Hujroh - Forum Pesantren Indonesia Alumni Pesantren Indonesia Forum      Misi Hujroh
 

Main juga kesini sul:
The Ghurfah Kisah Sukses Alumni Alumni di Luar Negeri Bisnis Online Hikayah fi Ma'had Railfans Dunia Pesantren Ekonomi Islam
Forum  Info & Berita  Kegiatan Kemasyarakatan 
KEKUATAN KEPALA DESA DAN DUKUN SEBAGAI PEMUKA PENDAPAT
Pages: [1]

(Read 5973 times)   

Co Hujroh

  • Abadan fi Ma'had
  • ***
  • Co Hujroh No Reputation.
  • Join: 2018
  • Posts: 2095
  • Logged

KEKUATAN KEPALA DESA DAN DUKUN SEBAGAI PEMUKA
PENDAPAT

A. Pendahuluan
Kawah Gunung Bromo merupakan satu tempat wisata yang memiliki daya tarik luar biasa bagi para wisatawan (baik mancanegara maupun nusantara). Hamparan pasir yang luas—seolah-olah berada di lautan pasir —dan gunung-gunung yang menjulang tinggi dengan lekak-lekuk lereng dan tanaman serta tumbuhan yang menghijau melengkapi indahnya alam di kawasan Gunung Bromo. Beberapa adat istiadat (seperti upacara sayut, upacara cuplak puser atau kekerik, upacara tugel gombak dan kuncung, upacara perkawinan, upacara ruwat sangkolo, upacara kematian, dan upacara Entas-Entas) yang dilakukan oleh masyarakat adat Tengger menambah khazanah budaya lokal yang membuat betah para wisatawan tinggal di kawasan pegunungan Tengger dengan ketinggian kurang lebih 2800 meter di atas permukaan laut.
Masyarakat adat Tengger memiliki keunikan tersendiri dalam melakukan aktivitas kesehariannya, sehingga tidak sedikit orang yang ingin melihat lebih dekat fenomena sosial yang terjadi pada masyarakat adat Tengger melalui berbagai bentuk kegiatan, baik pengabdian pada masyarakat maupun penelitian. Seperti halnya yang pernah dilakukan sejumlah Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Muhammmadiyah Malang (UMM) selama beberapa hari tinggal bersama masyarakat adat Tengger, saling membagi rasa, pengalaman, dan pengetahuan dalam bentuk 
kegiatan pengabdian pada masyarakat. Dalam kebersamaan dengan masyarakat adat Tengger terasa sangat menyenangkan, karena masyarakatnya menyambut dengan ramah dan penuh kekeluargaan. Dalam kesempatan itu banyak informasi dan temuan baru tentang kehidupan masyarakat yang tampaknya belum pernah ditemui di masyarakat pada umumnya.
Dalam kesehariannya, masyarakat adat Tengger dipimpin oleh dua kepemimpinan (formal dan informal), yakni Kepala Desa dan dukun. Kepala desa bertugas dalam masalah-masalah pemerintahan desa, sedangkan dukun bertugas dalam bidang keagamaan, termasuk pelaksanaan upacara dan pembinaan adat. Tampaknya dua kepemimpinan formal dan informal (Kepala Desa dan dukun) itulah yang berpengaruh sebagai pemuka pendapat di masyarakat adat Tengger, di mana dua kepemimpinan itu saling bekerja sama dengan baik, sehingga masyarakatnya kelihatan damai dan harmonis dalam kehidupan kesehariannya. Masyarakat adat Tengger sangat patuh dan tunduk pada dua kepemimpinannya (Kepala Desa dan dukun). Bahkan norma-norma adat yang berlaku dalam kehidupannya masih dipegang sangat kuat.
Sebagai salah satu tempat wisata yang banyak dikunjungi oleh para wisatawan (mancanegara maupun nusantara), maka tidak menutup kemungkinan budaya-budaya luar akan memasuki masyarakat adat Tengger, termasuk arus globalisasi dan modernisasi. Meskipun demikian, kehidupan masyarakat adat Tengger tampaknya tidak mengalami perubahan yang signifikan dan lebih membanggakan lagi mereka mampu mengadopsi hal-hal yang positif untuk kemajuan budaya mereka dengan tanpa harus mengubah nilai-nilai budaya asli. Ini semua tentu tidak terlepas dari peran serta Kepala Desa dan dukun sebagai pemuka pendapat dalam membangun sistem komunikasi dalam masyarakatnya.
Secara sosiologis, masyarakat adat Tengger dalam kehidupannya cenderung mengedepankan rasa kekeluargaan, toleran, mengutamakan kerja sama secara masif (kolektif) dalam berbagai hal. Adanya ikatan yang kuat antaranggota masyarakat, semangat gotong royong menjadi karakternya, sehingga tercipta suasana aman dan damai. Masyarakat adat Tengger masih memegang teguh nilai-nilai hakiki luhur warisan dari nenek moyangnya. Sistem nilai budaya yang mereka
anggap amat bernilai dalam hidup dijadikan sebagai pedoman tertinggi bagi kehidupan manusia.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa betapa kuatnya pengaruh dua kepemimpinan (Kepala Desa dan dukun) yang ada pada masyarakat adat Tengger, dalam melaksanakan sistem pemerintahan desa dan melaksanakan adat istiadat. Seolah-olah masyarakat adat Tengger sangat tergantung pada Kepala Desa dan dukun.
Atas dasar itulah penulis sangat tertarik untuk mendeskripsikan tentang Kepala Desa dan dukun sebagai pemuka pendapat dalam sistem komunikasi masyarakat adat Tengger. Penulis menyadari bahwa tulisan ini belumlah memberikan gambaran secara mendalam dalam kajian analitis-teoretis, karena keterbatasan literatur tentang masyarakat adat Tengger. Tulisan ini secara sistematis akan menjawab permasalahan: Bagaimana sistem kemasyarakatan adat Tengger? Bagaimana peran Kepala Desa dan dukun? Dan benarkah Kepala Desa dan dukun sebagai pemuka pendapat dalam sistem komunikasi masyarakat adat Tengger?.
B. Sistem Kemasyarakatan Adat Tengger
Berbicara tentang masyarakat maka tidak terlepas dengan konsep sistem kemasyarakatan. Karena masyarakat merupakan sekelompok manusia yang menempati suatu wilayah tertentu dan saling berinteraksi antara satu dengan yang lain di mana di dalamnya ada suatu tatanan nilai, norma yang dijadikan pegangan dalam hidupnya. Jadi, sistem kemasyarakatan merupakan sekumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerja sama untuk menyelesaikan masalah, dalam rangka mencapai tujuan. Anggota atau unit-unti sistem masyarakat itu bisa berupa perorangan, kelompok informal, organisasi modem. Di antara anggota sistem masyarakat ada yang memegang peranan penting dalam proses difusi, yakni mereka yang disebut pemuka pendapat. Pemuka pendapat adalah seseorang yang relatif sering dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain untuk bertindak dalam cara tertentu, secara informal. Mereka ini (pemuka pendapat) sering diminta nasihatnya dan pendapatnya mengenai sesuatu perkara oleh anggota masyarakat lainnya. Pemuka pendapat punya pengaruh terhadap
 
proses penyebaran inovasi; mereka bisa mempercepat diterimanya inovasi oleh anggota masyarakat tetapi bisa pula mereka menghambat tersebarnya sesuatu inovasi ke dalam sistem masyarakat (Rogers dan Shoemaker, 1987:31)
Demikian juga yang terjadi pada masyarakat adat Tengger, Kepala Desa dan dukun sangat berperan dalam proses difusi-inovasi, termasuk juga pelestarian adat istiadat warisan nenek moyangnya, yang selama ini dipercayai sebagai media untuk meminta keselamatan kepada Tuhan Yang Mahaesa, baik yang menyangkut keselamatan kelangsungan hidup dalam berumah tangga, bertetangga, menempati rumah baru, keberhasilan dalam bertani, pembersihan diri dari dosa, dan lain sebagainya. Masyarakat adat Tengger menganggap Gunung Bromo sebagai gunung suci yang bisa mendatangkan berkah bagi masyarakat. Oleh sebab itu, pada waktu-waktu tertentu masyarakat adat Tengger senantiasa mengadakan upacara ritual, agar wilayah Tengger tetap selamat dari murka dewa.
Sedangkan tingkat pendidikan masyarakat adat Tengger pada umumnya hanya lulusan Sekolah Dasar (SD), sehingga masyarakatnya dalam cara berpikir cukup sederhana, mereka cenderung mengutamakan yang realistis dan praktis, bahkan mereka tidak pernah berpikir yang muluk-muluk (yang sulit dijangkau). Cara berpikir ini tampak dalam memaknai hidup dan memaknai fungsi anak. Dalam kaitan dengan memaknai hidup, C. Kluckhohn mengatakan bahwa dalam kehidupan manusia sesungguhnya ada lima masalah pokok, di antaranya: (1) masalah mengenai hakikat dari hidup manusia, (2) masalah mengenai hakikat dari karya manusia, (3) masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, (4) masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, dan (5) masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya (Koentjaraningrat, 1985:28). Kelima masalah pokok dalam kehidupan manusia sebagaimana dipaparkan Kluckhohn itu sangat tergantung pada orientasi hidupnya, sehingga dalam sistem kemasyarakatan sudah tentu memiliki perbedaan antara satu dengan yang lain.
Bagi masyarakat adat Tengger misalnya, dalam memandang hidup manusia itu pada hakikatnya adalah proses interaksi sosial yang sangat mementingkan hubungan vertikal antara manusia dengan sesamanya. Dalam pola ini masyarakatnya akan berpedoman kepada tokoh-tokoh pemimpin (Kepala Desa dan dukun). Artinya, secara umum masyarakat Tengger sangat patuh dan memperhatian nasihat-nasihat Kepala Desa dan dukun. Selain itu, masyarakat adat Tengger juga beranggapan bahwa hidup manusia sangat tergantung kepada sesamanya. Untuk itu, masyarakat Tengger berusaha memelihara hubungan baik dengan tetangga dan sesamanya. Mereka hidup sederhana, hemat dan menjalani hidup dengan apa adanya, tidak ada perasaan iri hati dan prasangka negatif (su'uzhan) antar- sesama.
Dalam memaknai fungsi anak, masyarakat adat Tengger lebih banyak berpikir ekonomis. Artinya, anak dimaknai sebagai "aset" yang bisa menambah dan menopang rezeki keluarga, sehingga ketika anak beranjak dewasa maka anak dituntut untuk membantu orang tua mengolah tanah. Anak tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, yang penting anak bisa bercocok tanam dan mencangkul. Bagi anak perempuan yang beranjak dewasa, tidak terlalu lama orang tua kemudian melangsungkan perkawinannya dengan harapan anggota keluarga baru (menantu) bisa membantu orang tua bekerja. Pola berpikir semacam ini mengingatkan penulis pada satu falsafah jawa yang berbunyi: banyak anak banyak rezeki dan mangan ora mangan yen penting kumpul (senang atau susah tidak masalah yang penting berkumpul dengan keluarga). Falsafah Jawa ini menyiratkan suatu kesederhanaan dalam berpikir bagi masyarakat adat Tengger. Sampai-sampai dalam proses perkawinanpun tidak berani memilih calon di luar masyarakat adat Tengger, karena takut kuwalat. Alasan ini muncul karena masyarakat adat Tengger masih mengenal dan mengakui adanya hukum karma, sehingga mereka tidak berani melanggar atau menyimpang dengan nilai-nilai dan norma-norma adat suci warisan nenek moyangnya dalam dalam melakukan tata kelakuan kehidupan.
C Peranan Kepala Desa dan Dukun Masyarakat Adat Tengger
Dua tokoh dalam masyarakat adat Tengger (Kepala Desa dan dukun) selalu memiliki pengaruh yang "sama" di mata masyarakatnya,
bahkan kedudukannya seolah-olah seperti dua saudara sekandung. Satu dengan yang lain tidak lebih tinggi dan tidak lebih rendah, hanya tugas dan perannya yang lain.
Ada beberapa tugas dan peranan yang diemban oleh Kepala Desa, di antaranya adalah (a) memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa, (b) membina kehidupan masyarakat desa, (c) membina perekonomian, (d) memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat desa, (e) mendamaikan perselisihan masyarakat di desa, dan (f) mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum (Undang-Undang Otonomi Daerah, 2000: 48).
Selain beberapa tugas dan peran Kepala Desa sebagaimana di atas, dalam pasal 10 Undang-Undang No.5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa juga disebutkan bahwa Kepala Desa menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa, yaitu menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dan merupakan penyelenggara dan penanggung jawab utama di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan desa, urusan pemerintahan umum, termasuk pembinaan ketenteraman dan ketertiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat sebagai sendi utama pemerintahan Desa (Sajogyo, 1986:141).
Dengan demikian, maka cukup jelas wewenang dan tanggung jawab Kepala Desa dalam menjalankan tugas dan kewajibannya dalam mengarahkan perencanaan pembangunan desa dan mendorong partisipasi masyarakat Partisipasi dalam konteks ini adalah membangun anggota masyarakatnya agar memiliki kepribadian, jujur, berdedikasi serta berorientasi pada pembangunan, yang kesemuanya itu memerlukan usaha-usaha pemantapan struktur dan aparatur pemerintahan desa.
Untuk menggali dan menggerakkan partisipasi masyarakat, khususnya pada generasi mudanya, Kepala Desa masyarakat adat Tengger (Desa Ngadisari) telah ditetapkan adanya suatu gerakan, sekaligus suatu wadah bersama yang menampung serta melaksanakan aspirasi dan inisiatif masyarakat dalam usaha menciptakan kemandirian generasi muda yang bersifat positif. Adapun gerakan tersebut dinamakan Praja Muda Karana, disingkat PRAMUKA, sebagai suatu usaha yang telah berkembang lama dan secara langsung
dibina oleh Kepala desanya sendiri, dan telah memberikan kontribusi pada pembinaan mental generasi muda yang ada dalam masyarakat adat Tengger.
Tujuan dari gerakan PRAMUKA adalah untuk membina mental dan memberikan bekal hidup bagi generasi muda yang ada di masyarakat adat Tengger, agar dalam menghadapi arus informasi dan globalisasi tidak mudah hanyut dan terpengaruh budaya-budaya asing yang cenderung merusak mental generasi muda. Di sisi lain, gerakan PRAMUKA juga diharapkan bisa memberikan pemahaman tentang hakikat hidup, sehingga ketika berkeluarga bisa mempo- sisikan dirinya sebagai sosok manusia yang memiliki tanggung jawab dalam membangun rumah tangga yang tenteram dan bahagia. Sasaran dari gerakan PRAMUKA adalah generasi muda yang putus sekolah dan yang sudah tamat sekolah tingkat dasar dan menengah yang belum bekerja.
Berdasarkan pendekatan itu, maka rumusan sasaran gerakan PRAMUKA paling tidak ada dua, yakni (1) mental spiritual yang meliputi: sikap dan perilaku hidup anggota masyarakat (generasi muda) sebagai Insan Hamba Tuhan yang taat dan saleh, warga masyarakat yang trampil, kreatif dan produktif, dan bisa sebagai teladan dengan penuh pengabdian, dan (2) fisik materiil yang meliputi: sikap dan perilaku anggota masyarakat (generasi muda) sebagai Insan Hamba Tuhan yang sadar lingkungan hidup yang lestari, dan bisa meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan, sehingga mampu beradaptasi pada lingkungan di mana mereka berada.
Sebagaimana yang dipaparkan di atas, bahwa selain Kepala Desa sebagai tokoh panutan masyarakat adat Tengger, dukun juga merupakan tokoh informal yang memiliki pengaruh kuat dan berperan dalam memimpin berbagai upacara keagamaan dan dibantu oleh legen (wakil dukun).
Berbicara tentang dukun, maka dapat diketahui beberapa macam dukun, di antaranya: dukun bayi, dukun pijet, dukun prewangan (medium), dukun calak (tukang sunat), dukun wiwit (ahli upacara panen), dukun teman ten atau ahli upacara perkawinan, dukun petungan (ahli meramal dengan angka), dukun sihir atau juru sihir, dukun susuk (spesialis yang mengobati dengan menusukkan jarum emas di bawah kulit), dukun j apa (tabib yang mengandalkan mantra), dukun
/
jampi (tabib yang menggunakan tumbuh-tumbuhan dan berbagai obat asli), dukun siwer, spesialis dalam mencegah kesialan alami (mencegah hujan kalau orang sedang mengadakan pesta besar, mencegah supaya piring tidak pecah pada pesta, dan sebagainya); dukun tiban, tabib yang kekuatannya temporer dan merupakan hasil dari kerasukan ruh. (Geertz, 1981:116)
Di Tengger, dahulu ada sekitar 36 orang dukun, dan satu di antaranya menjadi kepala dukun pendhita yang memberi wejangan atau arahan serta petunjuk bagi para dukun lainnya ('dukun muda'). Peranan dukun adalah memimpin upacara keagamaan dengan mengenakan baju kebesaran antra kusuma atau rasukan dukun dengan ikat kepala dan selempang serta dilengkapi dengan alat-alat upacara, seperti prasen, gentha, perapen, primbon, tempat dupa, dan talam. Mengingat agama yang dianut masyarakat adat Tengger moyoritas hindu, maka dukun memiliki peran yang kuat dalam mengatur upacara-upacara keagamaan. Paham Hindu Tengger dibangun dari sistem yang disepakati oleh masyarakat dan diatur secara resmi oleh dukun atau anggota masyarakat yang memahami ritual, dukun yang ada pada masyarakat adat Tengger dianggap sebagai pewaris alat- alat ritual dan doa-doa peribadatan dari dukun terdahulu. Oleh sebab itu, dukun hendaknya ada ikatan saudara dengan dukun terdahulu sehingga bisa meneruskan ajaran-ajaran terdahulu.
Untuk bisa menjadi dukun di masyarakat adat Tengger tidaklah mudah. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi jika ingin menjadi dukun, di antaranya: (1) berkemampuan, tekun, mampu menggali legenda, dan bertempat tinggal dekat dengan lokasi, (2) disetujui oleh masyarakat melalui musyawarah, (3) menguasai adat dan mantra- mantra, (4) sudah kawin, (5) berbuat kebaikan, dan (6) masih mempunyai ikatan saudara dengan dukun terdahulu, dan (7) umumnya telah berusia 40 tahun. (Soemanto, 2002: 68).
Beberapa syarat ini menunjukkan betapa sulitnya menjadi seorang dukun. Dukun dalam masyarakat adat Tengger memiliki kedudukan yang istimewa dan dianggap sebagai sosok manusia yang memiliki kesucian. Oleh sebab itu, semua dukun wajib melakukan megeng patigeni pada awal bulan kapitu tahun saka yang dilanjutkan mutih selama 28 hari, termasuk tidak boleh kumpul dengan istri ditutup dengan megeng patigeni.
 
D. Kepala Desa dan Dukun sebagai Pemuka Pendapat dalam Arus Informasi
Salah satu teori komunikasi massa kontemporer Melvin Defleur adalah tentang teori hubungan sosial. Teori ini menyatakan bahwa dalam menerima pesan-pesan kumunikasi massa melalui media massa, orang lebih banyak menerima pesan itu justru melalui hubungan atau kontak dengan orang lain daripada menerima langsung dari media massa tersebut. Hubungan sosial yang informal merupakan salah satu variabel yang turut menentukan besarnya pengaruh media. (MacAndrews, 1998: 7) Sejalan dengan teori ini, model komunikasi dua tahap (two step flow model) yang dipelopori oleh Lazarsfed, Berelson, dan Gaudet (1948), juga
dalam arus informasinya.
Model dua tahap ini menyatakan bahwa ide-ide dan informasi sering kali datang dari media massa yang ditangkap oleh pemuka pendapat (opinion leader) dan dari mereka ini informasi disampaikan ke anggota masyarakat yang kurang giat (Effendy, 1986: 66). Dua teori ini tampak betapa berperannya pemuka pendapat dalam menyebarkan arus informasi pada anggota masyarakat yang pasif. Pemuka pendapat bisa secara leluasa menginterpretasikan informasi yang didapatkan dari media massa, sehingga memungkinkan bisa berkembang menjadi "pengaruh pribadi". Dalam kondisi seperti ini anggota masyarakat yang pasif memiliki ketergantungan yang besar sekali pada pemuka pendapat.
Itulah sebabnya pemuka pendapat umumnya mememiliki beberapa karakteristik, di antaranya: (a) lebih tinggi pendidikan formalnya dibandingkan dengan anggota masyarakatnya atau kelompoknya, (b) lebih tinggi status sosialnya serta status ekonominya, (c) lebih inovatif dalam menerima atau mengadopsi ide baru, (d) Lebih tinggi pengenalan medianya (media exposure), (e) kemampuan empati mereka lebih besar, dan (f) partisipasi sosial mereka lebih besar, atau lebih tinggi (Pratikto, 1983: 340—341)
Para pemuka pendapat dengan "pengaruh pribadi" mereka dapat dianggap sebagai salah satu mekanisme penting dalam sistem komunikasi, karena bisa memberikan informasi-informasi dan pesan- pesan yang relatif bersifat baru. Dalam kaitannya dengan ini, Kepala 
Desa dan dukun masyarakat adat Tengger bisa disamakan dengan pemuka pendapat, karena mereka sebagai sumber informasi bagi masyarakat adat Tengger. Sebagai pemuka pendapat, maka Kepala Desa dan dukun senantiasa menafsirkan berbagai informasi yang datang dari luar apakah surat kabar,majalah dan televisi ataupun orang asing untuk kemudian disebarkan kepada anggota masyarakatnya dalam rangka menjaga kestabilan sosial.
Kepala desa dan dukun menjadi sumber (tempat) bertanya dan meminta nasihat anggota masyarakat lainnya tentang urusan- urusan tertentu, baik yang menyangkut masalah-masalah pemerintahan desa maupun masalah-masalah yang berkaitan dengan adat istiadat, bahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Mereka memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk bertindak dalam cara-cara tertentu. Kepala desa dan dukun sebagai pemuka pendapat memainkan peranan penting dalam proses penyebaran inovasi (ide baru) ke dalam suatu sistem kemasyarakatan. Namun, Kepala Desa dan dukun yang ada di masyarakat adat Tengger selalu menyelaraskan diri dengan norma-norma dan sistem nilai budaya yang berlaku bagi masyarakatnya. Karenanya Kepala Desa dan dukun dijadikan model norma yang nyata bagi anggota masyarakatnya (pengikutnya). Jadi dengan demikian, Kepala Desa dan dukun bisa dikatakan sebagai pemuka pendapat dalam arus informasi masyarakat adat Tengger.
Berkaitan dengan hal ini yang perlu diperhatikan oleh agen pembaru (pekerja profesional yang berusaha mempengaruhi atau mengarahkan keputusan inovasi masyarakat sesuai dengan yang dinginkan oleh lembaga atau pemerintah) adalah menjalin hubungan baik dan bekerja sama dengan pemuka pendapat, dalam hal ini Kepala Desa dan dukun yang ada di masyarakat adat Tengger. Jika tidak, maka agen pembaru akan mengalami kendala-kendala yang cukup signifikan dalam proses penyebaran arus informasi kepada masyarakat adat Tengger. Karena sistem kemasyarakatan adat Tengger masih sangat tergantung kepada dua tokoh formal dan informal, yakni Kepala Desa dan dukun.
E Penutup
Masyarakat adat Tengger telah dan sedang dijadikan objek kajian para wisatawan, pemerintah, dan kalangan akademisi, baik di bidang komunikasi, sosiologi, antropologi, bahkan psikologi. Fenomena masyarakat adat Tengger memang memiliki keunikan tersendiri, sehingga mengundang banyak orang untuk melihat lebih dekat kehidupan sosial yang berlangsung.
Selain alamnya yang indah, beberapa tradisi yang tiap tahunnya selalu diselenggarakan oleh masyarakat adat Tengger menjadi bagian penting dalam menikmati suasana wisata di kawasan Gunung Bromo. Bentuk-bentuk dan kecenderungan tradisi kehidupan masyarakat adat Tengger tercermin dalam hidup keseharian mereka yang tidak terlepaskan dari kehidupan ritual agama.
Karena banyak wisatawan yang masuk ke wilayah masyarakat adat Tengger, maka sedikit banyak akan berpengaruh pada tatanan kehidupan ekonomi dan sosial. Namun demikian, masyarakat adat Tengger masih memegang teguh nilai-nilai luhur warisan nenek moyang. Proses penanaman nilai-nilai budaya pada generasi muda diberikan melalui pendidikan formal maupun informal.
Dalam kaitan dengan ini ada dua tokoh yang berperan dan berpengaruh, yakni Kepala Desa dan dukun. Kepala desa bertugas menangani masalah-masalah pemerintahan desa, sedangkan dukun bertugas menangani upacara-upacara adat. Sehingga dua tokoh itu bisa dikatakan sebagai pemuka pendapat dalam sistem komunikasi masyarakat adat Tengger. Sebagai pemuka pendapat, maka Kepala Desa dan dukun dijadikan tempat bertanya dan meminta nasihat bahkan sebagai model norma. Apa pun yang dikatakan oleh Kepala Desa dan dukun, masyarakat adat Tengger akan mematuhi, karena dua tokoh itu dianggap sebagai orang yang "suci".
Demikianlah sekilas tentang fenomena sosial yang menggambarkan betapa kuatnya pengaruh Kepala Desa dan dukun dalam masyarakat adat Tengger. Karena itu, Kepala Desa dan dukun bisa disejajarkan dengan pemuka pendapat dalam sistem komunikasi masyarakat adat Tengger. Informasi-informasi yang diterima oleh masyarakat adat Tengger didapatkan dari Kepala Desa dan dukun (sebagai pemuka pendapat). Dalam kondisi ini, pemuka pendapat memiliki kewenangan untuk menafsirkan beberapa informasi dari media massa, baru kemudian disebarkan kepada masyarakat. Sehingga ada kemungkinan melahirkan "pengaruh pribadi" dalam hubungan sosial, yang pada akhirnya masyarakat sangat tergantung 
kepada pemuka pendapat. Inilah yang kemudian penulis katakan: Kepala Desa dan dukun sebagai pemuka pendapat dalam sistem komunikasi masyarakat adat Tengger.
Semoga tulisan ini menjadi informasi sekaligus masukan bagi "agen pembaru" dalam menyosialisasikan pembangunan (ide-ide baru) pada masyarakat yang masih "tradisional", khususnya masyarakat adat Tengger. Amin.
F. Daftar Pustaka
Anonimous. 2000. Undang-Undang Otonomi Daerah Tahun 1999. Bandung: Citra Umbara.
Effendy, Onong U. 1986. Dimensi-Dimensi Komunikasi. Bandung: Alumni.
Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Bandung: Pustaka Jaya.
Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
MacAndrews, Colin dan Depari, Eduard. 1998. Peranan Komunikasi Massa Dalam Pembangunan. Yogyakarta: UGM Press. Pratikto, Riyono. 1983. Jangkauan Komunikasi. Bandung: Alumni Shoemaker, F.Floyd dan Rogers, Everett M. 1981. Memasyarakatkan Ide-ide Baru. Surabaya: Usaha Nasional.
Sajogyo, Pudjiwati dan Sajogyo. 1986. Sosiologi Pedesaan Jilid 2. Yogyakarta: UGM Press.
Soemanto, Bambang. 2002. Budaya Paternalis Masyarakat Adat Tengger. Tesis Master Universitas Muhammadiyah Malang.