Hujroh - Forum Pesantren Indonesia Alumni Pesantren Indonesia Forum      Misi Hujroh
 

Main juga kesini sul:
The Ghurfah Kisah Sukses Alumni Alumni di Luar Negeri Bisnis Online Hikayah fi Ma'had Railfans Dunia Pesantren Ekonomi Islam
Forum  Info & Berita  Info Dunia Islam 
Tudingan Miring Terhadap Dunia Pesantren
Pages: [1]

(Read 1462 times - 1 votes) 
  

Co Hujroh

  • Abadan fi Ma'had
  • ***
  • Co Hujroh No Reputation.
  • Join: 2018
  • Posts: 2095
  • Logged
Tudingan Miring Terhadap Dunia Pesantren
« on: 07 May, 2018, 11:56:56 »

Tudingan Miring Terhadap Dunia Pesantren

Kontan, tudingan itu membuat sejumlah kyai dan elemen dari pesantren “mencak-mencak” serta menganggap hal itu cukup berlebihan. Dalam kesempatan ini, Hidayah mewawancarai Masdar F Mas'udi —yang kini menjabat sebagai Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M)— untuk memberikan tanggapan dan pandangan atas stigma (cap) miring pesantren yang dianggap sebagai sarang teroris, pun seputar makna jihad yang dijadikan dalil bagi kaum teroris dalam menghalalkan kekerasan dan sistem pendidikan apa yang harus diterapkan pesantren untuk menepis tudingan tersebut Tulisan di bawah ini adalah hasil dari wawancara yang telah disarikan.
STIGMA PESANTREN DALAM RENTANG SEJARAH
Jika mau menengok sejarah, “tudingan dan stigma miring” yang dituduhkan penguasa terhadap kalangan muslim dan pesantren itu memang bukan satu hal baru. Karena itu, Masdar F. Mas'udi —salah satu tokoh kenamaan NU— tidak heran dengan tuduhan penguasa terhadap lembaga pesantren yang dipojokkan, dituding dan dituduh sebagai sarang teroris.
 
Sejak zaman penjajahan, kalangan muslim dan pesantren telah dipojokkan dan dituduh sebagai sarang dan tempat bagi para pemberontak. Karena itulah, di zaman penjajahan dahulu, pesantren diawasi dengan ketat. Kyai yang diketahui berbahaya langsung ditangkap dan pesantren yang diasuhnya kemudian dibubarkan. Tidak salah, jika dalam rentang waktu ratusan tahun, pesantren ditelikung oleh penjajah serta kegiatan dakwah selalu di halangi. Adapun motif di balik penelikungan itu tak lain untuk meredam gejolak dan semangat perlawanan ulama (kyai) kepada pemerintah kolonial. Karena itu, jika sekarang ini pesantren kembali dituduh yang bukan-bukan, menurut Masdar, hal ini me
rupakan penyakit menahun dari penguasa.
Sejarah adalah rentetan peristiwa yang terjadi di masa lalu, tetapi tidak menutup bagi siapa pun untuk belajar dari peristiwa yang terjadi dalam rentang sejarah itu. Rupanya, hal ini tak disadari penguasa Orde Lama. Pada zaman Soekarno (Orde Lama), misalnya, umat Islam (juga pesantren) lagi-lagi dituduh sebagai pemberontak. Umat Islam dituduh pemberontak karena ada segelintir umat Islam yang tergabung dalam kelompok DI/TII yang berusaha “menggulingkan” pemerintahan Orde Lama dengan niatan untuk menjadikan negeri Indonesia ini sebagai negara Islam.
Setelah Orde Lama runtuh, Orde Baru ternyata masih memiliki “penyakit sama” dalam melihat kalangan muslim. Pada zaman pemerintahan Orde Baru, umat Islam dituduh, dipojok- kan serta dituding sebagai kelompok yang kurang mendukung Pancasila dan pembangunan. Umat Islam dicurigai tidak mau menerima Pancasila sebagai azas tunggal. Dalam masa itu, lelaki yang lahir di Purwokerto pada tahun 1954 ini memang mengaku ada aksi dari komando jihad. Tetapi, lagi-lagi umat Islam digeneralisir sebagai anti pembangunan dan anti-Pancasila.
Sementara pada zaman reformasi sekarang ini, pesantren kembali dituduh, dipojokkan dan dicurigai sebagai sarang teroris. Padahal, hanya segelintir alumni pesantren yang terlibat jaringan teroris. Dalam pada itu, dalam pengamatan Masdar, mereka lebih banyak terlibat dengan jaringan teroris Afghanistan dan Malaysia. Tetapi, segelintir orang itu dihantam rata dan dianggap telah mewakili pesantren. Tidak salah, Masdar berpandangan bahwa tuduhan itu sebenarnya adalah penyakit penguasa negeri ini, dari waktu ke waktu. “Saya
dapat mengatakan bahwa selama penyakit ini tidak berubah, artinya selama cara pandang dan sikap penguasa terhadap umat Islam masih seperti itu, mencurigai dan memojokkan, maka negeri ini tidak akan pernah bangkit. Negeri ini akan terus berada dalam keterpurukan,” kata tokoh NU ini di kantor P3M.
Apalagi sebagian besar penduduk Indonesia adalah umat Islam, yang tidak bisa diingkari telah berjasa besar dalam membangun negara ini. Karena itu, Masdar lebih lanjut berkata, “Sebenarnya ada yang tidak benar di negeri ini. Sebab dengan penduduk Islam terbesar dan Indonesia bisa mencapai kemerdekaan berkat perjuangan tokoh atau ulama (pesantren dan umat Islam), anehnya setelah Indonesia merdeka, dari waktu ke waktu pemerintah justru selalu mencurigai umat Islam dan pesantren. Padahal di dalam pesantren itu, sebenamya tak ada benih-benih pemberontakan.” Dengan kata lain, tak ada hubungan antara pesantren dan terorisme.
ISLAM TIDAK
MENGAJARKAN
KEKERASAN
Dunia pesantren dan terorisme merupakan dua entitas yang sebenarnya bertolak belakang atau berseberangan. Pesantren merupakan satu lembaga pendidikan yang diejawantahkan dari ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islam, dengan tetap memberikan penekanan pada ajaran moral, etika dan perilaku yang baik, luhur dan agung. Tidak ada dalam kitab kuning yang menjadi acuan (fiqih, tasawuf dan lain-lain) dalam pelajaran di pesantren mengajarkan tindak kekerasan. Pendidikan di pesantren berupaya membekali dan mengajarkan kepada santri untuk berprilaku baik berdasarkan al-Qur‘an dan ha- dits. Sebab, salah satu ajaran pokok Islam itu adalah menebar kedamaian kepada siapapun.
Sementara itu, terorisme sebagaimana dikatakan Masdar bisa dimaknai sebagai aksi yang sengaja dan secara sistematis dimaksudkan untuk membuat orang lain dalam keadaan ketakutan. Di dalam aksi dan perilaku menakut-nakut itu, seorang teroris bisa de ngan menggunakan ancam an bom, nuklir, serta perang secara sistemaSs dan dila- cukan dengan sadar.
Memang terorisme telah membawa-bawa agama, sebagai dalih atau pembenaran terhadap aksi teror yang dilakukan. Dalam kaitannya dengan kasus ini, Masdar mengakui kalau ada satu atau dua dari pesantren di negeri ini yang telah ter- embesi dengan ideologi garis keras sehingga hal itu kemudian merusak model Islam di Indonesia. Tidak cuma itu saja, bahkan telah menganggap dirinya paling benar dan yang tak sepaham dengannya lalu dianggap sebagai ahli neraka dan boleh ditumpahkan darahnya.
Dengan dalil dan dalih jihad, kelompok garis keras itu kemudian “menabuh genderang” perang terhadap kelompok lain yang tidak sepaham. Atas nama jihad (agama), kelompok ini kemudian melakukan aksi teror dengan melakukan peledakan di sejumlah tempat. Tentu, aksi mereka yang mengatasnamakan agama (Islam) itu telah mencoreng wajah Islam yang ramah.
Kendati demikian, sebagaimana dikatakan Masdar, bukan berati lantas membuat generalisasi terhadap semua pesantren. Sebab pesantren NU dan salaf yang dia kenal tak memiliki keterkaitan dengan silsilah atau ideologi dengan terorisme. “Memang ada satu dua orang santri yang terlibat, i tetapi tak berarti lantas ke- [ mudian dianggap sebagai i pandangan yang dominan 1 bahwa pesantren itu adalah | sarang teroris,” tandas Mas- i dar.
1 Dengan berpijak pada J ajaran pokok Islam yang i cinta damai, Masdar me- 1 nolak Islam digunakan se- i bagai dalih untuk melaku-; i kan kekerasan dan aksi teror ! atas nama agama. Karena agama Islam menentang adanya kekerasan. Dengan demikian, terorisme jelas- jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang mencintai kedamaian. Karena itu,1 jihad di mata Masdar tid bisa dijadikan alasan unt ! menghalalkan aksi teror d i kekerasan. Apalagi, jika- 1 sampai melakukan pembu- , nuhan terhadap sesama ma- • nusia serta melakukan bom J bunuh diri. Sebab jihad it> i menurut Masdar, pada inJ 1 nya adalah berusaha secaJ J sungguh-sungguh untu i mewujudkan kebenara
dan keadilan demi kemajuan Islam. Bentuk dari kesungguhan itu bisa diwujudkan dengan mengembangkan potensi intelektual, belajar secara sungguh-sungguh dengan ilmu yang dimiliki untuk membuktikan secara rasional dan ilmiah akan kebenaran yang dibawa Islam. Dari konteks itu, tidak menutup kemungkinan bersungguh-sungguh membela kebenaran dan keadilan dengan harta dan materi yang dimiliki untuk membangun kemaslahatan bangsa. Sebagai penulis, misalnya, dia bisa berjihad dengan pena dan berwacana yang cerdas. Tetapi, jihad yang paling efektif adalah jihad dengan akhlak atau perilaku yang baik. Dengan perilaku yang mulia itu, orang bukan hanya bisa ditaklukkan, melainkan dapat direbut. Beda dengan jihad pedang, justru akan membuat orang malah benci kepada Islam.
Dalam kaca mata tokoh yang terkenal dengan dua bukunya, Agama Keadilan: Risalah Zakat [Pajak] Dalam Islam (1991), dan Islam dan I lak-Hak Reproduksi Wanita (1996) ini, semua agama memang pernah memiliki catatan bercak darah yang lelah mengotori jubah suci yang dibawa agama. Kendati demikian, Islam tak membenarkan sebuah doktrin yang menganjurkan umatnya untuk menyerang du- luan. Jika pada akhirnya amat Islam diserang, Islam
tetap tidak menganjurkan melakukan pembalasan, kecuali dengan satu balasan yang setimpal. Di sini Islam telah menghapus doktrin yang berlaku bahwa pembalasan itu bersifat lebih kejam. Justru Islam mengajurkan jika bisa bersabar, justru hal itu adalah sebaik-baik perbuatan. Intinya, Islam menganjurkan akan pengendalian diri dan bersabar, bukan sebaliknya dengan melanggengkan kekerasan dan aksi teror.
Karena itulah, menuduh secara dominan bahwa pesantren sebagai sarang teroris merupakan satu tuduhan yang gegabah dan tak masuk akal. Lebih dari itu, juga tidak ada dasar yang kuat dan bukti secara nyata. Sebab pesantren adalah satu lembaga pendidikan yang seharusnya dikembangkan serta dibantu oleh pemerintah karena pesantren telah menjadi lembaga pendidikan dalam rangka pencerdasan bangsa, bukan sebaliknya dituduh, dicurigai dan dipojokkan dengan sejumlah tudingan miring.
Masdar tak menutup mata bahwa akibat dari segelintir santri yang terlibat dalam jaringan teroris telah mencoreng nama baik pesantren sebagai lembaga pendidikan. Karena itu, diperlukan satu instropeksi dan upaya untuk menghapus stigma miring itu.
Dalam masalah ini, Masdar lalu mengusulkan
solusi demi menghapu stigma buruk dan demi masa depan sistem pendidikan d pesantren.
Pesantren harus lebih banyak memberikan pors waktu dan perhatian de ngan sistem pendidikan yang membuat anak didik (santri) lebih halus. “Jangan sampai para santri dididik dengan sistem kekerasan Jangan mendidik santri d pesantren dengan cara menakut-nakuti. Karena cara seperti itu bukan membuat manusia sadar, melainkan hanya pada level permukaan saja,” kata Masdar. Hal ini tak bisa diingkari karena sasaran kekerasan adalah menakut-nakuti dan itu akan membiasakan umat Islam dengan kebiasaan berpikir dengan “logika kekerasan”.
Dengan mengajarkan akan kebaikan yang berpijak pada akhlak yang mulia, halus serta lembut pada satu sisi dan mengurangi wacana- wacana keagamaan yang bersifat mengancam pada sisi lain, Islam akan menjadi sebuah agama yang benar- benar ramah.
Kalau umat Islam menghindari larangan semata- mata karena takut diancam, itu tak lebih seperti binatang. Sebab manusia itu —di mata Masdar— memiliki naluri mulia, naluri keimanan yang tidak akan mungkin membuat kerusakan di muka bumi ini. (dari berbagai sumber)



 

« Last Edit: 07 May, 2018, 11:59:29 by Co Hujroh »