenis RFLP memberikan tingkat polimorfisme yang rendah, memerlukan banyak waktu, tenaga, dan DNA yang berkualitas tinggi (memiliki nilai OD 260 OD2g berkisar 1,8 - 2,0) (Muladno, 2002). Teknik ini juga memerlukan jumlah DNA yang banyak. Untuk jenis tanaman yang belum pernah dieksplorasi diperlukan pustaka pelacak probe) (Yunus, 2004).
Analisis polimorfisme RAPD antar individu tanaman dihasilkan dari perbedaan sekuen pada satu atau kedua sisi situs penempelan primer. Keterbatasan teknik RAPD adalah fragmen-fragmen yang memiliki ukuran sama belum tentu memiliki sekuen yang sama dan penanda bersifat dominan sehingga heterozigositas tidak dapat diidentifikasi (Rimbawanto et al., 2004), karena ukuran primer pendek (10.nur), teknik RAPD sering tidak reproducible.
Berbeda dengan penanda-penanda tersebut, pelaksanaan analisis mikrosatelit atau SSR lebih sederhana dan cepat (Yunus, 2004). Sekuen DNA mikrosatelit sangat polimorfisme, kodominan, dan hipervariabel (Solihin, 2005). Analisis mikrosatelit mudah diaplikasikan untuk studi genetik pada pisang (Kaemmer et al., 1997). Teknik ini juga telah digunakan untuk mengungkap keanekaragaman genetik beberapa tanaman yang lain seperti kelapa berbuah kopyor (Maskromo et al., 2005), Pinus merkusi (Rimbawanto et al., 2004), dan pisang (Kaemmer et al., 1997). Oleh karena itu mikrosatelit tepat digunakan untuk menganalisis keanekaragaman genetik pisang diploid AA yang variasinya tidak selalu dapat diidentifikasi melalui penanda morfologi maupun isozim.