Hujroh - Forum Pesantren Indonesia Alumni Pesantren Indonesia Forum      Misi Hujroh
 

Main juga kesini sul:
The Ghurfah Kisah Sukses Alumni Alumni di Luar Negeri Bisnis Online Hikayah fi Ma'had Railfans Dunia Pesantren Ekonomi Islam
Forum  Hujroh  The Ghurfah 
STUDI KEANEKARAGAMAN SERANGGA PADA PERKEBUNAN APEL ORGANIK DAN ANORGANIK
Pages: [1]

(Read 1349 times)   

liaapri

  • Abadan fi Ma'had
  • ***
  • liaapri No Reputation.
  • Join: 2020
  • Posts: 579
  • Logged

Tabel 2. Jenis Seluruh Serangga (S), Jumlah Seluruh Serangga (N) dan Koefisien Kesamaan Komunitas Serangga (Qs).

Peubah   Metode pengamatan   Organik   Anorganik
   Langsung   23   17
Jenis Serangga (S)   Yellow Sticky Trap   13   10
   Lure Traps   1   1
   Langsung   1044   1447
Jumlah Serangga (N)   Yellow Sticky Trap   304   343
   Lure Traps   37   4
   Langsung   0,8
0,53
1
Kesamaan 2 lahan (Qs)   Yellow Sticky Trap   
   Lure Traps   


Dari tabel 2 dapat diketahui kelimpahan serangga di lahan organik dan lahan anorganik. Secara umum jenis serangga di lahan organik lebih tinggi daripada lahan anorganik.Adanya masukan pupuk organik dan diversitas vegetasi yang cukup tinggi pada lahan organik akan menyediakan kelimpahan sumber makanan baik untuk dekomposer, polinator maupun musuh alami. Dalam komunitas, banyak sedikitnya padat populasi serangga ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya keragaman jenis tanaman (Mudjiono, 1998). Diversitas sumber makanan tersebut akan menarik beberapa jenis serangga untuk datang dan mengeksploitasiinya sesuai dengan guilds masing-masing. Price (1997) mengemukakan bahwa faktor internal yang mempengaruhi jumlah jenis agar
 





dapat bertahan hidup adalah jumlah resource yang tersedia, kualitas resource dan diversitas dari resource.
Secara umum jumlah serangga pada lahan organik lebih rendah daripada lahan anorganik, kemungkinannya adalah pada lahan organik terjadi pengendalian secara alami terhadap ledakan jumlah hama disebabkan oleh berjalannya jaring- jaring makanan. Predator dan parasitoid dapat menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya dalam mengontrol populasi hama.


4.2.4. Analisis Koefisien Kesamaan Kedua Lahan

Koefisien kesamaan komunitas (Qs) dari komunitas serangga yang ditemukan pada pengamatan langsung adalah 0,8 dan pada metode Yellow sticky traps sebesar 0,53 sedangkan pada metode Lure Traps nilainya 1. Kemiripan nilai kesamaan komunitas pada beberapa diduga disebabkan karena dekatnya jarak antara dua lahan, sehingga membantu penyebaran populasi serangga yang sama dari satu lahan ke lahan lain. Individu-individu suatu populasi dapat memencar keluar dari populasi ketempat lain disebabkan oleh adanya persaingan terhadap makanan, cahaya, ruang tempat tinggal dan bertelur (Oka, 1995). Lebih lanjut Price (1997) mengemukakan bahwa ketika populasi menjadi tinggi, faktor tergantung kepadatan akan bermigrasi ke tempat lain disebabkan oleh persaingan intraspesifik.
Menurut Supriyadi (1999), Yellow Sticky Trap cukup efisien menjebak serangga untuk memantau populasi dan keberadaan serangga dilapang, sehingga dapat dikembangkan sebagai alternatif cara pengendalian melalui uji
 





pemasangannya di lahan. Perangkap ini berbentuk persegi panjang dengan ukuran 21,6 x 15,1 cm, pada salah satu sisi perangkap ini, terdapat lem agar serangga menempel pada perangkap tersebut.
Efisiensi perangkap Yellow Sticky Trap berdasarkan pada desain (bentuk), warna, bahan yang digunakan, jarak, tinggi dan waktu pemasangan. Warna kuning adalah warna yang paling efisien untuk menarik serangga (Anonim, 2000). Tinggi pemasangan yellow sticky trap sangat berpengaruh nyata terhadap efisiensi penangkapan serangga. Pemasangan perangkap yang paling efisien adalah di sekitar kanopi tanaman (Supriyadi dkk., 1999)
Fauna yang diperoleh dari pengamatan menggunakan Yellow sticky trap semuanya adalah insekta yang sedang terbang tertarik warna kuning dan terjebak. (Setyorini, 2006).
Koefisien kesamaan komunitas serangga yang diperoleh dengan metode Lure Traps adalah 1 artinya komunitas serangga yang ada pada lahan organik sama dengan yang ada pada lahan anorganik. Dengan metode Lure Traps, pada kedua lahan hanya ditemukan satu jenis famili serangga yakni famili Tephritidae. Metode Lure Traps dilakukan dengan menggunakan senyawa pemikat (atraktan) dan perangkap pemikat. Bahan pemikat yang digunakan mengandung senyawa metil eugenol karena paling efektif dibandingkan dengan cue lure dan trimed lure (Putra, 2001). Senyawa-senyawa tersebut bekerja spesifik sebagai atraktan bagi lalat buah.
Kehidupan lalat buah (famili Tephritidae) dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya faktor suhu, kelembapan dan ketersediaan inang. Ketiga faktor
 





tersebut tersedia cukup di daerah tropis sehingga menguntungkan bagi perkembangan populasi lalat buah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lalat buah yang paling banyak tertangkap adalah pada lahan apel organik terutama pada tanaman yang memiliki banyak buah yang cukup masak dan buah yang busuk, hal ini di karenakan dalam mencari tempat untuk meletakkan telurnya lalat buah memilih buah atau bunga yang cukup lunak untuk dapat ditembus oleh alat peletak telurnya, selain itu kandungan nutrisi atau gizi yang dibutuhkan larva harus tersedia cukup. Hal ini sesuai yang di katakan oleh Putra (2001) bahwa induk lalat buah sangat menyukai inang yang berupa buah setengah masak karena dalam kondisi seperti ini, buah mengandung asam askorbat dan sukrose dalam jumlah maksimal. Buah yang terlalu masak tidak disukai oleh induk karena membutuhkan waktu yang lebih pendek daripada waktu hidup larva lalat buah, sebelum panen atau dipetik.
Lalat buah paling sering mendekati dan memasuki lure trap pada sore hari. Hal ini terjadi karena lalat buah termasuk serangga krepuskuler yakni melakukan kopulasi setelah tengah hari sebelum senja. Lalat betina yang sudah masak seksual akan mengeluarkan senyawa pemikat (atraktan), dan diterima oleh lalat jantan masak seksual. Selanjutnya akan terjadi perkawinan di dekat tanaman inang. Sebenarnya atraktan yang digunakan pada lure trap ini sama dengan yang dikeluarkan oleh atraktan yang dikeluarkan oleh betina, sehingga bisa di pastikan bahwa yang tertangkap dalam lure trap adalah lalat buah jantan (Bess dan Haramoto, 1961)
 





Ketertarikan serangga terhadap bau pada lure trap disebabkan karena adanya senyawa volatil, senyawa tersebut mempunyai tekanan uap tinggi pada temperatur fisiologis yang yang menyebabkan pergerakan cepat dan secara biologis aktif walaupun jumlahnya sedikit. Dijelaskan pula bahwa senyawa volatil dapat kontak dengan organisme baik fasa gas dan cair serta mampu menginduksi aktivitas biologis walau berjarak jauh dengan sumbernya (Aziz, 2004). Isyarat kimia baik berupa bau yang dikeluarkan oleh buah maupun atraktan sintesis (parapheromon) akan menyebabkan lalat buah tertarik untuk mendekati bahan tersebut (Prokopy dan Economopoulos 1976; Vargas dan Nishida 1985).
Singh (1968) menyatakan bahwa tingkat kemasakan buah sangat menentukan populasi lalat buah untuk meletakkan telur. Preferensi peletakan telur di pengaruhi oleh warna dan tekstur buah. Bagian buah yang ternaungi, agak lunak dan permukaannya kasar merupakan tempat yang ideal untuk peletakan telur. Populasi lalat cenderung tinggi dengan semakin banyaknya buah yang tua.
Mengenai keberadaan lalat buah buah yang sangat banyak pada lahan apel organik seperti yang ditunjukkan dalam hasil penelitian disebabkan karena tidak adanya pengontrolan lalat buah dengan menggunakan pestisida sedangkan musuh alami dari lalat buah juga dijumpai dalam jumlah yang tidak cukup banyak. Parasitoid yang biasanya menyerang lalat buah diantaranya ordo Hymenoptera (bangsa tawon, lebah dan semut), selain parasitoid, beberapa jenis semut juga berperan sebagai pemangsa larva lalat yang jatuh ke tanah. Pada saat larva akan masuk kedalam tanah, semut-semut tersebut akan menyerangnya. Sementara itu, pupa lalat buah dapat pula dimangsa oleh cecopet (ordo Dermaptera), sayap jala
 





Crysophidae (ordo Neuroptera), kepik pentatomid dan beberapa kumbang tanah (ordo Coleoptera), misalnya kumbang Carabid dan Staphylinid.
Karena pengendalian hayati yang mengandalkan pada peran predator dan parasitoid pada lahan organik ternyata kurang maksimal maka, biasanya cara yang digunakan oleh pemilik lahan apel organik biasanya mengkombinasikannya dengan cara mekanik yakni pengumpulan dan pemungutan sisa buah yang tidak di panen yang kemudian dibakar untuk memutus siklus hidup lalat buah cara mekanik lain yang biasa digunakan adalah dengan cara memblongsong buah. Selain cara mekanik biasanya juga menggunakan cara kultur teknis yakni dengan pemanenan buah yang masih muda sehingga telur lalat belum sempat menetas atau dengan cara pengolahan tanah dimaksudkan untuk membunuh pupa yang berada di dalam tanah.