Hujroh - Forum Pesantren Indonesia Alumni Pesantren Indonesia Forum      Misi Hujroh
 

Main juga kesini sul:
The Ghurfah Kisah Sukses Alumni Alumni di Luar Negeri Bisnis Online Hikayah fi Ma'had Railfans Dunia Pesantren Ekonomi Islam
Forum  Knowledge  Ekonomi Islam 
GAGASAN PENDIRIAN BANK ISLAM
Pages: [1]

(Read 879 times)   

Co Hujroh

  • Abadan fi Ma'had
  • ***
  • Co Hujroh No Reputation.
  • Join: 2018
  • Posts: 2095
  • Logged
GAGASAN PENDIRIAN BANK ISLAM
« on: 22 Oct, 2018, 07:31:50 »

GAGASAN PENDIRIAN BANK ISLAM

Harapan yang paling tinggi di dalam masalah keuangan dari segi sosial adalah gagasan untuk membentuk sebuah yayasan yang bisa menjamin keuntungan yang halal, dan melaksanakan tujuan-tujuan yang lurus serta dilaksanakan oleh bank dan memeliharanya dari bahaya. Yayasan ini dikenal dengan nama bank Islam. Tetapi, untuk mencapai harapan ini, kita perlu mengkaji pendapat pemikiran Islam mengenai sejumlah masalah yang akan menjadi tulang punggung bank Islam ini. Masalah tersebut adalah perkongsian mudharabah, pinjaman, pesanan, dan penjualan kredit. Semuanya adalah bukti yang jelas tentang kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh Islam. Dan kami akan membahasnya satu per satu.

Perkongsian Mudharabah
Perkongsian mudharabah atau qiradh sudah terkenal sejak zaman Jahiliah. Kebanyakan kaum Quraisy adalah pedagang, baik orang tua, anak-anak, laki-laki, maupun wanita; mereka mengeluarkan modal untuk diperdagangkan dengan menetapkan bagian tertentu kepada pihak yang diberi modal. Sebelum diutus menjadi Rasul, Muhammad telah mengembara melakukan perniagaan yang dimodali oleh Khadijah. Rasulullah sendiri sudah melakukan hal ini, juga kaum muslimin telah mengamalkannya. Perkongsian mudharabah ini adalah suatu perjanjian di antara dua orang. Yakni, salah seorang mengeluarkan modal dan seorang lagi menjalankan perdagangan dengan menentukan jumlah tertentu dari keuntungan, misalnya separuh, sepertiga, dan sebagainya dengan syarat-syarat tertentu pula.
Pihak yang dimodali (‘amil) dibebaskan dari segala syarat dan mampu menjalankan sendiri semua urusannya. Apabila pihak yang memberikan modal itu memberikan bantuan seorang budak misalnya, ini harus dengan syarat, bahwa semua urusan perdagangan tetap berada di tangan pihak yang diberi modal. Dan hamba tersebut hanya sebagai
pengawas atau membantu sesuatu yang diminta oleh pihak diberi modal.
Ulama fikih sepakat menghalalkan mudharabah atau qiradh di dalam perdagangan, tetapi mereka berselisih pendapat dalam masalah perusahaan. Misalnya, memberikan modal kepada tukang tenun untuk membeli kapas, kemudian menenunnya dan menjual hasil tenunan tersebut, atau memberi modal kepada tukang roti untuk membeli gandum, mengisar, dan mengolahnya, kemudian menjualnya setelah menjadi roti. Sebagian ulama fikih memperbolehkan perbuatan semacam ini, seperti dalam perdagangan. Kita telah membicarakan di dalam pembahasan tentang pinjaman para pengusaha dari bank perusahaan atau para petani dari bank pertanian. Ini adalah sama dengan para pedagang meminjam dari bank perdagangan. Mereka berpendapat bahwa dalam masalah ini persamaannya sangat jelas. Tetapi, Imam Syafi’i berpendapat bahwa perkongsian mudharabah selain di bidang perdagangan memberi gaji kepada pengurus, sehingga segala urusannya berjalan atas nama pihak pemberi modal, baik dia seorang perempuan atau seorang yang lemah. Karena perniagaan adalah sesuatu yang tidak dapat diketahui, dan untuk menentukannya secara cepat sangat sukar, berbeda dengan ketepatan perjalanan keija perusahaan. Saya rasa, alasan ini tidak lengkap. Dan saya lebih setuju dengan pendapat sebagian besar para pengkaji yang mengatakan, bahwa perkongsian mudharabah dalam perusahaan adalah sama dengan perkongsian mudharabah dalam perdagangan.
Pihak yang diberi modal itu mempunyai kebebasan penuh dalam menjalankan perdagangan. Dia tidak boleh diganggu sama sekali, baik di dalam menetapkan harga barang maupun dalam melayani para pelanggan. Meskipun demikian, pemberi modal diperbolehkan campur tangan dalam menentukan beberapa jenis perniagaan yang akan diperdagangkan. Misalnya, biji-bijian, pakaian atau tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya.
Perkongsian mudharabah tidak bisa ditentukan waktu jatuh temponya, tetapi pihak yang berkongsi berhak membatalkan kapan saja, sejauh dikehendakinya.
Keuntungan dibagi antara pihak yang diberi modal dan pihak pemberi modal sesuai dengan perjanjian mereka; setengah, sepertiga,
dua pertiga, dan seterusnya. Bila terjadi kerugian maka kerugian itu ditanggung oleh pemberi modal saja. Sedangkan pihak yang diberi modal hanya menanggung kongsian tenaga, tanpa menanggung beban yang lain, sejauh kerugian itu tidak disebabkan kelalaiannya. Ali bin Abu Thalib telah berkata, "Perkongsian mudharabah, yaitu amanah pada harta. Keuntungannya dibagi menurut persetujuan mereka, tetapi dengan syarat tidak ada kelalaian. Apabila terdapat unsur kelalaian dari pihak yang diberi modal maka hendaklah menggantinya.” Hakim bin Hizam, seorang sahabat Rasulullah telah meminta kepada seorang laki-laki yang diberi modal, "Janganlah uangku digunakan berdagang benda-benda yang bernyawa dan janganlah membawanya ke laut dan ke tempat yang mudah terkena banjir. Apabila engkau melanggar permintaan ini maka uangku harus dikembalikan lagi.”
Pembagian keuntungan dapat dilakukan dari waktu ke waktu di antara kedua belah pihak. Bila mereka suka, dapat pula pembagian itu ditangguhkan hingga selesai perkongsian tersebut. Bila mereka membagikan keuntungan dalam setiap kali berdagang maka bagian yang telah dibagi adalah menjadi milik masing-masing, dan milik ini tidak gugur, walaupun sesudah itu terjadi kerugian. Apabila mereka tidak membagikannya maka keuntungan tersebut tidak dianggap sebagai keuntungan, kecuali setelah selesai perjanjian mudharabah. Ini berarti kerugian yang mungkin terjadi dalam waktu mudharabah adalah meliputi keuntungan seluruhnya atau sebagian.
Siapa saja di antara keduanya itu mempunyai hak untuk membatalkan mudharabah tersebut, dan pihak yang diberi modal hendaklah menjual sisa dagangan secepat mungkin, baik rugi atau untung, dan tidak boleh ditunda-tunda. Karena hal ini dapat menyebabkan terjadinya kerusakan. Mudharabah dapat pula dianggap batal bilamana salah seorang dari keduanya meninggal, dan boleh dilanjutkan jika mendapat izin dari ahli warisnya.
 
Pendapat yang terkenal melarang penetapan keuntungan tertentu bagi pemberi modal adalah jika ia ditetapkan maka perjanjian mudharabah itu dianggap tidak sah. Tetapi, sebagian ulama mujtahid memperbolehkan hal demikian, dengan alasan penetapan tersebut bisa mendorong pihak yang dimodali untuk lebih giat mencapai keuntungannya sendiri. Sebab, kelebihan keuntungan itu menjadi miliknya sendiri, setelah pemberi modal mengambil keuntungan yang telah ditetapkan. Mereka juga berpendapat bahwa penetapan ini dapat mendorong pihak pemberi modal dalam menawarkan uangnya untuk diperdagangkan, karena penetapan tersebut merupakan jaminan bagi uangnya dan keuntungan yang pantas diterimanya. Di antara ulama ini adalah Syaikh Muhammad Abduh yang berpendapat bahwa keuntungan seperti itu tidak dianggap riba, dan hukum riba bukanlah seperti hukum mudharabah. Seorang ulama yang lain adalah Ustadz Abdul Wahab Khallaf yang berpendapat bahwa syarat yang dikenakan oleh para ulama fikih agar tidak menetapkan keuntungan tertentu itu adalah syarat yang tidak berhujjah, katanya, "Ini adalah suatu perkara yang sah, yang mengandung manfaat bagi pihak pemberi modal, juga bermanfaat bagi pihak pedagang atau kontraktor yang cakap dan bijak untuk mendapatkan modal yang bisa diperdagangkannya untuk mendapatkan keuntungan. Ini adalah sesuatu yang bermanfaat bagi kedua belah pihak. Dan, tidak ada penganiayaan terhadap pihak mana pun dan kepada siapa pun, asal keuntungan yang diperoleh itu dalam batas wajar. Sebab, Allah tidak pernah melarang suatu perkara yang mengandung kemaslahatan bagi umat manusia.” Rasulullah saw. telah bersabda, ''Tidak ada bahaya (aniaya) dan tidak membahayakan (menganiaya).”166
Dr. Muhammad Yusuf Musa pada mulanya mengatakan, bahwa pendapat itu tidak dapat diterima, karena beliau menentang pinjaman dengan bunga untuk mengembangkan perdagangan dan perusahaan. Tetapi, kemudian beliau setuju jika hal itu dilaksanakan dalam proyek- proyek besar dan yayasan-yayasan yang diselenggarakan oleh
pemerintah yang mengeluarkan bon dengan jaminan bunga.
Adapun pendapat jumhur ulama, mudharabah hendaklah dilakukan tanpa menetapkan keuntungan tertentu bagi pemberi modal. Seperti pihak yang diberi modal, yang tidak meminta jaminan terhadap waktu dan tenaga yang bakal terkuras dalam mengurusi perdagangan ini maka pihak pemberi modal tidak patut mendapatkan jaminan dari modal yang dikeluarkannya, sebab uang yang dijadikan modal itu tidak lebih mahal dari tenaga orang yang bekerja keras.
Pendapat jumhur ulama ini dapat diterima bila kejujuran, ketekunan, dan amanah dari pihak yang diberi modal dapat dipercaya sepenuhnya. Tetapi kalau kepercayaan ini tidak sepenuhnya maka dapat ditentukan langkah-langkah untuk menjamin pihak pemberi modal, agar tidak ragu-ragu untuk ikut campur dalam perdagangan yang bisa mendatangkan kebaikan kepada pihak yang diberi modal dan kepada masyarakat. Perlu kami tambahkan, bahwa pihak pemberi modal hendaklah mempunyai kesadaran dan akhlak Islam. Selain itu, ia harus memperhatikan dari jauh mengenai kegiatan perdagangan dan perusahaan yang diberi modal tersebut. Apabila terjadi kerugian yang tidak disengaja maka lebih baik ia membatalkan syarat penetapan keuntungan baginya dan bersama-sama menanggung kerugian yang tidak dapat dihindari itu. Dengan demikian, syarat-syarat tadi hanya sebagai jalan untuk bermaslahatan umum saja, bukan sebagai ikatan yang membelenggu manusia. Itulah akhlak Islam yang harus dijadikan landasan utama dalam semua umsan perdagangan. Akhlak ini meliputi ketekunan pihak yang diberi modal, kesabaran, amanahnya, kehati- hatiannya, dan kesadarannya. Semua ini adalah sifat-sifat yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw. di dalam sabdanya: "Bahwa Allah akan melihat seseorang di antara kamu yang bila mengerjakan suatu pekerjaan dengan tekun." Jadi, pihak pemberi modal harus membantu dan tidak mementingkan diri sendiri sesuai dengan firman Allah, ”Dan bertolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa.” Dan firman- Nya yang lain, ”Mereka tidak mementingkan diri mereka sekalipun
mereka di dalam kepayahan.” Demikianlah hendaknya pemberi modal jika memperoleh keuntungan sedikit, dia harus membagikan kepada semua pihak yang diberi modal dengan senang hati. Karena modalnya masih utuh, dan Allah akan menggantikannya dalam perdagangan selanjutnya.