Hujroh - Forum Pesantren Indonesia Alumni Pesantren Indonesia Forum      Misi Hujroh
 

Main juga kesini sul:
The Ghurfah Kisah Sukses Alumni Alumni di Luar Negeri Bisnis Online Hikayah fi Ma'had Railfans Dunia Pesantren Ekonomi Islam
Forum  Knowledge  Ekonomi Islam 
Pandangan Hukum Islam Mengenai Asuransi
Pages: [1]

(Read 1273 times)   

Co Hujroh

  • Abadan fi Ma'had
  • ***
  • Co Hujroh No Reputation.
  • Join: 2018
  • Posts: 2095
  • Logged
Pandangan Hukum Islam Mengenai Asuransi
« on: 23 Oct, 2018, 10:18:55 »

Pandangan Hukum Islam Mengenai Asuransi

Asuransi berarti memberi perlindungan kepada seseorang. Di dalam kesibukan hidup zaman modem ini, asuransi telah menyebar luas, sehingga terkadang menjadi satu keharusan. Misalnya, asuransi tenaga kerja untuk kaum buruh; asuransi kematian di jalan raya; asuransi jiwa untuk kemaslahatan pihak yang berasuransi atau kemaslahatan pihak yang diasuransikan; dan asuransi perdagangan untuk kemaslahatan para pedagang, dan sebagainya. Begitu pula sekarang ini boleh dikatakan hampir setiap rumah ada surat asuransi untuk suatu benda. Oleh karena itu, sudah sepantasnya memaparkan pandangan Islam mengenai masalah ini.
Para sarjana ekonomi telah berselisih pendapat dalam mendefinisikan asuransi. Saya dapat menjelaskan sebagian untuk menjadi bahan renungan bagi kita.
Asuransi adalah suatu urusan di mana pihak yang berasuransi menerima suatu perjanjian untuk kepentingannya, atau kepentingan orang lain yang diasuransikan. Bahwa pihaknya akan menerima ganti rugi berupa uang dari badan asuransi itu, bilamana terjadi sesuatu bahaya tertentu yang menimpanya, dan akan dilayani sebaik mungkin setelah pihak yang berasuransi itu melunasi sejumlah bayaran yang kecil. Badan asuransi ini akan menanggung kemungkinan-kemungkinan bahaya, dan akan mengurusi segala sesuatu sesuai dengan hasil perkiraan.
Asuransi adalah memindahkan kerugian besar yang mungkin terjadi kepada kerugian kecil yang pasti, dengan cara mengumpulkan sebagian besar dari kemungkinan bahaya dengan mengambil secara rata-rata.
Asuransi telah berjalan dalam beberapa fase sejarah. Fase-fase sejarah ini perlu kita ikuti secara sepintas lalu. Pada tahap pertama, terdapat apa yang dinamakan "pinjaman perkapalan”. Yaitu, sebuah kapal yang mengamngi lautan besar dengan muatannya yang terbuka kemungkinan menghadapi bahaya, pemiliknya terlebih dahulu mendapatkan pinjaman sebagai jaminannya. Apabila kapal itu sampai dengan selamat, pinjaman tersebut dikembalikan dengan bayaran bunga yang besar. Dan bilamana kapal itu ditimpa kemalangan, misalnya tenggelam atau terbakar maka pinjaman tersebut akan hilang. Jelas, ini merupakan perjudian yang bisa menimbulkan kerugian besar pada satu pihak saja. Dari aspek agama, hal ini termasuk perjudian. Sebab kerugiannya hanya ditanggung oleh sebelah pihak saja. Karena itu urusan ini diharamkan.
Kemudian pinjaman perkapalan ini berubah bentuk menjadi "Asuransi Perkapalan”. Yaitu, semua pemilik kapal bersatu menanggung kerugian yang menimpa kapal di antara kapal mereka. Hal ini dikenal dengan nama "asuransi kerja sama” atau "saling mengganti” Dari
asuransi perkapalan ini, muncul asuransi-asuransi yang lain. Misalnya, para pedagang yang takut terjadi pencurian terhadap tokonya atau pemilik bangunan takut ditimpa kebakaran maka mereka mengadakan kesepakatan bersama untuk menanggung biaya kerugian yang sewaktu- waktu dapat menimpa di antara mereka. Dengan demikian, asuransi ini kemudian menjadi gagasan untuk kerja sama dalam menghadapi bahaya yang mungkin dapat menimpa pihak mana saja yang tergabung. Asuransi kerja sama atau saling mengganti ini dibolehkan menurut syara’, bahkan dianjurkan karena merupakan bentuk kerja sama yang baik. Di mana setiap anggota membayar bagiannya dengan rela dan sesuka hati, agar mereka bisa dijadikan sebagai modal persatuan untuk menolong setiap anggotanya yang membutuhkan pertolongan. Di sini tidak terdapat kemudharatan, karena merupakan perjanjian beramal untuk ganti rugi.298
Pada masa Revolusi Industri, muncul pula asuransi pabrik dan tenaga kerja, juga muncul asuransi terhadap bahaya penggunaan kereta dan roda. Kemudian lahir asuransi jiwa dan asuransi sosial yang dibentuk oleh pemerintah untuk seluruh aparatnya.
Dengan tersebutnya dana asuransi dan dibuatkan rincian taksiran, ternyata anggaran kerugian selalu hampir dapat ditetapkan di dalam setiap barang yang diasuransikan. Hal ini telah mendorong beberapa orang atau badan untuk menjalankan urusan asuransi dan pihak yang akan berasuransi serta pihak yang mau berasuransi, dikenakan bayaran yang telah ditetapkan. Sedangkan pihak asuransi akan menanggung kerugian jika terjadi sesuatu atas pihak yang berasuransi. Jenis ini dinamakan Asuransi Angsuran Tetap”. Memang, di sini jelas bahwa di dalamnya terdapat kerja sama yang berkesan di antara para pihak yang berasuransi, sekalipun mereka tidak bertemu. Dan pihak asuransi itu, baik perseorangan maupun kelompok, merupakan sebagai perantara yang memungut semua pembayaran dan menanggung kerugian bila terjadi. Asuransi tidak dapat dilaksanakan apabila yang mengasuransikan itu hanya seorang saja, tetapi memerlukan beberapa orang yang
mengasuransikan. Sebab, pembayaran terhadap kerugian pada hakikatnya ditanggung oleh peserta-peserta asuransi tersebut, sekalipun mereka tidak hadir sewaktu pembayaran. Sebab, pihak asuransi adalah menjadi wakil mereka. Dengan demikian, para penyelidik berpendapat bahwa asuransi merupakan kerja sama di antara beberapa orang dan setiap orang yang berasuransi dan mengasuransikan.
Ketika asuransi semakin meluas dan bercabang-cabang, pemerintah mulai ikut campur untuk mengawasi dan melindungi orang-orang yang mengasuransikan kepada badan-badan asuransi tersebut, serta menyusun hubungan di antara kedua belah pihak yang berasuransi. Dengan peredaran waktu, tampak bahwa badan-badan asuransi itu memperoleh keuntungan yang sangat besar, karena sedikit sekali kemungkinan terjadinya musibah ketimbang jumlah iuran yang dikeluarkan. Lebih- lebih asuransi yang menerima asuransi untuk proyek-proyek besar yang dijalankan oleh badan asuransi mempunyai kelebihan harta dan tidak meragukannya. Dengan alasan inilah sebagian pemerintah bertindak untuk mengambil alih sebagai milik negara, karena asuransi yang mengumpulkan harta rakyat keuntungan yang diperoleh seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat juga.-
Bagaimana Pandangan Hukum Islam Mengenai Asuransi dengan Angsuran Tetap Itu?
Untuk menjawabnya, kami perlu bertanya dulu, "Apakah di dalam transaksi asuransi itu mengandung mudharat? Jika mengandung mudharat dapatkah hal itu diatasi?”
Ustadz Mustafa az-Zarka berpendapat, transaksi asuransi itu tidak mengandung kemudharatan, baik kepada pihak asuransi maupun yang berasuransi. Dari pihak asuransi asas-asas perkiraan yang meliputi semua bahaya kerusakan dapat menimpa pihak asuransi. Bagi pihak yang berasuransi, tidak ada kemudharatannya sebab ganti n.gi yang semestinya diterima dari angsuran-angsuran yang tetap. Ini berarti diperoleh selama dalam masa kontrak, tanpa bergantung kepada
terjadinya musibah yang diasuransikan. Dengan adanya perlindungan ini maka tidak ada bedanya, baik terjadi musibah atau tidak. Apabila tidak terjadi musibah, uang dan haknya tetap terjamin. Dan jika terjadi musibah maka dia mendapat ganti rugi. Baik terjadi musibah atau tidak, baginya adalah sama saja setelah diikat dengan transaksi asuransi. Perlindungan dan ketenteraman yang diberikan oleh pihak asuransi kepadanya merupakan hasil ikatan transaksi, dengan pembayaran. Di sinilah ganti rugi yang sebenarnya.300
Kalau memang tidak ada mudharat di dalam transaksi ini maka ia diperbolehkan oleh syara’. Dan inilah yang ditekankan oleh ustadz Az- Zarka dalam kajiannya yang ditulis di mingguan Fiqh Islam itu.
Namun, ada pula sebagian para ahli pikir yang berpendapat, asuransi itu mengandung mudharat, tetapi diperbolehkan melakukannya. Mereka menegaskan bahwa asuransi itu adalah satu-satunya masalah baru di bidang keuangan yang belum diketahui sebelum abad keempat belas Masehi. Oleh karena itu, tidak ada dasar nasnya atau keterangan ulama- ulama fikih mengenai ketentuan hukumnya. Juga tidak ada bentuk transaksi keuangan yang boleh diqiyaskan dengan asuransi. Dengan demikian, mereka hanya menggunakan kaidah umum syari’at Islam di dalam menentukannya.
Di antara kaidah ini, segala transaksi diperbolehkan kecuali yang telah dilarang oleh nas. Namun, kita tidak menemui nas yang mengharamkan asuransi. Mereka telah menjawab pihak yang beranggapan bahwa asuransi itu sebagai suatu perjudian, dengan menjelaskan perjudian itu adalah semacam hiburan dan permainan yang dimaksudkan hanya semata-mata untuk mendapatkan uang secara kebetulan dan selalu menjatuhkan kerugian kepada salah satu pihak. Itulah sebabnya Al-Quran menyebutkan bahwa judi itu merupakan sumber dari segala permusuhan dan kebencian serta menghalangi untuk shalat dan mengingat kepada Allah. Undang-undang pun mengharamkan judi, tetapi sebaliknya menghalalkan asuransi. Di dalam asuransi, pihak yang berasuransi dilindungi dari suatu bahaya dan tidak menyebabkan
kerugian kepada pihak yang menjalankan asuransi. Aspek-aspek semacam ini tidak terdapat di dalam bentuk perjudian. Orang yang berjudi tidak terlepas dari bahaya. Uangnya mungkin hilang karena mengejar keuntungan yang dikhayalkan. Sementara asuransi berdasarkan kepada asas-asas ilmiah, perjudian berdasarkan mengadu nasib. Asuransi menjauhkan bahaya, sedang perjudian mendatangkan bahaya.
Di antara ulama yang memperbolehkan asuransi adalah Ustadz Syaikh Abdul Rahman Isa. Ia berpendapat bahwa asuransi adalah suatu masalah yang baru dan belum pernah ada pada masa-masa mujtahid serta tidak termasuk di dalam transaksi keuangan yang telah dibicarakan oleh para ulama fikih pada periode pertama. Menurut pendapatnya, asuransi adalah suatu transaksi dengan suka rela dan atas persetujuan kedua belah pihak. Ia tidak akan membahayakan kepada seseorang bahkan mendatangkan manfaat kepada sebagian orang. Pada umumnya pihak yang menjalankan asuransi mendapatkan keuntungan dan pihak yang berasuransi merasa puas hati. Apabila terjadi musibah maka pihak yang berasuransi memperoleh ganti mgi yang cukup.
Berikut ini adalah beberapa pendapat para pengkaji.
—   "Asuransi perdagangan dapat memelihara stabilitas ekonomi. Kapal, toko, bank, gedung pencakar langit, pabrik, kereta biasanya diasuransikan. Memang, sebagian ada yang dipaksa diasuransikan, karena sangat diperlukan. Pihak yang menjalankan asuransi dan pihak yang berasuransi mengikat transaksi dengan penuh kerelaan. Hal ini merupakan urusan yang menyangkut kepentingan umum, menjaga harta orang banyak, dan melindungi mereka dari bahaya- bahaya keuangan. Di samping itu, ia mendatangkan pula keuntungan bagi lembaga asuransi. Dan transaksi ini mengikat kedua belah pihak yang sepakat untuk melibatkan diri dalam satu urusan yang mengandung kepentingan ekonomi. Dengan demikian, asuransi itu adalah suatu urusan yang diperbolehkan oleh syara’.”
—   "Asuransi untuk kecelakaan seseorang di dalam perusahaan dan
kerja yang mengandung bahaya, baik asuransi jiwa, asuransi organ tubuh, maupun asuransi pancaindra, mendatangkan kemaslahatan umum dan memperingan bencana. Oleh karena itu, diperbolehkan oleh syara’.”
-   "Asuransi untuk kecelakaan seseorang di luar perusahaan dan kerja yang membawa bahaya diperbolehkan, dengan syarat pihak yang berasuransi sepakat dengan badan asuransi agar tidak menggunakan iuran-iuran asuransi yang mengandung unsur riba. Dengan kesepakatan ini, pihak yang berasuransi dapat menerima pembayaran dengan bunga dari pihak asuransi. Dan bunga ini diperbolehkan seperti bunga yang diperoleh oleh para penabung di kantor pos.”
-   ”Juga termasuk asuransi seperti asuransi kesehatan dan asuransi keselamatan kerja. Maka, dalam hal ini pemerintahlah yang menanganinya dengan menerima bayaran dari perseorangan. Dan bilamana terdapat kekurangan maka kekurangan itu harus dipenuhi oleh pihak pemerintah. Asuransi yang dimaksudkan itu adalah untuk memelihara kesejahteraan masyarakat. Yang dianjurkan oleh pemerintah dan dianggap halal, bahkan digemari.”
Syaikh Abdul Ghani ar-Rajihi membedakan pula di antara asuransi atas barang-barang yang dikirimkan ke toko-toko, asuransi atas bangunan dan kereta, asuransi hari tua dan pengangguran di satu pihak, dan asuransi jiwa di pihak lain. Beliau berpendapat, asuransi yang pertama adalah halal. Dan ia mengemukakan pula dua pendapat mengenai asuransi yang kedua.
Tentang asuransi yang pertama beliau menyatakan, "Apabila bayaran dari pihak yang berasuransi itu dianggap semata-mata sebagai suatu derma dikarenakan adanya kerja sama, dan badan asuransi akan membayar sebagian ganti rugi dari suatu peristiwa kami menganggap apa yang dibayarkan pihak asuransi juga semata-mata sebagai derma dan pertolongan kepada orang-orang yang ditimpa musibah, yang
berhak menerima santunan ganti rugi. Kami tidak mendapatkan suatu dalil yang melarang hal demikian. Keharusan dan ikatan perjanjian tidak menghilangkan bentuknya sebagai derma, kerja sama, dan pertolongan. Arti keharusan di sini adalah kerelaan dengan persetujuan yang dilandasi kerja sama.
Tentang asuransi jiwa, Syaikh Abdul Ghani ar-Rajihi mengatakan, "Pendapat para pengkaji memperbolehkannya, berdasarkan kepada pengertian di atas. Yaitu, sebagai pertolongan dan bantuan kepada seorang atau ahli warisnya, di samping ada jaminan keuntungan bagi pihak badan asuransi yang tidak mengikuti cara yang terdapat di masa ulama fikih pada periode pertama. Seandainya masalah ini mendatangkan kemaslahatan umum maka Allah akan menetapkannya di dalam syara’. Pihak yang menentang dan mengharamkan asuransi jiwa ini, disebabkan ia dinilai mengandung kemudharatan dan perjudian serta menghilangkan rasa tawakal kepada Allah.”
Dr. Muhammad Yusuf Musa menegaskan tidak dapat diragukan lagi bahwa asuransi dengan segala jenisnya mengandung unsur-unsur kerja sama yang tinggi antara pihak yang berasuransi. Kerja sama ini tidak dilarang. Yang dilarang adalah badan-badan asuransi yang menjalankan urusan-urusannya dengan pemerasan dan riba. Karena asuransi tidak mengandung riba maka dianggap halal dan diperbolehkan menurut pandangan syara’, di samping itu kita tidak menemui nas-nas yang melarangnya di dalam syari’at Allah dan Rasul-Nya.
Demikianlah pemikiran Islam tentang asuransi, dan bilamana segala urusan asuransi ini tidak mengandung suatu jenis riba maka menurut kesepakatan ulama (ijma’) dihalalkan.

whiteking

  • Guest
  • Logged
Re: Pandangan Hukum Islam Mengenai Asuransi
« Reply #1 on: 27 Oct, 2018, 05:26:45 »
Sekarang ini banyak perusahaan asuransi  banyak bermunculan, kalau difikir penghasilan perusahaan asuransi dari pembayaran premi nasabahnya, dan akan menanggung nasabah dalam kondisi tertentu, mungkin prinsipnya sama dengan bpjps kesehatan, tapi kabarnya bpjs kesehatan malah terjadi defisit yang besar

arifluqman682

  • Qudama
  • *
  • arifluqman682 No Reputation.
  • Join: 2016
  • Posts: 126
  • Logged
Re: Pandangan Hukum Islam Mengenai Asuransi
« Reply #2 on: 09 Dec, 2018, 20:52:05 »
Sekarang ini banyak perusahaan asuransi  banyak bermunculan, kalau difikir penghasilan perusahaan asuransi dari pembayaran premi nasabahnya, dan akan menanggung nasabah dalam kondisi tertentu, mungkin prinsipnya sama dengan bpjps kesehatan, tapi kabarnya bpjs kesehatan malah terjadi defisit yang besar

kemungkinan besar BPJS salah kelola sehingga mengalami defisit gan :mewek: