Hujroh - Forum Pesantren Indonesia Alumni Pesantren Indonesia Forum      Misi Hujroh
 

Main juga kesini sul:
The Ghurfah Kisah Sukses Alumni Alumni di Luar Negeri Bisnis Online Hikayah fi Ma'had Railfans Dunia Pesantren Ekonomi Islam
Forum  Hujroh  The Ghurfah 
STUDI KEANEKARAGAMAN SERANGGA PADA PERKEBUNAN APEL ORGANIK DAN ANORGANIK
Pages: [1]

(Read 1395 times)   

liaapri

  • Abadan fi Ma'had
  • ***
  • liaapri No Reputation.
  • Join: 2020
  • Posts: 579
  • Logged

Secara umum dari ketiga habitat yang diamati, lahan anorganik memiliki nilai dominasi yang lebih rendah dari lahan organik. Data selengkapnya disajikan dalam tabel 3 berikut:
Tabel 3. Nilai Dominasi, Indeks Keanekaragaman dan Tingkat Kemerataan

Peubah   Metode   Organik   Anorganik


Dominasi (C)   Pengamatan Langsung   0,15   0,16
   Yellow Sticky Traps   0,41   0,47
   Lure Traps   1,00   1,00
Indeks Keanekaragaman
(H')   Pengamatan Langsung   2,34   2,20
   Yellow Sticky Traps   1,33   1,10
   Lure Traps   0,00   0,00
Tingkat Kemerataan (E)   Pengamatan Langsung   0,74   0,77
   Yellow Sticky Traps   0,51   0,47
   Lure Traps   0,00   0,00

Kekayaan Jenis (R)   Pengamatan Langsung   3,17   2,20
   Yellow Sticky Traps   2,10   1,54
   Lure Traps   0,00   0,00
 





Secara umum tingkat kemerataan eveness (E) pada lahan organik lebih tinggi bila dibandingkan dengan lahan anorganik. Hal ini menunjukkan bahwa tiap-tiap famili yang ada pada lahan organik relatif memiliki proporsi kelimpahan yang lebih merata dari pada famili-famili yang ada pada lahan anorganik. Nilai tingkat kemerataan ini sangat berpengaruh terhadap peningkatan diversitas serangga yang ada pada ekosistem. Pieloe (1975) mengemukakan bahwa diversitas suatu komunitas tergantung pada jumlah jenis (richness) dan tingkat kemerataan jumlah individu dalam tiap jenis yang ada. Distribusi kelimpahan individu dalam tiap jenis menurut Putman (1994) dipengaruhi oleh distribusi atau pembagian resource pada tiap-tiap anggota komunitas. Price (1997) juga mengemukakan bahwa kuantitas dari resource berpengaruh terhadap ukuran populasi dari setiap jenis.
Kekayaan jenis (richness) pada lahan organik secara umum lebih tinggi daripada lahan anorganik. Faktor yang mendorong peningkatan kekayaan jenis ini menurut Putman (1994) dapat disebabkan oleh imigrasi dari jenis baru pada suatu area.
Rendahnya kekayaan jenis pada lahan anorganik disebabkan tidak stabilnya komunitas serangga yang ada pada lahan tersebut akibat penggunaan pestisida sintetik. Untung mengemukakan bahwa penggunaan pestisida berdampak negatif terhadap keseimbangan ekosistem. Hal ini serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Flint dan Bosch (1990) bahwa penyemprotan pestisida akan mengurangi ketersediaan hama, sehingga musuh alami akan pindah ketempat lain mencari mangsa. Adanya penurunan rantai makanan dan timbulnya emigrasi
 





musuh alami akan secara langsung berdampak negatif terhadap kekayaan jenis pada lahan anorganik.
Pada lahan organik, relatif tingginya kekayaan jenis yang dimiliki disebabkan cukup kompleksnya rantai makanan pada ekosistem. Kompleksitas ini secara tidak langsung akan berpengaruh pada stabilitas ekosistem yang selanjutnya akan mendorong bertambahnya kekayaan jenis. Pieloe (1975) menjelaskan bahwa semakin banyak jumlah jenis dan semakin kompleks interaksi diantara jenis maka stabilitas akan dapat dibentuk.
Dari tabel 3 dapat diketahui bahwa diversitas serangga dari lahan organik lebih tinggi daripada lahan anorganik. Secara umum tingginya diversitas dari lahan organik disebabkan relatif lebih tingginya kekayaan jenis dan tingkat kemerataan individu dari lahan organik. Menurut Putman (1994), diversitas dari banyak komunitas adalah fungsi dari jumlah total jenis dan juga distribusi dari individu dalam tiap jenis (equitability). Selain itu rendahnya dominasi (C) pada lahan organik meningkatkan diversitas dari serangga. Price (1997) mengemukakan bahwa dalam komunitas yang diversitasnya tinggi, maka suatu jenis tidak akan bisa dominan dan sebaliknya dalam komunitas yang diversitasnya rendah, maka satu atau dua jenis akan menjadi dominan.
Menurut Altieri dan Nicholls (2004), bahwa manajemen yang tepat terhadap komponen kunci dari biodiversitas yang meliputi polinator, musuh  alami, herbivora, gulma, mesofauna tanah, mikrofauna tanah akan dapat meningkatkan kelimpahan dan diversitas dalam komunitas.
 





Price (1997) mengemukakan bahwa diversitas akan mempengaruhi stabilitas komunitas dengan memberikan keseimbangan faktor fisik. Dalam hal ini diversitas akan membentuk kompleksitas dalam jaring-jaring makanan dan meningkatkan interaksi antara anggota populasi yang mencakup hubungan mutualisme maupun kompetisi. Meningkatnya hubungan tersebut mendorong terbentuknya stabilitas dalam populasi yang nantinya akan memberikan kontribusi positif bagi terbentuknya stabilitas dalam komunitas. Lebih lanjut Odum (1971) menjelaskan bahwa keanekaragaman yang tinggi berarti rantai makanan lebih panjang dan lebih banyak simbiosis serta kemungkinan yang lebih besar untuk umpan balik negatif yang dapat mengurangi goyangan-goyangan dan meningkatkan kemantapan. Putman (1994) menambahkan bahwa stabilitas populasi akan menambah stabilitas seluruh komunitas.


   Kajian Ekologis dalam Perspektif Islam

Dalam dunia Pertanian, sebenarnya penemuan pestisida tidak seratus persen merugikan manusia. Tujuan pertamanya sebagai pembasmi hama tetap tidak kehilangan efektivitasnya, jika penggunaannya dilakukan secermat mungkin dan digabungkan dengan berbagai teknik pembasmian hama lainnya. Teknologi ini dikenal sebagai teknologi pengendalian hama terpadu. Dalam penerapannya, teknologi pengendalian hama terpadu ini biasanya menghemat sedemikian rupa serta menempatkan penggunaan pestisida sebagai alternatif terakhir saja. Sebelum penggunaan pestisida, dipilih berbagai teknologi lainnya yang lebih kecil dampak perusakan lingkungannya.
 





Dari berbagai uraian tersebut, jelaslah bahwa kerusakan lingkungan hidup hampir seratus persen datang dari manusia. Karena itu, Al-Qur'an dengan tegas memperingatkan: dalam surat Ar-Ruum (30) ayat 41:
tyγsß ßŠ$|¡xø9$# ’Îû Îhy9ø9$# Ìóst7ø9$#uρ $yϑÎ/ ôMt6|¡x.  “ω÷ƒr& Ĩ$¨Ζ9$# Νßγs)ƒÉ‹ã‹Ï9 uÙ÷èt/ “Ï%©!$# (#θè=ÏΗxå öΝßγ¯=yès9

tβθãèÅ_ötƒ ∩⊆⊇∪
Artinya: "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)". (Ar-Ruum: 41)

Ayat ini sama sekali tidak menunjukan bahwa manusia memiliki kekuasaan mutlak (carte blance) untuk berbuat sekendak hatinya dan tidak pula memiliki hak tanpa batas untuk menggunakan alam sehingga merusak keseimbangan ekologisnya. Al-qur’an berkali-kali mengingatkan bahwa kelak manusia akan mempertanggung jawabkan semua perbuatan mereka di dunia, seperti yang termaktub dalam ayat berikut:
"Barang siapa melakukan amal saleh, maka (keuntungannya) adalah untuk dirinya sendiri; dan barang siapa melakukan perbuatan buruk, maka itu akan mengenai dirinya sendiri. Dan kelak kamu semua akan kembali kepada Tuhanmu"(Q.S Al-Jatsiyah, 45:15).
Karena itu, umat manusia harus memanfaatkan segala sesuatu menurut cara yang bisa dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini, seorang pemikir islam kontemporer Muhammad Fazlur Rahman Anshari menulis:
"Segala yang dimuka bumi ini diciptakan untuk kita, maka sudah menjadi kewajiban alamiah kita untuk: menjaga segala sesuatu dari kerusakan, memanfaatkannya dengan tetap menjaga martabatnya sebagai ciptaan Tuhan"(Anshari, 1973).
 





Peringatan Al-Qur'an tersebut mutlak benar. Kerusakan lingkungan hidup disebut sebagai "akibat perbuatan tangan manusia", faktanya memang demikian. Manusia adalah perusak lingkungan hidup nomor satu di dunia ini. Penyebab dari kebanyakan hal itu adalah keserakahan untuk mengeksploitasi sumber daya alam demi keuntungan sesaat tanpa mengindahkan hak hidup sesamanya. (Bakry et.al, 2001). Tetapi yang terjadi selama ini adalah setiap terjadi bencana atau malapetaka, umat beragama dengan enteng tanpa beban dan perasaan dosa sedikit pun menganggap sebagai takdir Tuhan. Sebagai cobaan atau azab dari Tuhan. Hampir tidak pernah, kita menuduh diri sendiri sebagai subjek yang bertanggung jawab terhadap malapetaka dan bencana tadi
Permasalahan di atas menimpa hampir semua agama adalah sangat terkait dengan wawasan teologis umat beragama itu sendiri. Dalam perspektif Islam, wawasan teologis yang dibangun selama ini hanyalah hal-ihwal yang berkaitan dengan dunia akhirat, kurang memberi respons proporsional mengenai masalah keduniaan.padahal  istilah  Islam  sebagai  rahmat  bagi  sekalian  alam  merupakan spirit profetik dan cita-cita etik Al-Quran bagi terciptanya sebuah sistem atau tatanan kehidupan yang demokratis dalam segala hal, termasuk demokratis terhadap alam. Bukankah motto Islam adalah rahmatan lil alamin (rahmat bagi sekalian alam). Kata “alam” di sini jelas bukan hanya makhluk hidup seperti     manusia     dan     binatang,     tetapi     juga      alam      semesta.  Sayang, pemahaman dan watak demokratis Islam yang ramah lingkungan ini tidak merembes menjadi living tradition meminjam istilah Sayed Hosen Nasr seorang ulama tafsir yang menyatakan bahwa dalam masyarakat Islam pasca kenabian,
 





para ulama fikih tidak menjadikan masalah ekologi sebagai bagian dari maqashid al-syari’ah, yakni tujuan disyariatkannya islam.
Imam Syathibi misalnya dalam kitabnya yang sangat populer, Al- Muwafaqat, merumuskan maqashid al-syari’ah menjadi lima hal: menjaga atau memelihara agama (hifdz al-din), menjaga jiwa (hifdz al-nafs), memelihara akal (hifdz al-aql), memelihara harta (hifdz al-mal), dan memelihara keturunan (hifdz al-nasl). Ada yang menambahkan memelihara martabat  (hifdz  al-’irdh).  Pendapat ini yang terus-menerus dijadikan sebagai pegangan dalam berijtihad untuk memecahkan masalah sosial-kemanusiaan. Sementara masalah lingkungan luput   dari   perhatian   ulama   fikih    dan    umat    Islam    umumnya.    Mungkin hanya Yusuf Qardlawi seorang ulama dari universitas al-Azhar yang menjadikan pemeliharaan lingkungan (hifdz al-alam) sebagai bagian dari maqashid al-syari’ah. Itupun sangat tidak populer bahkan dianggap kontraproduktif.
Di sinilah perlunya melakukan restorasi nalar pemikiran keislaman. Ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, menjelaskan hikmah perennial Islam tentang tatanan dan struktur alam, signifikansi religius, dan kaitan eratnya dengan setiap fase kehidupan manusia. Kedua, menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran ekologis yang berperspektif teologis atau membangun teologi yang berbasis kesadaran dan kearifan ekologis (Mangunjaya, 2007).
Dalam konteks ini, para ulama fikih harus berani melakukan terobosan penting mengenai pemahaman keislaman yang digali langsung dari teks-teks otoritatif utama Islam: Al-Quran dan As-Sunnah. Walhasil, bahwa bencana alam
 





bukanlah sebuah takdir Tuhan akan tetapi berkaitan erat dengan masalah moral manusia.
Karena itu, seluruh komunitas agama memiliki tanggung jawab untuk berbicara tentang pentingnya pemeliharaan lingkungan dan bahaya perusakan alam bagi kehidupan ekosistem kita, bukan malah cuci tangan dan menganggapnya sebagai takdir Tuhan belaka.


   Pertanian Organik Antara Kepentingan Ekonomis dan Ekologis dalam Perspektif Islam
Dewasa ini mulai tampak munculnya gerakan kesadaran baru tentang perlunya manusia lebih arif dalam memanfaatkan alam. Dalam dunia pertanian kesadaran tersebut di wujudkan dengan semakin meningkatnya pelaksanaan pertanian organik maupun pertanian berbasis pengendalian hama terpadu, yakni tidak hanya mengandalkan pestisida tetapi juga memanfaatkan agen-agen hayati yang ada sebagaimana telah difirmankan Allah bahwa penciptaan segala sesuatu pasti tidak akan sia-sia sebagaimana dijelaskan dalam surat Ali Imran ayat 191. Kesadaran ini merupakan sesuatu yang sangat bernilai, karena tanpa munculnya kesadaran ini niscaya usia bumi kita tinggal beberapa saat lagi.
Alam pada awalnya bergerak secara teratur sesuai hukum Allah (sunnatullah). Alur ini adalah hukum Tuhan yang berjalan teratur kecuali ada perbuatan manusia yang  merusak  sistem  yang  sudah  tertata  tersebut.  Perbuatan manusia yang sombong, serakah dan melampauai batas dalam memanfaatkan alam menjadi faktor penentu kerusakan alam dan bencana.
 





Manusia lupa, selain tugas mencari kepentingan ekonomi ada tugas lain yang mesti dilakukan oleh manusia, yakni menjaga kelestarian lingkungan (kebutuhan ekologis) (Al-Baqarah/2:11).
Dalam kajian ushul fikih kepentingan ekonomi masuk dalam kategori hifdzul mal (menjaga harta) sementara ekologi karena menyangkut keselamatan jiwa masuk dalam kategori hifdzun nafs (menjaga jiwa). Ketika hifdzul mal dan hifdzun nafs bertentangan maka yang didahulukan adalah hifdzun nafs. Dalam kasus ini, kepentingan ekonomi bisa ditangguhkan untuk kepentingan menyelamatkan   alam   dalam   rangka   menyelamatkan    jiwa    manusia.  Dalam kaidah fikih persoalan ini bisa masuk dalam pembahasan:

“Jika terjadi dua mafsadah yang saling bertentangan maka mafsadah yang lebih besar harus lebih diperhatikan dengan melaksanakan mafsadah yang lebih ringan”

Ketika dua mafsadah bertentangan maka mafsadah yang lebih ringan ditolerir untuk dijalankan demi menolak mafsadah yang lebih besar. Sementara itu ketika  bencana  melanda  maka  jiwa  secara  umum   menjadi   terancam.   Karena itulah ada satu lagi kaidah fikih yang sesuai dengan persoalan ini: “Menolak mafasadat lebih diutamakan dari pada menggapai kemaslahatan” (Al- Suyuthy, Al-Asybah wa al-Nadzair, hlm. 62). Dengan kata lain menolak munculnya bencana yang menjadi kemudharatan bagi jiwa manusia harus diprioritaskan daripada sekedar untuk memperoleh keuntungan dan manfaat ekonomi.
 





Berdasarkan fenomena tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa penguasaan ilmu pengetahuan merupakan prasyarat untuk memenangkan persaingan global, tetapi penguasaan dan penerapannya perlu dikembangkan diatas landasan etika, moral dan spiritualitas. Dalam hal inilah Al-Qur’an diperlukan sebagai paradigma dan dasar yang memberi makna spiritual dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang sekarang masih bebas nilai. (Suheriyanto dalam Zainuddin, 2004)