Hujroh - Forum Pesantren Indonesia Alumni Pesantren Indonesia Forum      Misi Hujroh
 

Main juga kesini sul:
The Ghurfah Kisah Sukses Alumni Alumni di Luar Negeri Bisnis Online Hikayah fi Ma'had Railfans Dunia Pesantren Ekonomi Islam
Forum  Lifestyle  Peduli Lingkungan 
Selamatkan Buah Lokal Yang Kian Kalah Pamor
Pages: [1]

(Read 801 times - 1 votes) 
  

Co Hujroh

  • Abadan fi Ma'had
  • ***
  • Co Hujroh No Reputation.
  • Join: 2018
  • Posts: 2095
  • Logged
Selamatkan Buah Lokal Yang Kian Kalah Pamor
« on: 16 Aug, 2018, 19:50:07 »

Selamatkan Buah Lokal Yang Kian Kalah Pamor

Pernah makan kesemek? Kecapi? Atau buah jamblang dan ceremai? Sebagian kita mungkin masih familiar dengan nama-nama buah lokal itu yang menjadi camilan masa kecil kita. Beberapa bahkan masih dapat kita temui pohonnya di halaman rumah. Namun sadarkah Anda, buah-buahan khas Indonesia nan beragam itu kini kian menghilang dari pasaran?
Bila singgah ke pasar tradisional, coba perhatikan dagangan para penjual buah. Jeruk mandarin, apel fuji, kelengkeng bangkok, apel Washington, anggur australia, bahkan pisang dari Afrika pasti mendominasi kios-kios mereka. Buahnya ranum dengan warna cerah dan permukaan mengilap. Belum lagi harganya yang lebih murah, bahkan tak jarang diobral hingga Rp5.000
per kilogram. Siapa tak tertarik membeli?
Sejak pemerintah Indonesia menandatangani kesepakatan dagang ACFTA (Asean-China FreeTrade Agreement), keran- keran impor dibuka lebar.
Tak terkecuali, pangan dan buah-buahan. Perdagangan bebas menjadikan buah dari berbagai belahan dunia membanjiri pasar Indonesia. Menyingkirkan jeruk pontia- nak, mangga indramayu,
salak pondoh, dan pisang ambon yang sebelumnya jadi primadona. Apalagi buah- buahan hutan sejenis jamblang dan kecapi, hampir-hampir tak pernah tampak lagi.
Sebagai negara dengan tingkat keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, Indonesia sebetulnya memiliki 389 varietas buah lokal yang patut dibanggakan. Meski warnanya tak semenarik buah impor, ketersediaannya terbatas, dan harganya pun sering kali terbilang lebih mahal, tetap banyak alasan bagi kita untuk memilih buah lokal sebagai hidangan pencuci mulut.

Buah Lokal, Lebih Sehat
Salah satu alasan untuk lebih memilih buah lokal ketimbang buah impor dikemu- kakan dr Phaidon L.Toruan,
dokter sekaligus trainer hidup sehat. Menurut dia, banyaknya penyakit degeneratif yang -enjangkiti generasi muda saat ini disebabkan antara lain : eh menurunnya kualitas makanan kita."Saat ini buah dan sayuran impor membanjiri dasar. Buah dan sayuran dari mdustri pertanian berskala Pesar tentu perlakuannya beda dengan buah lokal yang dibudidayakan petani lokal dengan Kearifan lokal,"terangnya.
Buah yang dibudidayakan dalam industri pertanian skala besar tak mungkin terlepas dari zat kimiawi pupuk dan pestisida. Bahkan bibitnya pun hasil rekayasa genetika."Industri pertanian skala besar juga tidak iagi memperhatikan unsur hara di dalam tanah yang sebenarnya berperan besar terhadap kandungan buah itu.Ta- nam-panen, tanam-panen, tidak ada lagi yang tersisa dari tanah,"dr Phaidon menjelaskan.
Hal ini tentu berbeda dengan produksi buah lokal. Masih banyak petani lokal yang mengandalkan pupuk kandang dan pestisida alami untuk mengoptimalkan hasil pertanian. Mereka pun masih mengandalkan kesuburan lahan dan siklus musim. Proses pemanenan hingga pengemasan juga dilakukan secara tradisional. Wah, apalagi kalau buah yang tumbuh alami di pekarangan rumah atau hutan, zat gizi dan kealamiannya tentu masih terjaga. Itulah buah terbaik!
Menurut pakar nutrisi dan gaya hidup sehat Wied Harry Apriadji, anjuran untuk memakan pangan lokal terdapat dalam ajaran Islam. Dalam buku Sufi Healing diungkapkan bahwa Nabi Muhammad saw pernah berkata, "Makanan terbaik untuk kamu adalah yang dibawa tidak lebih dari satu hari satu
malam perjalanan unta."
"Satu hari satu malam perjalanan unta itu, kalau kita di Jakarta, berarti katakanlah makanan terbaik bagi kita adalah yang dibawa paling jauh dari Bogor, Tasikmalaya, atau Pandeglang. Fresh food, tentu saja. Kalau sekarang, kita sudah tidak memikirkan lagi dari mana makanan kita berasal dan bagaimana ia diproses," kata penganut pola makan foodcombining ini. Semakin jauh asal makanan kita, tentu semakin panjang pula proses yang harus dilaluinya. Semakin banyak ia terkontaminasi, pada akhirnya buah impor itu kemungkinan makin tidak segar lagi. Pernah dengar isu buah dilapis lilin, kan?

Bangkitkan Kepedulian
Kian menghilangnya buah lokal di pasaran akhirnya memunculkan kerinduan banyak orang. Tak hanya satu-dua, kini telah banyak komunitas yang menyuarakan gerakan cinta pangan lokal. Gerakan ini dikenal dengan locavore, yang kesadarannya muncul tak hanya di Indonesia, tapi juga di berbagai negara.
Locavore merujuk pada orang yang mengonsumsi dan mencintai pangan lokal. Diperkenalkan pertama kali tahun 2005 oleh sekelompok pecinta kulineryang mengonsumsi pangan hasil
 
panen radius 160 km di sekitar San Fransisco, Amerika Serikat. Di Indonesia, locavore lebih kepada gerakan kembali kepada pangan lokal dan makanan tradisional. Salah satu komunitas anak muda yang mendukung ini adalah Youth Food Movement (YFM).
Gerakan yang mulai aktif awal 2013 ini bertujuan membangkitkan kesadaran generasi muda tentang pentingnya berdaulat dengan mengonsumsi pangan lokal. Bukan cuma soal gaya hidup sehat, tetapi juga kepekaan terhadap isu kesejahteraan petani dan kedaulatan pangan. "Kita perlu tahu, pangan impor telah banyak merugikan petani kecil yang produknya sering kalah bersaing untuk bisa masuk ke pasar modern," kata Saiful Munir (26), koordinator YFM.
Berburu buah lokal yang sudah jarang ditemukan juga menimbulkan keseruan tersendiri, lho. Para pegiat YFM kerap berbagi foto buah- buahan maupun pangan lokal yang mereka temukan di berbagai daerah. Anda juga jangan mau kalah! Mulailah berburu buah lokal yang Anda rindukan, nikmati rasanya yang alami, lalu berbagilah di Twitter @YFMovement. Supaya orang semakin banyak tahu, buah lokal Indonesia lebih beragam dan lebih sehat!