Hujroh - Forum Pesantren Indonesia Alumni Pesantren Indonesia Forum      Misi Hujroh
 

Main juga kesini sul:
The Ghurfah Kisah Sukses Alumni Alumni di Luar Negeri Bisnis Online Hikayah fi Ma'had Railfans Dunia Pesantren Ekonomi Islam
Forum  Knowledge  Madzhab & Hukum 
Bagaimana Caranya Menyelami Jiwa Shalat?
Pages: [1]

(Read 550 times)   

Co Hujroh

  • Abadan fi Ma'had
  • ***
  • Co Hujroh No Reputation.
  • Join: 2018
  • Posts: 2095
  • Logged
Bagaimana Caranya Menyelami Jiwa Shalat?
« on: 31 Dec, 2018, 06:48:21 »

Bagaimana Caranya Menyelami Jiwa Shalat?

Upaya kita yang lebih konkret lagi dalam rangka menyelami golbu agama adalah dengan cara mendalami dan menghayati setiap gerakan dan ucapan ibadah ritual kita, mulai dari bersuci (thaharah), shalat, zakat, puasa, sampai pada ibadah haji. Sudah barang tentu dengan tidak mengabaikan syarat dan rukunnya secara fiqhiyyah.
Dalam thaharah misalnya, ketika kita sedang berwudhu, hendaknya selain kita tunaikan syarat dan rukunnya secara optimal, juga kita maknai dan kita hayati setiap gerakan dari wudhu kita secara ruhani. Sehingga akan tercipta satu suasana dimana kita dapat berwudhu secara jasmani dan sekaligus secara ruhani. Singkat kata, ada wudhu jasmani ada wudhu ruhani.
Contoh sederhana, ketika kita membasuh muka, selain kita ratakan air ke seluruh bagian wajah, juga kita maknai dan kita hayati bahwa kita sedang membersihkan diri dari dosa, paling tidak dosa-dosa kecil yang sangat boleh jadi pernah dikerja
kan oleh sebagian organ tubuh yang ada pada wajah kita, oleh mata, mulut, hidung, telinga dan sudah barang tentu banyak pula hikmah lainnya.
Suatu ketika Rasulullah SAW. pernah ditanya oleh seorang sahabat: ''Ya Rasulullah, mengapa dalam setiap wudhu kita yang pertama kali dibasuh wajah kita? Nabi SAW. bersabda: "Ketahuilah wahai sahabatku, bahwa yang pertama kali menyebabkan bapak kita Adam a.s. berbuat dosa adalah karena beliau kehilangan rasa malu dari wajahnya." Mengingat sabda Nabi tersebut saya jadi teringat sebuah anekdot; Konon kabarnya suatu ketika KH.Agus Salim yang dikenal sebagai ulama dan diplomat ulung yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia, suatu hari pernah digugat oleh seorang pendeta perihal makna filosofis di balik ajaran wudhu. Menurut Sang pendeta ajaran wudhu itu sangat tidak logis. Buktinya apa? Kata dia, ketika pantat berdosa alias buang angin, mengapa yang dibasuh wajah, bukannya pantat? KH. Agus Salim menjawab: "Justru kenyataan itu menunjukkan bahwa ajaran Islam sangat logis. Buktinya apa? Tanya Sang Pendeta. Sang Diplomat berkata: "Kalau anda buang angin, lalu yang menanggung rasa malu apa? Pantat anda, atau wajah anda?"
Ketika kita mencuci tangan sampai sikut, rasakan oleh kita bahwa kita pada saat itu sedang berusaha pula membersihkan dosa yang pernah dikerjakan oleh tangan kita. Tentunya hanya terbatas dosa-dosa kecil saja, yang dalam Al-Quran disebut dengan dzanbu. Tidak termasuk dosa tanda tangan palsu yang mengakibatkan seseorang menjadi koruptor jutaan bahkan milyaran rupiah. Ketika kita mengusap kepala, rasakan bahwa kita tengah berusaha untuk membersihkan batok kepala kita dari pikiran-pikiran kotor, dari negatif thingking, atau dalam istilah anak-anak gaul, dari otak-otak mesum. Demikianlah seterusnya dan seterusnya.
Ketika kita sedang shalat, misalnya saat mengangkat kedua tangan takbiratulihram lalu kita ucapkan “Allahu Akbar," maknai dan hayati dengan seksama, bahwa hanya Allah Yang Mahabesar. Artinya, segala sesuatu selain Allah adalah kecil, diri kita amatlah kecil, harga diri kitapun tidak ada apa-apanya dan sangat hina dina di hadapan keagungan Dzat Allah Yang Mahabesar, lebih hina dibandingkan dengan debu yang menempel pada sepatu kita. Harta kita juga kecil, tak seujung rambutpun dibandingkan dengan keluasan kekayaan Allah yang meliputi langit dan bumi. Jabatan kita pun bukanlah apa-apa melainkan sekadar amanat. Setinggi apapun jabatan manusia hanyalah bagian kecil dari pendelegasian kekuasaan Allah yang meliputi kerajaan langit dan bumi, yang jika Allah kehendaki kapanpun, di manapun, dan dalam kondisi apapun, Dia akan mencabutnya (QS.3:26). Karena itu, tak pantas manusia merasa besar (takabbur) di hadapan Allah. Nabi bersabda: Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya bersemayam sifat takabbur meski hanya sebesar atom."
Ketika kita baca do a iftitah atau tawajjuh berarti kita sedang membuka tabir atau tirai kegaiban yang acap kali menghalangi diri kita ketika hendak berkomunikasi dengan Allah, ketika kita hendak bermuwaajahah atau berhadap- hadapan dengan-Nya. Karena itu, apapun versinya do’a yang kita bacakan, intinya adalah satu yaitu keakraban dan keintiman. Dan yang jelas, salah satu tahap menuju kedekatan dengan-Nya adalah terpeliharanya kesucian diri kita, dan adanya kesamaan gelombang atau chanel dalam alat komunikasi kita. Dalam sebuah hadis, Rasul SAW. bersabda: Sesungguhnya Allah itu indah dan Allah tidak suka menerima sesuatu kecuali yang indah-indah". Demikian...
Ketika kita baca surat Al-Fatihah, rasakan, sesungguhnya kita sedang berada di tengah-tengah samudera Ilahi. Kita sedang menatap keindahan-keindahan permukaannya dan menikmati deburan-deburan ombaknya, kita layari keluasan
bahteranya, dan kita selami keindahan dan kedalaman maknanya. Sungguh, betapa indahnya samudera Al-Fatihah itu. Sedemikian indahnya, sehingga tidak ada ucapan yang terlontar dari bibir kita kecuali pujian hanya untuk Allah Tuhan seru sekalian alam. Sesudah itu, kita akui dan kita rasakan kasih dan sayang-Nya. Lalu kita akui kedaulatan dalam kekuasaan-Nya baik di dunia yang fana ini terutama nanti di akhirat yang kekal abadi.
Sesudah itu, barulah kita nyatakan kembali sikap hidup kita, kita aktualisasikan kembali komitmen hidup kita, dimana kita hanya ingin mengabdi dan berharap kepada, untuk, dan karena ridha Allah. Karena kita husnuzhan, kita amat yakin apapun yang Allah tetapkan atas hambanya yang berserah diri kepada-Nya akan senantiasa berakhir dengan kebajikan.
Namun demikian, sebagai manusia kita amat menyadari bahwa ketika hendak berjalan menuju Allah acap kali kita salah jalan. Karena itu, mohonlah senantiasa bimbingan dan petunjuk-Nya, agar perjalanan hidup kita sampai di tempat tujuan dengan bahagia dan selamat. Seperti perjalanan hidupnya hamba-hamba Allah pilihan-Nya, yakni para Nabi, para shiddiqiin, para syuhada, dan para shalihin.
Pada bagian akhir, kita memohon perlindungan kepada Allah dari berbagai kemungkinan salah jalan apa lagi tersesat jalan. Kita tidak ingin seperti perjalanan hidupnya orang- orang yang banyak menuntut kepada Allah, tetapi setelah Allah berikan segala sesuatunya kepada mereka, kemudian mereka "berselingkuh kepada selain Allah,', mereka persekutukan Allah, mereka syirik kepada Allah. Siapakah mereka? Ketika Nabi SAW. ditanya tentang hal ihwal mereka, beliau berkata bahwa mereka itu tidak lain adalah Yahudi dan Nasrani. Luar biasa, memang Al-Fatihah itu menggambarkan garis besar perjalanan hidup manusia. Karena itu, pantaslah jika surat Al-Fatihah ini disebut sebagai induknya Al-Quran (ummu al-Kitab).
Saya kira bukan pada tempatnya jika saya uraikan seluruh jiwa shalat dalam tulisan ini. Insya Allah, jika Allah mengizinkan, saya ingin menuangkan tentang ruh shalat ini dalam bab tersendiri, mudah-mudahan. Selanjutnya, saya ingin mengakhiri uraian ruh al-shalat dalam tulisan ini, dengan apa yang sebaiknya kita maknai dan kita jiwai ketika sedang tahiyyat atau tasyahhud.
Dalam buku Pesan-Pesan Taqwa Nurcholish Madjid, Cak Nur mengatakan bahwa ketika kita sedang bertasyahhud baik tasyahhud awal maupun akhir, hendaknya kita sadari bahwa sesungguhnya kita pada saat itu kita sedang menyampaikan “salam kepada Allah," kita sedang "menyapa Allah" dan menyapa "orang-orang yang amat dekat dengan-Nya," terutama menyapa jungjunan kita Rasulullah SAW. dan orang- orang yang shaleh lainnya. Bahkan dalam tuntunan bacaan tahiyyat, Nabi SAW. diilustrasikan seakan-akan beliau berada di hadapan kita. Assalamu'alaika ayyuha an-Naby—salam sejahtera untukmu, wahai Nabi.
Hal itu memberikan tuntunan moral bahwa dalam kehidupan sehari-hari, ada pihak-pihak yang sepatutnya kita akrabi dalam hidup ini, yaitu Allah, para Rasul-Nya, terutama Rasulullah Muhammad SAW, diri kita sendiri, dan orang-orang shaleh yang senantiasa menunjukkan keberpihakannya kepada Allah. Kedekatan yang dimaksudkan di sini, sama sekali bukan kedekatan secara fisik, melainkan kedekatan secara spiritual. Apa artinya dekat secara fisik jika secara spiritual bertolak belakang? Demikian Syeikh Fadhlullah Hairi bertanya, dalam bukunya Pelita Al-Quran. Dalam bahasa Arab ada ungkapan, ‘‘At-taba'ud la yadhurru idza taqaraba ii al- qulub," yang sering diterjemahkan dalam bahasa kita, "Jauh di mata dekat di hati." Demikian, Wallahu 'a'lam.