Hujroh - Forum Pesantren Indonesia Alumni Pesantren Indonesia Forum      Misi Hujroh
 

Main juga kesini sul:
The Ghurfah Kisah Sukses Alumni Alumni di Luar Negeri Bisnis Online Hikayah fi Ma'had Railfans Dunia Pesantren Ekonomi Islam
Forum  Knowledge  Ekonomi Islam 
PESANAN PADA ZAMAN PRA-ISLAM
Pages: [1]

(Read 1061 times)   

Co Hujroh

  • Abadan fi Ma'had
  • ***
  • Co Hujroh No Reputation.
  • Join: 2018
  • Posts: 2095
  • Logged
PESANAN PADA ZAMAN PRA-ISLAM
« on: 22 Oct, 2018, 07:59:26 »

PESANAN PADA ZAMAN PRA-ISLAM

Sebagaimana perkongsian mudharabah, pesanan juga dilaksanakan oleh penduduk Yatsrib pada zaman pra-Islam. Ibnu ‘Abbas telah berkata, ”Ketika datang ke kota Madinah, Rasulullah saw. mengetahui bahwa penduduknya telah memesan buah-buahan selama satu tahun, atau dua tahun, yaitu membayar uang sekarang untuk mendapatkan buah-buahan, setelah satu tahun atau dua tahun. Kemudian Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa memesan, pesanlah dengan ukuran tertentu atau timbangan tertentu menurut ukuran waktu tertentu."
Dalam urusan pesanan ini, ada beberapa istilah yang sering disebut di dalam buku-buku fikih. Pembelinya disebut "muslim” (pemesan), |»enjualnya disebut "muslam ilaihi” (penerima pesanan). Barang yang dipesan disebut ”muslam fihi”, dan harganya disebut ”Ra’su Mal-

Imam Syafi’i berpendapat menggunakan kata "pesanan”, adalah wajib di dalam tiap-tiap transaksi ini, misalnya pihak yang memesan berkata kepada penjual, ”Aku memesan kepadamu dengan dua puluh pound untuk seratus dua puluh gantang gandum ... (dengan menyebutkan jenis gandum itu dan kadar mutunya) aku akan mengambilnya dalam jangka sekian.” Tetapi, dalam mazhab Hanafi, transaksi ini cukup dengan kata jual beli saja.
Adakah dalam urusan pesanan itu mengandung bahaya kerusakan? Jika ada, mengapa Islam memperbolehkannya sedangkan semua penjualan barang-barang yang terdapat bahaya kerusakan itu diharamkan?
Ibnul Qaiyim berpendapat, dalam pesanan yang tidak ada bahaya kerusakan karena jenis barang, jaminan pengambilannya dalam tempo yang telah ditentukan dan kesanggupan waktu penyerahannya. Semua ini dapat menghapuskan dan menghilangkan adanya bahaya kerusakan. Pesanan yang berlainan dengan penjualan barang-barang yang mengandung bahaya kerusakan, seperti penjualan barang yang tidak terlihat dan tidak diketahui ada atau tidak barangnya. Hal semacam ini akan membuat penjual rugi terhadap barang jualannya. Begitu pula pembeli terhadap harganya. Pendek kata, keduanya dalam keadaan bimbang.
Sementara jumhur ulama berpendapat, bahwa pesanan juga mengandung kerusakan, sebab pembeli tidak melihat dan tidak dapat menguji barang yang dibelinya. Tetapi, diperbolehkan karena demi kepentingan orang banyak untuk mempermudah. Si pembeli membutuhkan barang tersebut, tetapi tidak menghendaki dengan segera, sedangkan penjual butuh uang sebelum barang itu diserahkan. Itulah sebabnya Islam membuat syarat-syarat untuk mengurangi bahaya kerusakan, agar tidak terjadi ketimpangan dalam pesanan di kemudian hari. Di antara syarat-syarat itu ialah penentuan jenis barang, kadar mutunya, waktu penerimaan, dan penetapan jumlahnya, baik dengan
timbangan atau ukuran. Begitu pula, pemikiran Islam mewajibkan kepada pemesan agar tidak terlalu membanting harga karena mengambil kesempatan dari keperluan penjual. Rasulullah saw. telah melarang penjual secara terpaksa. Pemikiran Islam mewajibkan pula penjual untuk menyerahkan barang pesanan dengan baik dan secepat mungkin, serta mengusahakan barang tersebut tepat pada waktunya. Islam melarang penjual mengembalikan harga barang pesanan itu kepada pemesan, bilamana waktu penyerahan barang tersebut tiba. Sebab, hal itu merupakan riba yang diharamkan, karena ia seolah-olah telah mengambil barang dan mengembalikan uang yang berlebihan.
Uang pesanan harus diterima seluruhnya terlebih dahulu. Jika keduanya berpisah, sebelum uang diterima seluruhnya maka transaksi itu batal. Sebab, ini merupakan cara pemesanan yang ditentukan oleh Rasulullah saw. Barangsiapa tidak membayar tidaklah ia memesan. Apabila dibayar sebagian saja maka Imam Abu Hanifah menganggapnya sah pada bagian yang telah dibayar saja, selebihnya batal. Sementara Imam Syafi i dan Hambali berpendapat, bahwa pesanan adalah satu bentuk perdagangan yang lengkap, oleh karena itu apabila harganya tidak dibayar sepenuhnya maka perdagangan tersebut batal.

Menurut sebagian besar para ulama, menggadai dalam pesanan adalah boleh, seperti menggadai dalam pinjaman. Utang pesanan juga ditulis seperti utang pinjaman. Istilah utang adalah mencakup kesemuanya.
Dengan berpegang kepada nas hadis yang disebutkan pada awal pembicaraan ini, para ulama hanya memperbolehkan pesanan yang menyebutkan ukuran dan timbangan dengan pasti. Tetapi, sebagian besar ulama memahami pernyataan tersebut. Bahwa pesanan itu hanya diperbolehkan pada barang yang telah ditetapkan, untuk menghindari dari bahaya kerusakan atau mencegahnya dari kerusakan. Kemudian mereka menjadikan ukuran dan timbangan yang pasti itu sebagai contoh, yang dikiaskan dalam ukuran yang sama, menentukan barang pesanan, dan menghindari kekeliruan seperti bilangan angka dan ukuran harta. 
Sebagaimana barang yang bisa diukur, sifatnya harus disebut. Begitu pula halnya dengan barang yang bisa dihitung, bentuknya harus disebutkan dan barang yang diukir disebutkan pula corak ukiran dan kuasnya. Pesanan kayu bakar yang berada di dalam ikatan tidak sah. Sebab sangat sulit ditetapkan. Tetapi, jika dipesan dengan cara timbangan maka ia menjadi sah. Demikian pula pesanan terhadap batu dan telur dengan bilangan yang disertai keterangan sifat atau mengikuti kebiasaan, hukumnya adalah sah.
Buah kurma dan buah lainnya tidak boleh dipesan, kecuali setelah buahnya dapat dilihat. Diriwayatkan, seorang laki-laki telah memesan kurma dengan pemilik kebun kurma, sebelum pohon kurma itu berbuah. Dan kebetulan pada tahun itu pohon-pohon kurma tersebut tidak berbuah. Maka, pemesan tersebut mengatakan, "Pohon kurma ini akulah yang mempunyai sehingga ia berbuah.” Jawab pemiliknya, ”Tidak, karena aku menjual kurmanya kepadamu untuk tahun ini saja.” Maka, mereka mengadu kepada Rasulullah saw. Kemudian beliau bertanya kepada penjual, "Apakah dia telah mengambil kurma dari pohon kurmamu?” Penjual menjawab, "Tidak.” Rasulullah berkata, Jadi, bagaimana engkau boleh memakan uangnya? Kembalikan kepadanya apa yang telah engkau terima, dan janganlah kamu memesankan pohon kurma kecuali bila sudah jelas menjadi buah.” (HR. Ibnu Majah).
Demikian kita dapatkan pesanan itu sebagai suatu kemudahan yang diizinkan oleh Islam. Biasanya harga pesanan itu lebih murah daripada harga waktu penyerahannya. Islam membolehkan pemesanan ini, demi memelihara kepentingan penjual dan pembeli, asalkan tidak ada pemerasan.

Penjualan dengan Kredit
Ini juga salah satu cara kemudahan bagi umat Islam. Sebuah barang yang dijual dengan harga tunai, misalnya $100,00, dan dijual dengan kredit lebih mahal sedikit dari $100,00, yaitu dengan kelebihan yang
tidak membahayakan. Dalam hal ini, Ibnul Qaiyim berkata, "Siapa yang menjual dengan harga seratus perak secara kredit dan lima puluh perak secara tunai, hal ini tidak disebut riba dan tidak ada bahaya. Selain itu, ia bukan judi dan bukan pula sesuatu perbuatan yang buruk. Sebetulnya, si penjual sudah memberikan kebebasan kepada si pembeli mana yang dipilihnya”
Pendapat ini disetujui oleh sebagian para ulama, sebab termasuk jual beli. Dan jual beli itu pada dasarnya dibolehkan. Lagi pula tidak ada nas yang melarang jenis jual beli semacam ini. Pihak penjual dapat mempertinggi harganya, asal penambahan itu bukan pemerasan dan penganiayaan. Kalau tidak tentulah diharamkan. Dan semua dalil- dalil menunjukkan diperbolehkan.

Pembelian Kembali
Ada satu lagi bentuk jual beli yang telah dibicarakan oleh Ibnu Hazim dan boleh dilakukan. Menurutnya, "Barangsiapa yang menjual suatu barang dengan harga tertentu secara tunai, atau ditangguhkan dalam tempo lama atau singkat maka bisa dibeli kembali barang tersebut dari pembelinya, dengan harga yang sama seperti waktu menjualnya, atau lebih mahal atau lebih murah, baik secara tunai maupun dengan tempo waktu yang lebih lama atau singkat dari tempo yang telah ditentukan, sepanjang penjualan pertama itu ada temponya. Semuanya ini boleh tidak makruh sedikitpun, asal pada awalnya tidak disyaratkan. Kalau disyaratkan maka menjadi haram dan jual beli itu dibatalkan.”      Bahkan, menurut seorang penulis pada abad ini hal itu dianggap sebagai suatu helat yang menghindari dari riba. Ustadz al-Jaziri berkata, "Dapat disebutkan di sini suatu helat yang menghindari riba, yaitu apabila meminjam dapatlah pihak yang memberi pinjaman menjual kepada peminjam suatu barang, dengan harga yang lebih mahal dari harga aslinya. Setelah menerima harga itu, kemudian barang itu dibelinya
kembali dengan harga yang jauh lebih murah dari harga penjualannya tadi Dengan demikian, ada kelebihan uang yang diinginkannya, dan ini bukanlah riba.”
Saya tidak berpikir jika agama Islam menyetujui helat ini. Sebab, sifat suatu helat yang disengaja itu sama seperti suatu syarat. Dan ini bisa menyebabkan pembatalannya serta tidak boleh menjadi alasan untuk menghalalkan pinjaman tersebut. Tetapi, bilamana terjadi dengan sendirinya, baik dalam penjualan atau pembelian, tanpa syarat yang disengaja atau tidak langsung maka hal tersebut termasuk jual beli yang halal.
Ibnu Rusyd menegaskan, bahwa kebolehannya adalah masih terikat dengan tidak adanya prasangka. Menurut dasar hukum tidak boleh ada unsur-unsur yang dapat menimbulkan prasangka orang. Tetapi, menurut Imam Malik, sekiranya masalah seperti itu telah terjadi berulang-ulang atau memang sudah biasanya dilakukan oleh orang yang memberikan utang dan masih terdapat prasangka maka hal itu dianggap makruh. Semua itu bila tidak ada syarat apa-apa, dan jika disyaratkan maka kedua bentuk jual beli itu adalah haram.
* * *
Demikianlah ulasan yang secara jelas menunjukkan kemudahan- kemudahan yang diberikan oleh Islam kepada seluruh kaum muslimin, yang berhubungan dengan urusan-urusan hidupnya. Jelas bagi kita, bahwa jual beli dengan berbagai macam bentuknya diperbolehkan. Dan hal ini dapat menjamin keuntungan bagi pemilik modal maka sudah menjadi tabiat jual beli, bahwa jual beli adalah untuk memperoleh keuntungan bagi penjual dan pemilik modal selama tidak dilakukan dengan jalan riba, dan selama bentuk penukaran itu bukan uang dengan uang yang ada tambahannya (kelebihannya). Maka, pemikiran Islam memperluas dan mengadakan bentuk-bentuk kemudahan seperti, pesanan, dan jual beli dengan kredit atau dengan jangka waktu seperti
yang telah disinggung di atas. Masalah yang dilarang oleh Islam adalah uang dengan keuntungan uang, tanpa ada barang yang menjadi perantara keuntungan tersebut. Bila uang itu digunakan sebagai modal dalam perdagangan maka akan terbuka luas untuk mencari keuntungan yang halal, asal tidak ada unsur pemerasan atau penganiayaan yang disebabkan adanya kebutuhan yang mendesak. Berpegang kepada kemudahan-kemudahan ini, kita melangkah kepada masalah pokok, yaitu mengenai pembentukan bank Islam.

arifluqman682

  • Qudama
  • *
  • arifluqman682 No Reputation.
  • Join: 2016
  • Posts: 126
  • Logged
Re: PESANAN PADA ZAMAN PRA-ISLAM
« Reply #1 on: 09 Dec, 2018, 21:17:31 »
PESANAN PADA ZAMAN PRA-ISLAM

Sebagaimana perkongsian mudharabah, pesanan juga dilaksanakan oleh penduduk Yatsrib pada zaman pra-Islam. Ibnu ‘Abbas telah berkata, ”Ketika datang ke kota Madinah, Rasulullah saw. mengetahui bahwa penduduknya telah memesan buah-buahan selama satu tahun, atau dua tahun, yaitu membayar uang sekarang untuk mendapatkan buah-buahan, setelah satu tahun atau dua tahun. Kemudian Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa memesan, pesanlah dengan ukuran tertentu atau timbangan tertentu menurut ukuran waktu tertentu."
Dalam urusan pesanan ini, ada beberapa istilah yang sering disebut di dalam buku-buku fikih. Pembelinya disebut "muslim” (pemesan), |»enjualnya disebut "muslam ilaihi” (penerima pesanan). Barang yang dipesan disebut ”muslam fihi”, dan harganya disebut ”Ra’su Mal-

Imam Syafi’i berpendapat menggunakan kata "pesanan”, adalah wajib di dalam tiap-tiap transaksi ini, misalnya pihak yang memesan berkata kepada penjual, ”Aku memesan kepadamu dengan dua puluh pound untuk seratus dua puluh gantang gandum ... (dengan menyebutkan jenis gandum itu dan kadar mutunya) aku akan mengambilnya dalam jangka sekian.” Tetapi, dalam mazhab Hanafi, transaksi ini cukup dengan kata jual beli saja.
Adakah dalam urusan pesanan itu mengandung bahaya kerusakan? Jika ada, mengapa Islam memperbolehkannya sedangkan semua penjualan barang-barang yang terdapat bahaya kerusakan itu diharamkan?
Ibnul Qaiyim berpendapat, dalam pesanan yang tidak ada bahaya kerusakan karena jenis barang, jaminan pengambilannya dalam tempo yang telah ditentukan dan kesanggupan waktu penyerahannya. Semua ini dapat menghapuskan dan menghilangkan adanya bahaya kerusakan. Pesanan yang berlainan dengan penjualan barang-barang yang mengandung bahaya kerusakan, seperti penjualan barang yang tidak terlihat dan tidak diketahui ada atau tidak barangnya. Hal semacam ini akan membuat penjual rugi terhadap barang jualannya. Begitu pula pembeli terhadap harganya. Pendek kata, keduanya dalam keadaan bimbang.
Sementara jumhur ulama berpendapat, bahwa pesanan juga mengandung kerusakan, sebab pembeli tidak melihat dan tidak dapat menguji barang yang dibelinya. Tetapi, diperbolehkan karena demi kepentingan orang banyak untuk mempermudah. Si pembeli membutuhkan barang tersebut, tetapi tidak menghendaki dengan segera, sedangkan penjual butuh uang sebelum barang itu diserahkan. Itulah sebabnya Islam membuat syarat-syarat untuk mengurangi bahaya kerusakan, agar tidak terjadi ketimpangan dalam pesanan di kemudian hari. Di antara syarat-syarat itu ialah penentuan jenis barang, kadar mutunya, waktu penerimaan, dan penetapan jumlahnya, baik dengan
timbangan atau ukuran. Begitu pula, pemikiran Islam mewajibkan kepada pemesan agar tidak terlalu membanting harga karena mengambil kesempatan dari keperluan penjual. Rasulullah saw. telah melarang penjual secara terpaksa. Pemikiran Islam mewajibkan pula penjual untuk menyerahkan barang pesanan dengan baik dan secepat mungkin, serta mengusahakan barang tersebut tepat pada waktunya. Islam melarang penjual mengembalikan harga barang pesanan itu kepada pemesan, bilamana waktu penyerahan barang tersebut tiba. Sebab, hal itu merupakan riba yang diharamkan, karena ia seolah-olah telah mengambil barang dan mengembalikan uang yang berlebihan.
Uang pesanan harus diterima seluruhnya terlebih dahulu. Jika keduanya berpisah, sebelum uang diterima seluruhnya maka transaksi itu batal. Sebab, ini merupakan cara pemesanan yang ditentukan oleh Rasulullah saw. Barangsiapa tidak membayar tidaklah ia memesan. Apabila dibayar sebagian saja maka Imam Abu Hanifah menganggapnya sah pada bagian yang telah dibayar saja, selebihnya batal. Sementara Imam Syafi i dan Hambali berpendapat, bahwa pesanan adalah satu bentuk perdagangan yang lengkap, oleh karena itu apabila harganya tidak dibayar sepenuhnya maka perdagangan tersebut batal.

Menurut sebagian besar para ulama, menggadai dalam pesanan adalah boleh, seperti menggadai dalam pinjaman. Utang pesanan juga ditulis seperti utang pinjaman. Istilah utang adalah mencakup kesemuanya.
Dengan berpegang kepada nas hadis yang disebutkan pada awal pembicaraan ini, para ulama hanya memperbolehkan pesanan yang menyebutkan ukuran dan timbangan dengan pasti. Tetapi, sebagian besar ulama memahami pernyataan tersebut. Bahwa pesanan itu hanya diperbolehkan pada barang yang telah ditetapkan, untuk menghindari dari bahaya kerusakan atau mencegahnya dari kerusakan. Kemudian mereka menjadikan ukuran dan timbangan yang pasti itu sebagai contoh, yang dikiaskan dalam ukuran yang sama, menentukan barang pesanan, dan menghindari kekeliruan seperti bilangan angka dan ukuran harta. 
Sebagaimana barang yang bisa diukur, sifatnya harus disebut. Begitu pula halnya dengan barang yang bisa dihitung, bentuknya harus disebutkan dan barang yang diukir disebutkan pula corak ukiran dan kuasnya. Pesanan kayu bakar yang berada di dalam ikatan tidak sah. Sebab sangat sulit ditetapkan. Tetapi, jika dipesan dengan cara timbangan maka ia menjadi sah. Demikian pula pesanan terhadap batu dan telur dengan bilangan yang disertai keterangan sifat atau mengikuti kebiasaan, hukumnya adalah sah.
Buah kurma dan buah lainnya tidak boleh dipesan, kecuali setelah buahnya dapat dilihat. Diriwayatkan, seorang laki-laki telah memesan kurma dengan pemilik kebun kurma, sebelum pohon kurma itu berbuah. Dan kebetulan pada tahun itu pohon-pohon kurma tersebut tidak berbuah. Maka, pemesan tersebut mengatakan, "Pohon kurma ini akulah yang mempunyai sehingga ia berbuah.” Jawab pemiliknya, ”Tidak, karena aku menjual kurmanya kepadamu untuk tahun ini saja.” Maka, mereka mengadu kepada Rasulullah saw. Kemudian beliau bertanya kepada penjual, "Apakah dia telah mengambil kurma dari pohon kurmamu?” Penjual menjawab, "Tidak.” Rasulullah berkata, Jadi, bagaimana engkau boleh memakan uangnya? Kembalikan kepadanya apa yang telah engkau terima, dan janganlah kamu memesankan pohon kurma kecuali bila sudah jelas menjadi buah.” (HR. Ibnu Majah).
Demikian kita dapatkan pesanan itu sebagai suatu kemudahan yang diizinkan oleh Islam. Biasanya harga pesanan itu lebih murah daripada harga waktu penyerahannya. Islam membolehkan pemesanan ini, demi memelihara kepentingan penjual dan pembeli, asalkan tidak ada pemerasan.

Penjualan dengan Kredit
Ini juga salah satu cara kemudahan bagi umat Islam. Sebuah barang yang dijual dengan harga tunai, misalnya $100,00, dan dijual dengan kredit lebih mahal sedikit dari $100,00, yaitu dengan kelebihan yang
tidak membahayakan. Dalam hal ini, Ibnul Qaiyim berkata, "Siapa yang menjual dengan harga seratus perak secara kredit dan lima puluh perak secara tunai, hal ini tidak disebut riba dan tidak ada bahaya. Selain itu, ia bukan judi dan bukan pula sesuatu perbuatan yang buruk. Sebetulnya, si penjual sudah memberikan kebebasan kepada si pembeli mana yang dipilihnya”
Pendapat ini disetujui oleh sebagian para ulama, sebab termasuk jual beli. Dan jual beli itu pada dasarnya dibolehkan. Lagi pula tidak ada nas yang melarang jenis jual beli semacam ini. Pihak penjual dapat mempertinggi harganya, asal penambahan itu bukan pemerasan dan penganiayaan. Kalau tidak tentulah diharamkan. Dan semua dalil- dalil menunjukkan diperbolehkan.

Pembelian Kembali
Ada satu lagi bentuk jual beli yang telah dibicarakan oleh Ibnu Hazim dan boleh dilakukan. Menurutnya, "Barangsiapa yang menjual suatu barang dengan harga tertentu secara tunai, atau ditangguhkan dalam tempo lama atau singkat maka bisa dibeli kembali barang tersebut dari pembelinya, dengan harga yang sama seperti waktu menjualnya, atau lebih mahal atau lebih murah, baik secara tunai maupun dengan tempo waktu yang lebih lama atau singkat dari tempo yang telah ditentukan, sepanjang penjualan pertama itu ada temponya. Semuanya ini boleh tidak makruh sedikitpun, asal pada awalnya tidak disyaratkan. Kalau disyaratkan maka menjadi haram dan jual beli itu dibatalkan.”      Bahkan, menurut seorang penulis pada abad ini hal itu dianggap sebagai suatu helat yang menghindari dari riba. Ustadz al-Jaziri berkata, "Dapat disebutkan di sini suatu helat yang menghindari riba, yaitu apabila meminjam dapatlah pihak yang memberi pinjaman menjual kepada peminjam suatu barang, dengan harga yang lebih mahal dari harga aslinya. Setelah menerima harga itu, kemudian barang itu dibelinya
kembali dengan harga yang jauh lebih murah dari harga penjualannya tadi Dengan demikian, ada kelebihan uang yang diinginkannya, dan ini bukanlah riba.”
Saya tidak berpikir jika agama Islam menyetujui helat ini. Sebab, sifat suatu helat yang disengaja itu sama seperti suatu syarat. Dan ini bisa menyebabkan pembatalannya serta tidak boleh menjadi alasan untuk menghalalkan pinjaman tersebut. Tetapi, bilamana terjadi dengan sendirinya, baik dalam penjualan atau pembelian, tanpa syarat yang disengaja atau tidak langsung maka hal tersebut termasuk jual beli yang halal.
Ibnu Rusyd menegaskan, bahwa kebolehannya adalah masih terikat dengan tidak adanya prasangka. Menurut dasar hukum tidak boleh ada unsur-unsur yang dapat menimbulkan prasangka orang. Tetapi, menurut Imam Malik, sekiranya masalah seperti itu telah terjadi berulang-ulang atau memang sudah biasanya dilakukan oleh orang yang memberikan utang dan masih terdapat prasangka maka hal itu dianggap makruh. Semua itu bila tidak ada syarat apa-apa, dan jika disyaratkan maka kedua bentuk jual beli itu adalah haram.
* * *
Demikianlah ulasan yang secara jelas menunjukkan kemudahan- kemudahan yang diberikan oleh Islam kepada seluruh kaum muslimin, yang berhubungan dengan urusan-urusan hidupnya. Jelas bagi kita, bahwa jual beli dengan berbagai macam bentuknya diperbolehkan. Dan hal ini dapat menjamin keuntungan bagi pemilik modal maka sudah menjadi tabiat jual beli, bahwa jual beli adalah untuk memperoleh keuntungan bagi penjual dan pemilik modal selama tidak dilakukan dengan jalan riba, dan selama bentuk penukaran itu bukan uang dengan uang yang ada tambahannya (kelebihannya). Maka, pemikiran Islam memperluas dan mengadakan bentuk-bentuk kemudahan seperti, pesanan, dan jual beli dengan kredit atau dengan jangka waktu seperti
yang telah disinggung di atas. Masalah yang dilarang oleh Islam adalah uang dengan keuntungan uang, tanpa ada barang yang menjadi perantara keuntungan tersebut. Bila uang itu digunakan sebagai modal dalam perdagangan maka akan terbuka luas untuk mencari keuntungan yang halal, asal tidak ada unsur pemerasan atau penganiayaan yang disebabkan adanya kebutuhan yang mendesak. Berpegang kepada kemudahan-kemudahan ini, kita melangkah kepada masalah pokok, yaitu mengenai pembentukan bank Islam.

kalau ndak salah ini bai' salam ya gan?