Hujroh - Forum Pesantren Indonesia Alumni Pesantren Indonesia Forum      Misi Hujroh
 

Main juga kesini sul:
The Ghurfah Kisah Sukses Alumni Alumni di Luar Negeri Bisnis Online Hikayah fi Ma'had Railfans Dunia Pesantren Ekonomi Islam
Forum  Knowledge  Ekonomi Islam 
Manajemen Sumber Daya Manusia/Insani (SDM) dalam Ekonomi Islam
Pages: [1]

(Read 2090 times)   

Admin

  • Administrator
  • Abadan fi Ma'had
  • ***
  • Admin No Reputation.
  • Join: 2013
  • Posts: 2615
  • Logged


Manajemen sumber daya insani konsen terhadap pengaturan aktivitas dan hubungan antarkaryawan. Mereka diharapkan mampu menunjukkan kinerja yang optimal. Para karyawan mampu meningkatkan kompetensi dan kemampuan teknis guna merealisasikan tujuan yang telah ditetapkan dalam perencanaan. Kegiatan manajemen sumber daya insani adalah seputar penentuan aktivitas karyawan, seieksi calon karyawan, pelatihan dan pengembangan karyawan serta semua aktivitas lain terkait dengan awal masuk karyawan hingga masa pensiun.
Sebagaimana telah dibahas, falsafah Islam memandang tugas kenegaraan sebagai tanggung jawab masing-masing individu. Untuk itu, tugas awal yang harus dilakukan pemimpin adalah seleksi calon pegawai guna menempati pos-pos pekerjaan pemerintahan yang telah ditetapkan. Pemilihan karyawan merupakan aktivitas kunci untuk menentukan jalannya sebuah perusahaan atau negara. Maka, para pemimpin harus selektif dalam memilih calon pegawai, mereka adalah orang yang berkompeten, memiliki pengetahuan iuas, rasa tanggung jawab dan dapat dipercaya (amanah).
Seleksi calon karyawan merupakan persoalan krusial. Hal ini pernah diisyaratkan oleh Rasulullah dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari (Shahih Bukhafi) dari Aba Hurairah. Rasulullah bersabda: “Ketika engkau menyia-nyiakan amanah, maka tunggulah kehancuran. Dikatakan, hai Rasulullah, apa yang membuatnya sia-sia? Rasul bersabda, “Ketika snalii perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunvml.ili kehancuran."
Manajemen Syariah

 
Mekanisme Pengangkatan Pegawai
Kepatutan dan Kelayakan (Fit and Proper)

Islam mendorong umatnya untuk memilih calon pegawai berdasarkan pengetahuan, pengalaman dan kemampuan teknis yang dimiliki. Hal ini sesuai dengan firman Allah: *Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya" (Al-Qashas (28): 26).
Pemahaman kekuatan di sini bisa berbeda sesuai dengan perbedaan jenis pekerjaan, kewajiban dan tanggung jawab yang dipikulnya. Ibn Taimiyah mengatakan, “Definisi kekuatan berbeda berdasarkan ruang jang melingkupinya. Kekuatan dalam medan perang bisa diartikan sebagai keberanian nyali untuk berperang, pengalaman perang dan kekuatan taktik atau strategi perang karena perang adalah taktik dan strategi, serta kemampuan untuk melakukan bermacam pembunuhan. Kekuatan dalam sistem peradilan dikembalikan pada pengetahuan terkait dengan keadilan yang ditunjukkan Alquran dan Hadis, serta kemampuan untuk menerapkan berbagai hukum."
Amanah merupakan faktor penting untuk menentukan kepatutan dan kelayakan seorang calon pegawai. Hal ini bisa diartikan dengan melaksanakan segala kewajiban sesuai dengan ketentuan Allah dan takut terhadap aturan-Nya. Selain itu, melaksanakan tugas yang dijalankan dengan sebaik-mungkin sesuai dengan prosedurnya, tidak diwarnai dengan unsur nepotisme, tindak kezaliman, penipuan, intimidasi, atau kecenderungan terhadap golongan tertentu.
Calon pegawai harus dipilih berdasarkan kepatutan, kelayakan. Persoalan ini pernah diingatkan Rasulullah dalam sabdanya: “Barang siapa mempekerjakan orang karena ada unsur nepotisme, padahal di sana terdapat orang yang lebih baik daripada orang tersebut, maka ia telah mengkhianati amanah yang telah diberikan Allah, Rasul-Nya dan kaum Muslimin. Dalam hadis lain Rasul bersabda: “Barang siapa mempekerjakan satu orang di antara 10 orang, dan ia tahu bahwa di antara mereka terdapat orang yang lebih utama (patut dan layak), maka ia telah menipu Allah, Rasul-Nya dan kaum Muslimin secara umum."
Dalam Islam, prosesi pengangkatan pegawai harus berdasarkan Kepatutan dan kelayakan calon atas pekerjaan yang akan dijalaninya. Ketika pilihan pengangkatan jatuh pada orang yang disinyalir memiliki kemampuan, padahal masih terdapat orang yang lebih patut, layak dan
lebih baik darinya (dari golongan orang-orang terdahulu), maka prosesi pengangkatan ini bertentangan dengan syariat Islam.1
Untuk menerapkan kaidah kepatutan dan kelayakan dalam pengangkatan pegawai, Rasulullah pernah menolak permintaan sahabat Abu Uzar untuk dijadikan sebagai pegawai beliau, karena ada kelemahan. Dalam hadis ini (sebagaimana telah dibahas sebelumnya), standar pengangkatan pegawai adalah kepatutan dan kalayakan seseorang untuk memikul tanggung jawab pekerjaan yang akan diwakilkan kepadanya.
Sebagaimana diriwayatkan dalam hadis, suatu ketika Paman Rasulullah meminta untuk dijadikan sebagai pegawai beliau dalam satu wilayah, kemudian Rasulullah bersabda: “Demi Allah, wahai pamanku, aku tidak akan menyerahkan persoalan ini (pengangkatan pegawai) kepada seorang pun yang memintanya atau sangat menginginkannya. ” Beliau kemudian memberikan nasihat bahwa jabatan itu bisa menjadi nikmat, tapi bisa berubah menjadi azab.
Begitu juga dengan sikap yang ditunjukkan oleh Khalifah Umar ketika para sahabat meminta lbn Umar untuk dijadikan sebagai pejabat. Ibn Umar dipandang sebagai seorang yang bertakwa dan mampu bertindak adil. Khalifah Umar menolak untuk menjadikannya sebagai pegawai, begitu juga menjadi khalifah setelah kepemimpinan Khalifah Umar. Sahabat Umar menjelaskan, cukup satu orang saja dari keluarga Umar r.a. yang akan menjalani hisab (penghitungan) di hari akhir nanti.
Dalam masa kekhalifahan beliau, ditentukan sebuah kaidah, “Barang siapa mempekerjakan orang karena ada unsur kecintaan atau kerabat, dan pengangkatannya hanya berdasarkan unsur tersebut, maka ia telah berkhianat terhadap amanah Allah, Rasul-Nya dar. kaum Mukminin".
Suatu ketika Khalifah Umar r.a. duduk bersama sahabat lainnya, dan berkata: “Tolonglah aku wahai penduduk Kufah, jika aku angkat seorang pemimpin yang lembek, maka kalian akan melemahkannya. Jika aku angkat seorang pemimpin yang kuat dan tegas, kalian akar, melaporkannya. Saya sangat suka jika menemukan orang Muslim, kuat dan dapat dipercaya, maka akan aku angkat dia sebag3i pemimpin kalian.”
Salah seorang dari sahabat itu berkata: “Demi Allah, akan aku tunjukkan orang yang kuat, dapat dipercaya dan Muslim." Sahabat Umar
'Dr. Muhammad as-Sayyid al-Dimyathi, Tauliyah al-V/cdzaif al-Ammah, 1971, lilm. 53. 
berkata: “Siapa dia?” sahabat itu berkata: “Abdullah bin Umat’ Khalifah Umar r.a. berkata: “Semoga Allah membunuhmu, demi Allah, saya tidak akan memilihnya." Kemudian, beliau memilih orang lain menjadi pegawai.
Dalam memilih seorang pegawai, beliau senantiasa meminta pendapat dari para sahabat, bukan hanya berdasarkan pendapat pribadinya. Suatu ketika, Khalifah berkata kepada para sahabatnya: “Berikanlah isyarat kepadaku, tunjukkanlah kepadaku orang yang patut untuk aku jadikan sebagai pegawai. Sesungguhnya aku menginginkan seorang pemimpin. Jika semula ia bukan pemimpin, maka ia seperti pemimpin mereka. Dan jika ia adalah pemimpin mereka, maka ia adalah bagian dari mereka”. Para sahabat kemudian mengajukan nama sahabat Rabi’ bin Ziyad al-Haritsi. Sahabat Umar r.a. menyetujuinya dan mengangkatnya sebagai pemimpin. Umar r.a. berterima kasih kepada para sahabat atas saran yang diberikan.
Sahabat Umar r.a. memberikan wasiat kepada Ali, Utsman dan Sa’ad bin Abi Waqqash, “Hai Ali, jika engkau mengangkat pemimpin untuk mengurusi persoalan manusia, pilihlah dari keluaiga Bani Hasyim. Hai Utsman, jika engkau mengangkat pemimpin untuk mengurusi persoalan manusia, pilihlah dari keluarga Abu Mu’ith. Hai Sa’ad, jika engkau mengangkat pemimpin untuk mengurusi persoalan manusia, pilihlah dari sanak kerabatmu.”


Mekanisme Kepantasan dan Kelayakan
Pembagian Aktivitas Pekeija dan Urgensinya

Ketika ingin mengangkat seorang pejabat, Khalifah Umar r.a. senantiasa menyediakan waktu untuk menentukan jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang harus diemban oleh seorang pejabat. Selain itu, Khalifah juga menentukan wewenang atau pun tanggung jawab terkait dengan jabatan yang akan diberikan. Setelah itu, Khalifah akan memberikan tanda tangan dan stempel, serta disaksikan oleh beberapa sahabat Anshar dan Muhajirin.
Sebelum para pejabat berangkat ke Madinah, kaum Muslimim berkumpul di dalam masjid. Kemudian, Khalifah membacakan wewenang dan tanggung jawab yang harus dipikul pegawai tersebut, dan disaksikan oleh kaum Muslimin. Hal ini dimaksudkan agar para pegawai mengetahui job deseription secara jelas, serta memahami batasan wewenang dan tanggung jawab mereka. Selain itu, jika terjadi tindak penyimpangan, kaum Muslimin yang menjadi saksi bisa memberikan tindak koreksi
Jika dianalogkan dengan ilmu manajemen modern, sahabat Umar bisa dinobatkan sebagai tokoh manajemen. Setidaknya hal ini di- kung oleh langkah-langkah yang ditempuh Umar r.a. yang menjalankan ses manajemen. Sebelum mengangkat seorang pegawai, terlebih ulu, Khalifah Umar r.a. menentukan aktivitas-aktivitas dan tanggung b yang harus diemban oleh calon pegawai. Kemudian, didelegasikan :da orang yang berkompeten untuk menjalankannya. Pengangkatan orang pegawai adalah bukan persoalan gampang. Akan tetapi, harus lewati beberapa tahap seleksi, sebelum menentukan calon pegawai uai kompetensinya.
Dalam kitab ‘Al-Siyasah al-Syar'iyyah’ Ibn Taimiyah menjelaskan, "Yang terpenting dalam persoalan ini (pengangkatan pegawai) adalah mengetahui yang paling pantas dan layak. Hal ini bisa disempurnakan tlcngan mengetahui wilayah dan jalan yang dimaksudkan untuk menuju ke arah sana. Jika engkau telah mengetahui maksud dan media (fasilitas) untuk mencapainya, maka sempurnakanlah urusan ini.”2
Untuk mengetahui yang paling patut dan layak menduduki sebuah Jabatan, harus ditentukan maksud dan tujuan dari adanya jabatan tersebut. Kemudian, dipikirkan bagaimana caranya (menggunakan media, fasilitas) untuk menyempurnakan tujuan itu. Hal ini bisa dilakukan dengan membuat program-program atau langkah strategis untuk meraihnya. Dengan demikian, diharapkan bisa menemukan sosok yang patut dan ak untuk mengemban tanggung jawab yang telah ditentukan. Mengetahui ewenang dan tanggung jawab sebuah pekerjaan adalah persoalan pokok (krusial) untuk menemukan calon pegawai yang paling ideal.


Seleksi Ujian Calon Pegawai
Memberikan ujian seleksi kepada calon pegawai adalah persoalan asasi (pokok; dalam Isiam. Ha'rini setidaknya dicerminkan dari sikap Rasulullah ketika akan mengangkat Muadz bin Jabal sebagai pejabat kehakiman. Rasulullah bertanya kepada Muadz: “Dengan apa engkau akan memutuskan ersoalan hukum?" Muadz menjawab, “Dengan kitab Allah." Rasulullah rtanya, “Jika kamu tidak menemukannya?." Muadz menjawab: ‘Dengan sunnah Rasulullah (hadis)." Rasulullah bertanya lagi: “Jika engkau tidak menemukannya juga?" Muadz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan
!Ibn Taimiyah, Al Siyasah al Syar'iyah, hlm. 21.
pendapatku." Rasulullah bersabda: *Alhamdulillah, Allah telah menolong utusan Rasulullah menjalankan agama sesuai dengan apa yang diridhal Allah dan Rasul-Nya."
Khalifah Umar r.a. tidak akan mengutus seorang gubernur untuk suatu wilayah, kecuali khalifah telah mengujinya dengan mengajak berdiskusi. Diriwayatkan bahwa suatu ketika khalifah sedang duduk bercengkerama dengan Ka’ab bin Sur. Kemudian, datanglah seorang wanita mengadukan persoalan suaminya. Khalifah berkata kepada Ka’ab, “Putuskanlah persoalan di antara keduanya." Khalifah kaget dan takjub terhadap keputusan yang ditetapkan Ka’ab, dan berkata, “Berangkatlah ke Bashrah untuk menjadi hakim di sana." Sebelumnya, Ka’ab tidak mengira bahwa dirinya akan dipilih menjadi hakim di Bashrah.


Pilihan Merupakan Hasil Seleksi Kolektif
Setelah dilakukan tahapan seleksi pegawai melalui beberapa ujian, Khalifah Umar r.a. selalu bermusyawarah dan meminta pendapat dari sahabat, ketika akan menentukan pilihan calon pegawai yang akan mengemban tanggung jawab besar. Bahkan terkadang, khalifah memberikan kebebasan dan tanggung jawab pemilihan pegawai kepada para sahabat setelah memberikan penjelasan tenung karakter pegawai yang diinginkan.
Hal ini diindikasikan dengan perkataan Umar r.a. kepada para sahabat, “Berikan isyarat kepadaku, tunjukkan kepadaku orang yang pantas untuk aku jadikan sebagai pegawai. Sesungguhnya aku menginginkan seorang pemimpin dari kaumnya. Jika semula ia bukan pemimpin, maka ia seperti pemimpin mereka. Dan jika ia adalah pemimpin mereka, maka ia adalah bagian dari mereka." Kemudian, para sahabat menentukan seseorang sesuai dengan karakter yang dijelaskan, dan Khalifah akan menentukan pilihannya.
Di awa! perkembangan Islam, jabatan kepegawaian tidak* membutuhkan ujian seleksi bagi calon pegawai, teupi hanya melalui konsensus pendapat para sahabat. Bukart hanya pendapat pribadi khalifah auu gubernur. Hal ini bisa dimaklumi, karena masyarakat Muslim pada saat itu masih relatif kecil. Sehingga,.relatif mudah untuk mengetahui orang-orang saleh yang layak dan patut menjadi pegawai. Ketika wilayah kekuasaan Islam meluas, khalifah auu gubernur harus tegas dan selektif dalam memilih calon pegawai. Di samping itu, penentuan pilihan calon pegawai tidak bisa dilakukan/berdasarkan pendapat individu, sehingga akan berpotensi terhadap penyalahgunaan wewenang dan menentukan orang yang tidak layak.
Pemyauan Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. kepada Gubernur Mesir Asytar al-Nukhai, memberikan petunjuk yang jelas tentang mekanisme pemilihan calon pegawai, “Jika engkau ingin mengangkat pegawai, maka pilihlah secara selektif. Janganlah engkau mengangkat pegawai karena ada unsur kecintaan dan kemuliaan (nepotisme), karena hal ini akan menciptakan golongan durhaka dan khianat. Pilihlah pegawai karena pengalaman dan kompetensi yang dimiliki, tingkat ketakwaannya dan keturunan orang saleh, serta orang yang memiliki akhlak mulia, argumen yang shahih, tidak mengejar kemuliaan (pangkat) dan memiliki pandangan yang luas aus suatu persoalan"
Jika wakil masyarakat yang diberikan wewenang dan Unggung jawab untuk memilih calon pegawai mengalami deadlock, atau tidak mampu menentukan yang paling patut dan layak di anura calon pegawai. Maka, prosesi pemilihan bisa menggunakan metode pengundian. Ibn Taimiyah l'crkau, “Jika kedua calon memenuhi persyaraun yang ada, atau ukut terhadap salah seorang yang patut di anura keduanya, maka undilah di iviitara keduanya. Sebagaimana Sa’ad bin Abi Waqqash melakukan pengundian di anura para sahabat pada hari ‘Al-Qadishiyah’, ketika mereka berselisih tenung azan."
Prosesi pemilihan calon pegawai dalam Islam, memiliki beberapa ketentuan yang bersifat mengikat. Proses ini diawali dengan menentukan lugas dan unggung jawab pekerjaan secara terperinci. Kemudian, dilakukan seleksi terhadap beberapa calon pegawai yang sedang berkompetisi. Penentuan pilihan dilakukan oleh jamaah, karena pendapat dirasa lebih bertanggung jawab daripada pendapat pribadi dalam menentukan orang yang lebih patut dan layak. Jika terjadi deadlock, dan terdapat persamaan bobot karakter di antara calon, maka dilakukan pengundian untuk menentukan pilihan salah satu di anura mereka.
Prosesi pemilihan calon pegawai yang dilakukan institusi/perusahaan dewasa ini merupakan pengembangan dan penyempurnaan prinsip- prinsip seleksi di awai perkembangan Islam. Calon pegawai diseleksi pcngeuhuan dan kemampuan teknisnya sesuai dengan beban dan ung- gur.g jawab pekerjaannya. Rasulullah dan Khuiafaur Rasyidin senantiasa menerapkan prinsip untuk tidak membebankan tugas dan unggung jawab kepada orang yang tidak mampu mengembannya.


Karyawan Kontrak
Sebelum ditetapkan menjadi karyawan tetap, biasanya para karyawan menjalani kontrak kerja selama rentang waktu 6 bulan sampai 2 tahun. Jika dalam masa kontrak tersebut karyawan mampu menunjukkan kinerja dan kemampuannya secara optimal dalam menjalankan tugas, maka ia bisa diputuskan untuk menjadi karyawan tetap. Namun, jika kinerjanya jelek dan tidak optimal, karyawan tersebut bisa dipecat
Konsep ini pernah dijalankan pada masa Khalifah Umar r.a. Diriwayatkan bahwa Khalifah Umar r.a. berkata kepada pegawainya: “Sesungguhnya aku memilihmu, untuk mengujimu. Jika engkau mampu menunjukkan kinerja yang optimal dan baik, maka akan aku tambahkan tanggung jawabmu. Namun, jika kinerja engkau jelek, aku akan memecatmu .



Karyawan Tetap
Jika para pegawai mampu menunjukkan kinerja yang optimal pada masa kontrak, selanjutnya akan dilakukan pengangkatan jabatan. Penentuan wewenang dan tanggung jawab yang harus diembannya. Hal ini pemah dilakukan khalifah dengan membacakan wewenang dan tanggung jawab di hadapan kaum Muslimin dalam masjid, dengan harapan, masing- masing penduduk mengetahui batasan wewenang dan tanggung jawab pemimpinnya.
Sebelum dikukuhkan sebagai pejabat, aset dan harta kekayaan yang dimiliki calon pegawai harus dihitung terlebih dahulu. Langkah ini dilakukan untuk mempermudah proses audit atau pemeriksaan kekayaan yang dimiliki, jika terdapat penambahan, dikhawatirkan mereka akan mengeksploitasi dan melakukan komersialisasi jabatan untuk menumpuk kekayaan, sehingga mudah untuk mempertanggungjawabkannya.
Khalifah Umar r.a. selalu melakukan audit terhadap aset kekayaan para pegawainya untuk menghindari eksploitasi dan komersialisasi jabatan demi kepentingan pribadi (vested-interest). Apa yang telah dilakukan Khalifah Umar r.a. untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya, mencerminkan pemikiran manajemen yang dahsyat dan belum mampu dijangkau ilmu manajemen modern.


Mekanisme Penetapan Upah dalam Islam
Pada masanya, Rasulullah adalah pribadi yang menetapkan upah bagi para pegawainya sesuai dengan kondisi, tanggung jawab dan jenis pekerjaan. Proses penetapan gaji yang pertama ka’u dalam Islam bisa dilihat dari kebijakan Rasulullah untuk memberikan gaji satu dirham setiap hari kepada Itab bin Usaid yang diangkat sebagai gubernur Maklcah.


Penetapan Upah terlebih Dahulu
Rasulullah memberikan contoh yang harus dijalankan kaum Muslimin setelahnya, yakni, penentuan upah bagi para pegawai sebelum mereka mulai menjalankan pekerjaannya. Rasulullah bersabda: ‘Barang siapa mempekerjakan seorang pekerja, maka harus disebutkan upahnya. ’ Rasulullah memberikan petunjuk bahwa dengan memberikan informasi gaji yang akan diterima, diharapkan akan memberikan dorongan semangat bagi pekerja untuk memulai pekerjaan, dan memberikan rasa ketenangan. Mereka akan menjalankan tugas pekerjaan sesuai dengan kesepakatan kontrak keija dengan majikan.
Selain itu, Rasulullah juga mendorong para majikan untuk membayarkan upah para pekerja ketika mereka telah usai menunaikan tugasnya. Rasulullah bersabda: “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering. Ketentuan ini untuk menghilangkan keraguan pekerja atau kekhawatirannya bahwa upah mereka tidak akan dibayarkan, atau akan mengalami keterlambatan tanpa adanya alasan yang dibenarkan. Namun demikian, umat Islam diberikan kebebasan untuk menentukan waktu pembayaran upah sesuai dengan kesepakatan antara peketja dan majikan, atau sesuai dengan kondisi. Upah bisa dibayarkan seminggu sekali atau sebulan sekali.
Upah yang dibayarkan kepada para pekeija, terkadang boleh dibayarkan berupa barang, bukan berupa uang tunai. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab memberikan upah kepada Gubernur Himsha, Iyadh bin Ghanam, berupa uang satu dinar, satu ekor domba, dan satu mud kurma setiap hari.


Dasar Penentuan Upah
Upah ditentukan berdasarkan jenis pekerjaan, ini merupakan asas pemberian upah sebagaimana ketentuan yang dinyatakan Allah dalam firman-Nya: “Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan" (Al-Ahqaf

Manajemen Sumber Daya Insani
Prinsip dasar yang digunakan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin «dalah pertengahan, moderat dalam penentuan upah pegawai, tidak berlebih-lebihan atau terlalu sedikit (proporsional). Tujuan utama pemberian upah adalah agar para pegawai mampu memenuhi segala kebutuhan pokok hidup mereka. Sehingga, mereka tidak terdorong untuk melakukan tindakan yang tidak dibenarkan untuk sekedar memenuhi nafkah diri dan keluarganya (tindak korupsi). Khalifah Umar r.a. mendorong pegawainya untuk tidak terlalu hemat atas dirinya (kikir), namun mereka harus memiliki kehidupan mulia layaknya kebanyakan masyarakat, tanpa harus berlebih-lebihan (israf) atau kikir, sebagaimana Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. memberikan wasiat kepada gubemur untuk adil dalam memberikan upah kepada pegawainya, dan tetap dalam pengawasan. Khalifah Ali r.a. berkata’. “Kemudian sempurnakanlah gaji yang mereka terima, karena upah itu akan memberikan kekuatan bagi mereka untuk memperbaiki diri. Menjauhkan diri mereka untuk melakukan tindak korupsi dengan kekuasaan yang dimiliki, dan bisa dijadikan sebagai argumen jika mereka melakukan pertentangan (perlawanan) dan berkhianat terhadap amanahmu.”


Solidaritas Sosial
Dalam Islam, istilah solidaritas sosial (al-taka/ul al-ijtima’i) memiliki hubungan yang erat dengan upah atau gaji. Seorang Muslim yang mampu bekerja, akan diberikan upah sesuai dengan kinetja atau tanggung jawab pekerjaan yang diembannya. Adapun ketika mereka sudah tidak mampu lagi bekerja, negara memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan mereka beserta anggota keluarganya. Tanggung jawab pemenuhan kebutuhan ini menjadi kewajiban dan beban pemerintah dari keuangan negara.
Diriwayatkan dari Rasulullah, beliau bersabda: “Barang siapa meninggalkan harta, maka untuk ahli warisnya, dan barang siapa meninggalkan keturunan yang lemah, maka datanglah kepadaku, aku yang akan menanggungnya." Dengan demikian, negara m.emiliki tanggung jawab untuk memenuhi segala kebutuhan hidup rakyatnya, guna menjalankan konsep solidaritas sosial (al-taka/ul al-ijtima’i).
Penerapan konsep al-taka/ul al-ijtima’i bisa dilihat dari apa yang pernah dilakukan Khalifah Umar r.a. terhadap seorang tua renta yang datang meminta-minta kepada khalifah. Khalifah menghampirinya dan menepuk-nepuk bahunya seraya berkata: “Anda ahli kitab dari mana?" Orang tu» itu menjawab, “Yahudi " Umar r.a. berkata, “Apa yang mendorong
 

kebutuhan saya, tentang usia saya dan pembayaran jizyah." Khalifah Umar r.a. memegang tangan orang tua tersebut dan menuntunnya menuju Baitul Mal, dan berkata: “Lihatlah orang ini dan semisalnya. Demi Allah, aku berlaku tidak adil, jika aku memakan kerentaannya (tua renta), kemudian menghinakannya di saat usia senja (kehancuran). Sesungguhnya, zakat diberikan kepada kaum fakir dan miskin, dan ia adalah orang miskin ahli kitab.” Kemudian, khalifah membebaskan kewajiban pembayaran jizyah dia dan semisalnya.
Suatu ketika. Khalifah Umar r.a. mendengar tangisan seorang anak dari sebuah rumah. Kemudian, beliau beigegas melangkah menuju rumah tersebut, dan berkata kepada ibunya, “Bertakwalah kepada Allah, dan perbaikilah kondisi anakmu.” Lalu, khalifah kembali ke tempatnya, di akhir malam, beliau kembali mendengar tangisan anak itu. Beliau kembali mendatangi ibunya, dan berkata, “Celakalah engkau, engkau adalah ibu yang buruk, saya tidak melihat anakmu tidur tenang malam ini?.’ Ibu itu menjawab, “Wahai hamba Allah (dia tidak mengetahui dengan siapa ia sedang berbicara), malam ini telah memberatkan saya, saya bermaksud ingin memisahkan anakku dari susuannya, namun ia menolaknya". Kemudian Umar r.a. bertanya, “Kenapa?" Ibu itu menjawab, “Karena Umar r.a. tidak mewajibkan penyapihan bayi.” Umar r.a. berkata, “Celakalah engkau, jangan tergesa-gesa menyapihnya." Ketika Khalifah Umar ra. shalat Subuh bersama para sahabat (Sa’ad berkata, kaum Muslimin tidak bisa dengan jelas mendengarkan bacaan Umar r.a., karena dikalahkan suara tangisnya). Setelah salam, Umar r.a. berkata, “Celakalah Umar r.a. berapa banyak anak miskin yang telah dibunuhnya.” Beliau mengutus sahabat untuk mengumumkan, “Ingatlah, janganlah kalian tergesa-gesa menyapih anak kalian.” Setiap anak (bayi) Muslim akan diberi zakat 100 dirham, ketika beranjak menjadi anak-anak, akan diberikan 200 ditham, dan ketika baligh ditambah menjadi 500 didiam.


Pengembangan Kompetensi dan Pelatihan
(Training and Development)

Islam memandang bahwa ilmu merupakan dasar penentuan martabat dan derajat seseorang dalam kehidupan. Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk senantiasa meminta tambahan ilmu. Dengan bertambahnya ilmu, akan meningkatkan pengetahuan seorang Muslim terhadap berbagai dimensi kehidupan, baik urusan dunia atau agama. Sehingga, ia »kan mendekatkan diri dan lebih mengenal Allah, serta meningkatkan kemampuan dan kompetensinya dalam menjalankan lugas pekeijaan yang dibebankan kepadanya.
Pelatihan (trainingj dalam segala bidang pekerjaan merupakan bentuk ilmu untuk meningkatkan kinerja, di mana Islam mendorong umatnya untuk bersungguh-sungguh dan memuliakan pekerjaan. Rasulullah bersabda: “Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan oleh seseorang daripada apa yang ia makan dari pekerjaan tangannya. Sesungguhnya Nabi Allah Dawud a.s. memakan makanan dari hasil kerja tangannya."
Islam mendorong untuk melakukan pelatihan (training) terhadap para karyawan dengan tujuan mengembangkan kompetensi dan kemampuan teknis karyawan dalam menunaikan tanggung jawab pekerjaannya. Rasulullah memberikan pelatihan terhadap orang yang diangkat untuk mengurusi persoalan kaum Muslimin, dan membekalinya dengan nasihat- nasihat dan beberapa petunjuk.
Diriwayatkan dari Ali r.a., ia berkata: “Rasulullah mengutusku ke Yaman untuk menjadi hakim, kemudian saya berkata: “Ya Rasulullah, engkau mengutusku, sedang aku masih muda belia, dan saya tidak memiliki pengalaman (ilmu) tentang peradilan?” Rasulullah menjawab: "Sesungguhnya Allah akan memberikan hidayah kepadamu, dan menetapkan lisanmu. Ketika datang ke hadapanmu dua orang yang sedang berseteru, maka janganlah engkau menetapkan keputusan, sampai engkau mendengarkan perkataan pihak kedua, sebagaimana engkau mendengar pernyataan pihak pertama. Hal ini akan lebih hati-Hati dan bersih bagimu untuk menjelaskan keputusan peradilan”. Ali r.a. berkata: “Setelah itu, tidak ada keraguan bagiku dalam memberikan keputusan."
Pada musim haji. Khalifah Umar r.a. senantiasa menggelar penemuan tahunan bagi para gubernur dan pegawai yang tersebar di berbagai wilayah kekuasaan Islam Penemuan ini dijadikan sebagai media untuk melakukan training guna meningkatkan kemampuan para pegawai dalam menjalankan persoalan umat. Masing-masing gubernur dan pegawai saling tukar pengalaman dan pendapat untuk mengatasi persoalan manajemen pemerintahan. Dengan adanya pertemuan ini, diharapkan mampu meningkatkan pengalaman dan kemampuan dalam menjalankan manajemen pemerintahan.
Di samping itu. Khalifah Umar r.a. sering mengirimkan surat kepada para pegawai dan gubernur yang berisi petunjuk dan nasihat, serta peringatan kepada mereka tentang kewajiban yang harus ditunaikan, menegakkan keadilan dan belas kasihan terhadap kehidupan rakyat. Surat Khalifah Umar r.a. yang ditujukan kepada Abu Musa al-Asy’ari, pegawai beliau di Irak, merupakan materi pelatihan penting yang dapat dijadikan sebagai dasar-dasar sistem peradilan.
Begitu juga surat yang dikirimkan Khalifah Ali r.a. kepada Gubernur Mesir, Asytar al-Nukha’i, yang berisi tentang prinsip-prinsip dan konsep dasar manajemen. Di samping itu, khalifah juga berwasiat untuk berlaku lemah lembut dan memerhatikan kehidupan rakyat, mengedepankan kepentingan mayoritas di atas kepentingan individu atau golongan, dan senantiasa bermusyawarah dengan para wakil rakyat, menjauhi sikap nepotisme dalam mengangkat calon pegawai, namun berdasarkan kompetensi dan kemampuan teknis, melakukan pengawasan dan audit terhadap kinerja pegawai terkait dengan urusan rakyat.


Hubungan Kemanusiaan dalam Islam
Hubungan antarkaryawan dalam sebuah organisasi merupakan aspek penting untuk memenuhi kebutuhan mereka yang bersifat non-materi (kejiwaan, spiritual). Jika kebutuhan spiritual ini dapat terpenuhi, akan mendorong dan memotivasi pegawai untuk bekerja lebih optimal. Mereka melakukan itu semua dengan penuh keikhlasan dan semangat saling membantu satu sama lain.
Sebagai langkah awal untuk memenuhi kebutuhan ini adalah men- ciptakan perasaan aman dan tenang bagi pegawai dalam menjalankan pekerjaan. Adanya peningkatan ketenangan jiwa dan berkontribusi dalam merealisasikan tujuan, masing-masing pegawai akan merasa bahwa tanggung jawab perusahaan berada di pundak mereka, dan bergantung pada upaya dan kesungguhan mereka dalam menunaikan kerja, serta menunjukkan kinerja yang optimal dengan segala potensi yang dimilikinya dan tetap menjaga kemuliaan di antara manusia.
Pemikiran manajemen modem mengakui adanya hubungan kemanusiaan dalam proses produksi pada awal abad kc-20, di mana manusia merupakan salah satu faktor produksi. Akan tetapi, tidak mengindahkan sisi kejiwaan mereka. Manusia tidak diposisikan layaknya manusia yang memiliki kemuliaan dan kehormatan, ia hanya bersifat materi sama halnya dengan faktor produksi lainnya.
Berbeda dengan pandangan Islam terhadap manusia. Manusia dipandang sebagai makhluk mulia yang memiliki kehormatan dan berbeda dengan mahluk lain. Islam mendorong umatnya untuk memperlakukan manusia dengan baik, membina hubungan dengan semangat kekeluargaan dan saling tolong menolong. Allah berfirman: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (Al-Maidah (5]: 2).
Dalam ayat lain, Allah berfirman: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi \rbagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, men- t egah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka l,uit pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; tesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (Al-Taubah [91: 71). Rasulullah bersabda: “Sesama Muslim adalah saudara, tidak saling menzalimi dan menghina."
Konsep Hubungan Kemanusiaan
Merasakan Ketenangan dan Ketentraman
Sebagai pegawai baru yang mulai masuk dunia kerja, biasanya mereka merasakan kekhawatiran dan ketakutan (canggung). Terdapat perasaan lakui berbuat kesalahan dan manjadi bahan pembicaraan karyawan lama dan juga para atasan. Mereka merasakan kesedihan dan kebimbangan dalam mengawali pekerjaan. Mereka membutuhkan bimbingan dengan penuh kasih sayang, sehingga mereka bisa melalui hari-hari sulitnya dan bisa merasakan bahwa dia adalah bagian dari anggota karyawan secara utuh. Atasan perlu memberikan perhatian ekstra guna membantu pekerjaan mereka, memberikan petunjuk secara bijaksana, tidak dengan kesombongan dan sikap merendahkan orang lain. Allah berfirman: “Serulah t manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah (hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang /nifhil) dan pelajaran yang haik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.. “(An-Nahl [16]: 125).
Rasulullah bersabda: “Barang siapa tidak memberikan kasih sayang I: r pada manusia, maka Allah tidak akan memberinya kasih sayang-Nya" Rasulullah bersabda: “Janganlah kamu menghina kebajikan sedikit pun, liha kamu tidak menemukan kebajikan, maka senyummu di hadapan sau- da tamu adalah sedekah."
Rasulullah mendorong umatnya untuk saling membantu, tolong menolong, dan mengembangkan semangat persaudaraan di antara kaum

Muslimin beliau bersaba: “Seseorang yang berjalan bersama saudaranya untuk memenuhi kebutuhannya, lebih utama daripada beritikaf di masjid-ku selama dua bulan." Beliau juga bersabda: ‘Sesungguhnya, Allah memiliki beberapa hamba yang dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan manusia, menumbuhkan rasa cinta kepada mereka terhadap kebajikan, dan kabajikar. itu cinta terhadap mereka, mereka adalah orang-orang yang selamat dari azab hari kiamat."   f
Alquran memberikan petunjuk kepada kaum Muslimin bahwa hubungan yang terbentuk di antara mereka, harus dibangun dengan sikap untuk saling menghormati dan menjauhi untuk saling menghina serta memperlakukan orang lain dengan buruk. Allah berfirman: ‘Hai orang- orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri (Jangan mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela antara sesama Mufemin karena orang-orang Mukmin seperti satu tubuh) dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman (Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: hai fasik, hai kafir dan sebagainya) dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim" (Al-Hujurat [49]: 11).
Di samping itu, Allah juga mengajak kaum Muslimin untuk menggunakan kata-kata yang baik ketika melakukan muamalah dengan sesamanya. Allah berfirman: ‘Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik (termasuk dalam kalimat yang baik ialah kalin\at tauhid, segala ucapan yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran serta perbuatan yang baik. Kalimat tauhid seperti Id ild ha illallah) seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya Allah membuat perumpamaan- penimpamaan ifu untuh manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk (termasuk dalam kalimat yang buruk ialah halimat kufur, syirik, segala perkataan yang tidak benar dan perbuatan yang tidak laik) seperti pchonyang buruk,yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun’ (Ibrahim [14]: 24-26).   •'   ' f-- r- ■   '
Diriwayatkan dari Anas, ia berkata: “Saya telah menjadi pembantu Rasulullah selama 20 tahun, beliau tidak pernah mengatakan sesuatu terhadap apa yang telah saya kerjakan, atau terhadap sesuatu yang belum saya kerjakan dengan berkata, tidakkah engkah mengerjakannya?.” Rasulullah merupakan suri tauladan yang baik.


Merasa sebagai Bagian dari Organisasi
Sesama pegawai adalah saudara, saling membantu satu sama lain dalam menyelesaikan pekerjaan. Mereka layaknya satu bangunan yang saling menguatkan satu sama lain. Pegawai Muslim, akidah yang dimilikinya akan mendorongnya untuk menjauhi sikap sombong, bertindak zalim, liasud atau berbangga diri. Rasulullah bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu, bapak kalian adalah satu, kalian semua adalah keturunan Adam a.s., dan Adam a.s. dari tanah. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa. Tidak ada keutamaan orang arab atas orang 'ajam, orang berkulit merah atas orang berkulit putih, kecuali tingkat ketakwaannya."
Hadis ini memberikan petunjuk adanya prinsip persamaan (egaliter) tli antara umat manusia, dan agama mendorong umatnya untuk membangun persaudaraan di antara pegawai. Saling membantu satu sama lain dengan menerapkan prinsip bermusyawarah dan saling berkontribusi dalam pekerjaan. Rasulullah bersabda: “Ketika salah satu dari kalian meminta pendapat (musyawarah) kepada saudaranya, maka bermusyawarahlah dengannya, orang yang diajak bermusyawarah adalah orang yang dipercaya.”


Mengakui Kineija dan Memberikan Tindak Korektif
litt merupakan persoalan krusial dalam hubungan antara atasan dan bawahan pada satu organisasi tertentu. Allah memberikan dorongan uniuk memberikan insentif bagi orang yang mampu menunjukkan kinerja optimal (baik). Allah berfirman: “Barang siapa yang mengerjakan amal lafch, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka llumgguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (Ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yung sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman) dan sesungguhnya tikan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari upa yang telah mereka kerjakan" (Al-Nahl [16]: 97).

dan tetap menjaga kehormatan dan kemuliaan mereka, seru terbebas dari kezaliman. Allah berfirman: “Dan sesungguhnya Ulah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan (maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkuun-pengangkuun di daratan dan di lautan untuk memperoleh penghidupan). Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan’ (Al-Isra
« Last Edit: 17 Mar, 2018, 08:35:25 by Admin »