Hujroh - Forum Pesantren Indonesia Alumni Pesantren Indonesia Forum      Misi Hujroh
 

Main juga kesini sul:
The Ghurfah Kisah Sukses Alumni Alumni di Luar Negeri Bisnis Online Hikayah fi Ma'had Railfans Dunia Pesantren Ekonomi Islam
Forum  Knowledge  Ekonomi Islam 
Fungsi Kepemimpinan dalam Islam
Pages: [1]

(Read 3409 times)   

Admin

  • Administrator
  • Abadan fi Ma'had
  • ***
  • Admin No Reputation.
  • Join: 2013
  • Posts: 2615
  • Logged
Fungsi Kepemimpinan dalam Islam
« on: 17 Mar, 2018, 07:41:25 »


Kepemimpinan adalah fakta sosial yang tidak bisa dihindarkan untuk mengatur hubungan antarindividu yang teigabung dalam satu masyarakat. Di mana masing-masing individu memiliki tujuan kolektif yang Ingin diwujudkan bersama dalam masyarakat. Islam mendorong umatnya untuk mengatur kehidupan bersama dalam masyarakat, memotivasi munculnya kepemimpinan berdasarkan kesepakatan masyarakat, yakni dengan menunjuk seseorang yang dipercaya mampu memimpin dan memberikan petunjuk atas segala persoalan kehidupan.
Munculnya seorang pemimpin dalam satu masyarakat adalah sebuah keniscayaan, sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah dalam sabdanya: "Tidak dihalalkan bagi 3 orang yang berada di atas tanah di muka bumi ini, kecuali salah seorang dari mereka menjadi pemimpin." Dalam hadis lain diriwayatkan: ‘Ketika 3 orang keluar melakukan perjalanan, maka perin- lahkanlah salah seorang dari mereka untuk menjadi pemimpin.”
Berdasarkan keterangan 2 hadis ini, hak untuk memilih seorang pemimpin berada di tangan masyarakat (jamaah). Tidak diperkenankan icseorang mengaku dan mengangkat dirinya menjadi pemimpin, dan memaksa masyarakat untuk menaati kepemimpinannya. Pemimpin sejati «dalah orang yang dipilih oleh masyarakat, karena memiliki beberapa karakteristik tertentu yang berbeda dari lairmya, dan ia mendapatkan ridha ilari mayoritas masyarakat, walaupun tidak seutuhnya.



Definisi Kepemimpinan
fungsi kepemimpinan baru bisa dijalankan dalam sebuah masyarakat,
 jika lelah terpenuhi 3 unsur utama berikut ini; kumpulan manusia yang dimulai dari 3 orang atau lebih; terdapat tujuan kolektif yang ingin di wujudkan bersama; terdapat seseorang yang dipilih untuk menjadi pemimpin dan mendapatkan persetujuan dari mayoritas anggota masyarakat yang akan membantunya merealisasikan tujuan bersama.
Seorang pemimpin diharapkan memiliki kemampuan mengarahkan dan memimpin masyarakat untuk maju dalam meraih tujuan kolektif yang diimpikan bersama. Hal ini tidak mungkin diwujudkan pemimpin tanpa adanya interaksi sosial yang intens dengan para pengikutnya. Sehingga, mereka akan bekerja sama layaknya sebuah tim yang solid guna mewujudkan impian bersama. Seorang pemimpin adalah bagian dari masyarakat dan tidak bisa dipisahkan dari mereka. Masyarakat percaya terhadap apa yang dilakukan pemimpin, dan sebaliknya. Apa yang menjadi tanggung jawab pemimpin akan menjadi tanggung jawab masyarakat. Namun demikian, seorang pemimpin harus mampu menjadi teladan dan panutan bagi masyarakat dalam rangka meraih tujuan bersama (figuritas).
Definisi kepemimpinan yang dituliskan para tokoh manajemen mengandung 3 unsur sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, yakni: adanya masyarakat, tujuan kolektif dan seorang pemimpin yang akan mengarahkan untuk mencapai tujuan tersebut.
John E dan Robert B. dalam bukunya Public Management memberikan definisi kepemimpinan sebagai seni untuk mengatur individu dan masyarakat, serta memotivasi semangat mereka untuk meraih tujuan yang telah ditetapkan.1
Madrasah al-Masyah al-Amerika, memberikan arti kepemimpinan sebagai seni untuk memengaruhi dan mengarahkan orang lain dengan metode tertentu agar mereka berusaha untuk taat, ioyal dan membantu dalam satu cara untuk meraih tujuan yang telah ditetapkan.2
Menurut Arted, kepemimpinan adalah kemampuan untuk memengaruhi orang lain agar mereka berusaha membantu untuk mewujudkan tujuan yang diimpikan bersama. John B. memberikan definisi kepemimpinan sebagai kegiatan atau proses untuk saling memengaruhi antarindividu yang tergabung dalam satu kelompok -walaupun ada perbedaan di antara mereka) untuk diarahkan pada keg'atan kemanusiaan berdasarkan permasalahan bersama.
‘John E dan Robert B„ Public Management, Ronald Press. New York, 1960. ‘Madrasah al-Masya al-Amerika, Katiib al-Qiyadah. hlm. 12.
Definisi ini memberikan pengertian bahwa proses untuk saling memengaruhi antara pemimpin dan masyarakat, memiliki arti bahwa mereka saling memengaruhi satu sama lain. Artinya, seorang pemimpin bukanlah unsur tunggal yang memberikan pengaruh kepada orang lain. Akan tetapi, ia juga dipengaruhi pendapat masyarakat, dan berinteraksi dengan keinginan serta keyakinan mereka dalam posisi yang sama. Seorang pemimpin merupakan bagian dari anggota masyarakat, saling berkontribusi, tukar pendapat dan pengalaman, serta secara bersama-sama berusaha mewujudkan tujuan kolektif.
Dari beberapa definisi yang berbeda ini dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk mengatur, memengaruhi atau mengarahkan orang lain (2 orang atau lebih) untuk mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan dengan upaya yang maksimal, dan kontribusi dari masing-masing individu.
Hasil kajian dan penelitian ilmiah menunjukkan bahwa kemampuan untuk memimpin bukanlah bawaan manusia dari lahir, akan tetapi ia bisa dikembangkan dari pengalaman dan pembelajaran. Memang, tenlapat beberapa faktor dan unsur kepribadian manusia yang memiliki peran dalam meningkatkan kemampuan kepemimpinannya. Seperti, kecerdasan, bakat, kekuatan kepribadian dan luasnya cakrawala pengetahuan. Namun demikian, dimensi kepemimpinan bisa dipelajari dan dikembangkan dari pengalaman dan latihan. Sebagai pemimpin pemula bisa mengembangkan kemampuannya dengan berlatih, kursus atau menambah wawasan kepemimpinan (leadershipj.


Pemimpin dan Ketua
Seorang pemimpin dan ketua memiliki beberapa persamaan karakter d.m sifat-sifat tertentu, keduanya menduduki jabatan yang tinggi dalam sebuah struktur organisasi, perusahaan atau pemerintahan. Pemimpin dan ketua dibekali dengan kekuasaan untuk memengaruhi, mengatur atau mengarahkan anggota organisasi untuk tunduk terfiadap kepemimpinan mereka. Namun demikian, kepemimpinan muncul dari aspirasi anggota organisasi (buttom up). Sedangkan ketua, biasanya bersifat resmi dan mengikat kepada anggota (top down), sesuai dengan kondisi, bentuk Organisasi atau peraturan pekerjaan.
Ketua adalah seseorang yang dikhususkan dan mendapatkan penghormatan untuk melaksanakan tugas orang lain sesuai dengan standar Operasi dan prosedur yang lelah disepakati. Hubungannya dengan anggota


organisasi dibangun dengan asas tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Di samping itu, ia juga dibekali dengan kekuasaan resmi yang memungkinkan baginya untuk mengeluarkan perintah kepada bawahannya. Para bawahan berkewajiban untuk menjalankan perintah tersebut di bawah peraturan, dan mereka bertanggung jawab terhadap segala bentuk penyelewengan dalam menunaikan tugasnya.
Ada pun seorang pemimpin, dengan kekuasaan yang dimiliki, ia berusaha memengaruhi perilaku orang lain dengan sebuah metode yang memungkinkan mereka loyal dan taat kepadanya. Selain itu, para bawahan juga berkenan untuk mematuhi segala perintahnya dengan ridha dan segenap perasaan jiwa. Secara faktual, seorang pemimpin menjalankan peran yang lebih tinggi daripada seorang ketua. Artinya, kekuasaan yang dimilikinya tidak hanya bersifat resmi, dan ditetapkan dengan keputusan. Namun, kekuasaan itu bisa diterima sepenuhnya oleh para bawahan untuk mengikuti arah kepemimpinannya. Kepemimpinan ini merupakan buah manis yang pernah dinikmati Rasulullah dan sahabat Khulafaur Rasyidin yang teguh dan setia menjalankan sunnah-sunnah Rasulullah.
Untuk itu, tidak bisa dikatakan bahwa setiap ketua adalah pemimpin. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk menjadi sebagai seorang pemimpin. Terkadang, para ketua menggunakan kekuasaan resminya untuk memimpin anggotanya, terlebih jika mereka belum memahami karakter jamaahnya. Seorang ketua berbaur dengan para bawahan, mereka saling memengaruhi dan dipengaruhi, dan ia menganggap bahwa dirinya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari jamaah. Dalam posisi ini, seorang ketua bisa diakui sebagai pemimpin dengan catatan ia mampu memberikan suri tauladan untuk para bawahan, memiliki persamaan visi dan misi, serta mampu memenuhi kebutuhan mereka.
Ketika seorang ketua yakin bahwa jabatannya bisa digunakan sebagai pengantar (pemicu) kepemimpinannya, maka ia harus bergerak untuk memengaruhi dan memimpin bawahannya. Tentunya, jika sebelumnya ia telah berasumsi bahwa para bawahan akan patuh dan taat terhadap kekuasaan resminya. Ia menggunakan segala kemampuannya untuk memimpin bawahan dengan sepenuh hati dan bisa diterima oleh mereka.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa sumber kekuasaan bagi seorang pemimpin adalah aspirasi bawahan. Sedangkan sumber kekuasaan ketua berasal dari jabatan dan kekuasaan resmi yang diberikan oleh peraturan. Seorang ketua yang berhasil adalah orang yang mampu mengarahkan atau memimpin bawahannya melalui proses interaksi intens untuk saling memengaruhi. Sikap dan tindakannya bisa diterima sepenuhnya oleh para bawahan, bukan karena kekuasaan resmi yang dimilikinya



Model Kepemimpinan
lokoh manajemen dan ahli sosiologi sepakat bahwa tidak terdapat karakteristik baku yang melekat dalam kepemimpinan dan harus dipegang oleh seorang pemimpin sepanjang waktu untuk merealisasikan tujuannya. Tidak ditemukan model kepemimpinan ideal yang mungkin untuk diterapkan dalam setiap waktu dan perubahan zaman. Kepemimpinan diartikan sebagai peran tertentu yang dijalankan seorang pemimpin dalam sebuah sikap tertentu yang mengintegrasikan peran manusia, permasalahan dan kondisi.
Akan tetapi, terdapat kesepakatan bahwa seorang pemimpin harus berbaur dengan para bawahan dalam segala sesuatu yang terkait dengan konsen, pemikiran dan keyakinan mereka. Serta harus menunjukkan kepada mereka bahwa ia akan melayani segala kebutuhan dan tujuan mereka, dan ia adalah bagian yang utuh dengan para bawahan. Sehingga, para bawahan bisa menerimanya sebagai seorang pemimpin. Untuk itu, unsur kedekatan dengan jamaah merupakan sifat pokok bagi seorang pemimpin. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa seorang pemimpin yang menjaga jarak dan jauh dari bawahan, baik dari segi pemikiran dan tindakannya, tidak akan mampu menjalankan tugas kepemimpinan dengan baik.
Ronald Lipitt dan R. White pernah melakukan penelitian ilmiah tentang model-model kepemimpinan. Keduanya menghadirkan beberapa sampel model kepemimpinan yang berpengaruh untuk menggerakkan bawahan, dengan tujuan untuk mengetahui korelasi antara model kepemimpinan dan perilaku bawahan. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak 3 model kepemimpinan terhadap perilaku Individu dan masyarakat. Ketiga model kepemimpinan dimaksud adalah demokrasi, autoritarian, dan laissez-faire. Ketiga model kepemimpinan ini dipilih sebagai bahan uji coba selama 7 minggu, dan diteliti dampak yan<* ditimbulkan.


Model Demokrasi
Keputusan yang diambil dalam model kepemimpinan ini merupakan
hasil kesepakatan bersama melalui sebuah diskusi dan pemikiran kolektif. Pemimpin berperan untuk memimpin dan mengatur jalannya diskusi (musyawarah), dan memberikan kebebasan bagi masing-masing individu untuk mengungkapkan pendapatnya. Setiap individu juga diberi kebebasan untuk memilih bekeija dengan sesama anggota masyarakat lainnya. Seorang pemimpin menyampaikan gagasan dan sarannya melalui berbagai media, dan ia tidak memiliki hak untuk memaksakan kehendaknya. Dalam menjalankan model kepemimpinan ini dibangun dengan semangat kebersamaan, persamaan dan egaliterisme. Masing-masing individu adalah sama dan merupakan bagian dari yang lain.


Model Autoritarian

Seorang pemimpin memiliki wewenang mutlak untuk menentukan program atau kebijakan tanpa harus meminta pertimbangan dan bermusyawarah dengan masyarakat. Rakyat hanya berperan menjalankan program dan kebijakan pemerintah, selangkah demi langkah, tanpa mengetahui masa depan dan tujuan yang ingin diraih. Mereka hanya peketja yang buta terhadap tujuan yang ingin diwujudkan pemerintah. Pemimpin memiliki wewenang mutlak untuk membagi pekeijaan, menurunkan perintah dan memaksa rakyat untuk mematuhinya secara otoriter. Kedudukan dan posisi pemimpin terpisah dari kegiatan rakyat, kecuali ada kondisi yang memaksanya untuk turun dan memberi penjelasan kepada rakyat.

Model Laissezfaire
Dalam model kepemimpinan ini, peran seorang pemimpin bersifat pasif. Dia memberikan kebebasan mutlak kepada rakyat untuk mengambil keputusan, tindakan atau langkah lain terkait dengan kehidupannya. Pemimpin hanya berperan menyampaikan informasi dan kebijakan penting, serta menyediakan fasilitas yang dibutuhkan rakyat untuk menjalankan kebutuhannya. Selain itu, negara tidak memiliki hak intervensi, kebijakan, atau rekomendasi pekeijaan yang harus dilakukan rakyat.
Hasil
Model kepemimpinan demokrasi relatif bisa diterima oleh mayoritas masyarakat, namun demikian, munculnya kelompok oposisi adalah fakta yang tidak bisa dihindarkan. Terlebih, jika model kepemimpinan yang diterapkan adalah bentuk autoritarian. Dalam model laissez-faire, menuntut peran pemimpin lebih aktif dan konseri terhadap kehidupan rakyat.3
Banyak sekali percobaan ilmiah dan lapangan untuk menentukan model kepemimpinan ideal yang mungkin bisa diterapkan dalam kehidupan. Hasil penelitian menunjukkan, model kepemimpinan demokrasi relatif lebih baik dan utama daripada model-model yang lain. Hasil penelitian manajemen modem mengakui adanya nilai positif (keunggulan komparatif) model demokrasi dan menganggapnya sebagai bentuk kepemimpinan ideal. Namun demikian, model ini tidak bisa diterima secara mutlak dan bisa diterapkan dalam setiap kondisi zaman. Dengan alasan, model kepemimpinan yang ideal adalah kepemimpinan yang sesuai dengan kondisi sosio-geografis, kultur masyarakat, pengalaman rakyat serta dalam kondisi tertentu.
Model kepemimpinan demokrasi akan dianggap ideal jika memang terdapat persamaan antara pemimpin dan rakyat dalam hal tingkat pemahaman budaya, pengetahuan, wawasan dan pandangan hidup (falsafah). Model ini akan dianggap tidak ideal jika terdapat perbedaan kultur, cakrawala ataupun prinsip hidup. Atau, diterapkan dalam masyarakat yang terbiasa hidup dengan standar tertentu, yang tidak menerima masukan pendapat (musyawarah) dan ketja sama dalam menyelesaikan persoalan hidup.4
Khalifah Umar r.a. memiliki pemikiran yang cukup unik terkait dengan model kepemimpinan. Beliau berkata: “Sesungguhnya persoalan ini tidak patut dan layak, kecuali orang yang lembut tapi tidak lemah, orang yang kuat tapi tidak korup (sewenang-wenang)". Saat dilantik sebagai khalifah, sahabat Umar r.a. menyampaikan pidato yang menarik: “Wahai manusia, demi Allah, tidak ada seorang pun dari kalian yang lebih kuat di hadapanku dari orang yang lemah, sehingga saya mengambil haknya, dan tidak ada orang yang lebih lemah dihadapanku dari orang yang kuat, sehingga aku mengambil hak darinya.”
Model kepemimpinan dalam Islam dibangun dengan prinsip pertengahan, moderat dalam memandang persoalan. Tidak memberikan kekuasaan secara otoriter, atau kebebasan secara mutlak, sehingga bebas dari nilai. Ia bukanlah model demokrasi yang secara mutlak dapat diterapkan sepanjang sejarah dan perubahan zaman.


Pilar-pilar Kepemimpinan
Corporate culture (budaya perusahaan), arah dan bentuk manajemen sebuah perusahaan atau organisasi sangat bergantung pada kemampuan seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya (model kepemimpinan), guna mengantarkan perusahaan mencapai tujuan yang diimpikan. Selain itu, juga dipengaruhi dengan faktor-faktor internal dan eksternal yang secara intens berinteraksi dengan dinamika perusahaan.
Artinya, keberhasilan perusahaan dalam mencapai target dan tujuannya, tidak hanya dipengaruhi oleh prosedur, peraturan, standar operasi, sumber daya insani atau infrastruktur yang dimiliki oleh perusahaan. Namun, model kepemimpinan yang dijalankan seorang pemimpin'juga akan menentukan kinerja perusahaan dalam mencapai tujuannya. Berapa banyak perusahaan yang bangkit, setelah memiliki manajemen kepemimpinan yang handal, dan berapa banyak perusahaan yang tumbang, karena ditinggalkan oleh seorang pemimpin.
Seorang pemimpin memiliki peran krusial dalam menentukan maju mundurnya sebuah perusahaan. Untuk itu, persyaratan yang melekat dalam dirinya haruslah ketat, di antaranya, ia harus memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, analisa yang tajam, percaya diri, berjiwa besar, kuat untuk memahami orang lain, seorang pioneer (figuritas), innovator, visioner, memiliki obsesi yang kuat terhadap, tujuan. Ini merupakan syarat-syarat yang lazim dalam diri seorang pemimpin. Akan tetapi, sifat-sifat ini tidak mutlak terpenuhi dalam setiap kondisi dalam sebuah kepemimpinan. Menggabungkan sifat-sifat ini dalam diri seorang pemimpin bukanlah persoalan gampang.
Di tengah kesulitan ini, pemikiran manajemen modern berusaha menawarkan alternatif kriteria yang harus melekat dalam diri seorang pemimpin. Seorang pemimpin harus memiliki beberapa kompetensi yang mencerminkan pilar-pilar sebuah kepemimpinan. Kompetensi ini berhubungan dengan wawasan pemimpin untuk mengetahui kondisi, lingkungan politik atau sosial, yang tercermin dalam kemampuan strategis, mengetahui kondisi para bawahan yang berada di bawah kepemimpinan- nya yang tercermin dalam kemampuan interpersonal (komunikasi), dan kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan yang sedang ia hadapi, yang tercermin dengan kemampuan teknis.
Kemampuan Strategis
Kemampuan ini diartikan sebagai kemampuan seorang pemimpin untuk mengetahui kondisi sosial-politik yang melingkupi operasional organisasi yang dipimpinnya. Kemampuan untuk mengelola kekuatan internal yang dimiliki dengan berbagai hambatan eksternal yang menantang guna mewujudkan tujuan yang diimpikan. Bagaimana seorang pemimpin mampu mengelola sumber daya insani dan sumber daya lain dalam rangka meraih tujuan, serta diiringi dengan pressure, tantangan dari masyarakat. Kemampuan strategis juga bisa diartikan sebagai kemampuan untuk membuat perencanaan strategis, serta kebijakan atau program-program yang harus dijalankan untuk mewujudkan tujuan yang telah disepakati bersama.
Kemampuan strategis ini pernah ditunjukkan Rasulullah dalam mengembangkan dakwah di awal kemunculan Islam. Rasulullah mencanangkan beberapa stategi dakwah dan perencanaan strategis untuk mengembangkan Islam. Di antara strategi tersebut adalah Rasulullah berusaha membebaskan kaum Muslimin dari berbagai siksaan yang dilakukan kaum Quraisy. Ketika siksaan itu semakin menjadi, Rasulullah memerintahkan kaum Muslimin untuk keluar dari Kota Makkah, dengan tujuan untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Setelah berada di Kota Madinah, langkah awal yang dilakukan Rasul adalah mempersaudarakan antara sahabat Muhajirin dan Anshar. Selain itu. Rasul juga melakukan kesepakatan damai dengan pihak non-Muslim dari kaum Yahudi yang tinggal di Madinah.
Bagi kaum muallaf, Rasulullah memiliki strategi yang sangat proporsional. Rasul memberikan harta zakat bagi orang yang baru mengenal dan masuk Islam, tujuannya adalah untuk memantapkan niat dan kecintaan mereka terhadap Islam. Terdapat 31 orang muallaf yang mendapat santunan dari Rasul. Mereka adalah tokoh-tokoh Arab yang terdiri dari orang-orang yang memiliki derajat mulia, berpengetahuan luas, ahli pidato, penyair dan lainnya. Sofv/an bin Umayah berkata, Pada saat perang Hunain, Rasul memberikan harta kepadaku, padahal beliau adalah orang yang paling saya benci di antara manusia. Namun, Rasul tetap memberikan santunan kepadaku, sehingga beliau menjadi orang yang paling saya sukai di antara manusia.”5
Rasulullah bersabda: “Saya memberikan harta kepada sebuah kaum, dengan harapan bisa condong, mengurangi aib dan kesedihannya. Dan aku memberikan makan sebuah kaum, sampai Allah memberikan kebaikan dan kekayaan dalam hati manusia. ” Begitu juga, Rasul sangat menghormati utusan (kabilah) orang Arab ketika mendekat kepada Islam seusai pembukaan Kota Makkah (fathu makkah). Di antara mereka ada yang dilayani layaknya tamu agung selama 10 hari, seperti Abdul Qais, bahkan ada yang dihormati layaknya raja-raja dari Yaman, karena mereka memang memiliki derajat yang setara dengan mereka.6
Kemampuan strategis itu juga ditunjukkan Rasulullah seusai melakukan Perjanjian Hudaibiyah dengan kaum Quraisy. Rasul dan para sahabatnya berlaku lemah lembut, tanpa sedikit pun kekerasan. Ketika memasuki Kota Makkah selama 3 hari, Rasulullah dan para sahabat menggantungkan perlengkapan perang mereka, tidak ada satu pedang pun yang terhunus dari sarungnya.
Begitu juga dengan sikap Rasul yang mau berdamai dengan Suhail bin Amr (saudara Amir bin Luai). Rasulullah mencari Ali bin Abi Thalib dan bersabda: *Tulislah basmalah." Tapi Suhail berkata:“Saya tidak tau apa artinya ini, untuk itu, tulislah dengan nama Engkau Ya Allah. ’ Rasul bersabda kepada Ali: “Tuliskan dengan asma Engkau Ya Allah." Maka Ali ra. menuliskannya. Ini merupakan bentuk toleransi yang ditunjukkan Rasul kepada SuhaiL Suhail berkata: ‘Jika aku menyaksikan bahwa engkau adalah utusan Allah, maka aku tidak akan membunuhmu, tapi tulislah dengan namamu dan tuahmu." Rasul berkata kepada Ali: ‘Tulislah hasil kesepakatan antara Muhammad bin Abdullah dan Suhail bin Amr Keduanya sepakat untuk melakukan gencatan senjata selama 10 tahun, guna mewujudkan stabilitas keamanan bagi kehidupan masyarakat, masing-masing pihak melakukan perlindungan dan pencegahan."
Jika ada orang Quraisy yang datang kepada Muhammad, tanpa seizin pemimpinnya, maka ia wajib mengembalikannya kepada mereka. Barang siapa di antara pengikut Muhammad yang datang kepada kaum Quraisy, maka tidak akan dikembalikan kepadanya. Di antara kita saling sepakat satu sama lain, tidak ada pengkhianatan atau penipuan. Barang siapa yang ingin masuk (suka) dalam golongan Muhammad, maka dipersilakan untuk mengikutinya. Dan sebaliknya, barang siapa ingin masuk dalam golongan dan barisan orang Quraisy, maka ia diberi kebebasan."7
Sebagian kaum Muslimin tidak suka dengan perjanjian ini, namun tidak bagi Rasul. Sebab, dengan adanya perjanjian ini, terjadi percampuran antara kaum Muslimin dengan kaum Musyrik Quraisy, yang sebelumnya, mereka belum pemah saling bercampur. Sebagian kaum Musyrik datang ke Madinah, dan sebaliknya, sebagian kaum Muslim datang ke Makkah. Mereka saling mendatangi keluarga dan kerabat, dan saling memberi nasihat satu sama lain.
Di antara kaum Mysyrik ada yang mengorek keterangan tentang pribadi Nabi dan mukjizat yang diberikan, bahkan mereka ada yang menyaksikan dan membuktikan sendiri. Sehingga, dalam hati mereka terdapat kecondongan untuk beriman dan masuk Islam sebelum pembukaan kota Makkah. Setelah itu, secara berbondong-bondong mereka condong dan masuk Islam. Islamnya kaum Quraisy merupakan faktor pemicu bagi masuknya orang-orang Arab ke dalam Islam. Ini merupakan hasil dari kemampuan strategis yang ditunjukkan Rasul sebagai pemimpin sejati yang visioner.
Kemampuan strategis ini juga pemah ditunjukkan Khalifah Umar r.a. Ketika ia menahan diri untuk memberikan informasi kepada kaum Quraisy dari kaum Muhajirin untuk keluar kota, kecuali ada izin dan batas waktu. Hal ini untuk menghindari terjadinya fitnah di antara mereka. Kemudian mereka mengadu kepada Umar r.a., dan khalifah berkala, “Ingatlah, jika aku bandingkan umur Islam dengan umur onta, maka ia diawali dengan onta Jadz’a, kemudian berumur 2 tahun, 4 tahun dan 6 tahunan, kemudian onta Bazil (mendekati umur 9 tahun). Jika ditunggu umur Bazil, maka yang ada hanya kekurangan. Ingatlah bahwa sesungguhnya Islam telah tegak berdiri, dan orang-orang Quraisy ingin mengambil harta Allah sebagai penolong di hadapan hamba-Nya. Ingatlah bahwa Ibn Khattab masih hidup, saya akan berdiri di hadapan suku-suku yang merdeka, dan saya akan mengambil penghalang kaum Quraisy untuk terjerumus ke dalam neraka."


Kemampuan Interpersonal
Diartikan sebagai kemampuan pemimpin untuk membina hubungan baik, berkomunikasi dan berinteraksi dengan para bawahan dan seluruh elemen perusahaan. Kemampuan ini adalah persyaratan mutlak bagi seorang pemimpin dalam membina komunikasi untuk menjalankan perusahaan. Sehingga akan terjadi kesatuan pemahaman. Selain itu, dengan kemampuan ini, akan memungkinkan seorang pemimpin untuk
memengaruhi bawahannya agar mereka mau menjalankan segala tugas dan tanggung jawab dengan jujur, amanah, ikhlas dan profesional.
Kemampuan interpersonal seorang pemimpin bisa direfleksikan dalam perilaku dan kepemimpinannya di hadapan para bawahan. Di antara kewajiban yang harus ditunaikan seorang pemimpin di hadapan bawahan adalah sebagai berikut.
•   Menunjukkan suri tauladan yang baik atas semua aktivitas yang . dilakukan.
•   Memiliki interaksi sosial yang baik dengan bawahan, konsen terhadap persoalan mereka dan berlaku adil.
•   Mengajak bawahan untuk bermusyawarah dan menghormati pendapat mereka.
•   Melatih bawahan untuk menjalankan tugas dengan amanah.
•   Memiliki kepercayaan terhadap kemampuan bawahan, dan mendelegasikan beberapa wewenang.
•   Melakukan inspeksi, pengawasan dan audit terhadap kinerja bawahan secara amanah.



Suri Teladan (Qudwah Hasanah)
Tugas utama yang harus dijalankan seorang pemimpin adalah memberikan contoh dan suri teladan yang baik untuk para bawahannya dalam menjalankan tugas-tugas perusahaan, la mewajibkan dirinya untuk berperilaku lurus dan sesuai dengan prosedur yang ada, serta teguh dalam menjalankan tanggung jawab dengan penuh kesabaran, amanah dan pengorbanan. Semua tindakan yang dilakukan harus sesuai dengan ketentuan yang telah diturunkan Allah, berpegang teguh terhadap firman Allah: 'Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan, Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan'' (Al-Shaff (011: 2-3). Dalam ayat lain Allah berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (AJ-Ahzab [33!: 21), Allah juga berfirman: "Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung" (Al-Qalam [68]: 4).
Dakwah yar.g disampaikan Rasul, senantiasa mengajak kepada kebaikan dan kemaslahatan. Seorang pembaharu haruslah bisa hadir sebagai panutan yang akan diikuti oleh para pengikutnya. Hal ini tidak mungkin akan tercipta, kecuali tindakan mereka sesuai dengan ketentuan dan firman-firman Allah. Sebelum Nabi Muhammad, Allah telah mengutus beberapa utusan (Rasul) untuk teguh pada nilai-nilai kejujuran, amanah, keikhlasan dan tidak bertentangan dengan norma-norma Ilahi.
Terdapat kisah menarik dari kaum Nabi Syu’aib, Allah berfirman: "Mereka berkata, “Hai Syu'aib, apakah sembahyangmu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal (Perkataan ini mereka ucapkan untuk mengejek Nabi Syu’aib). Syu’aib berkata: “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku dari pada-Nya rezki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali’ (Al-Hud [11]: 87-88).
Khulafaur Rasyidin merupakan penerus Rasulullah, dan mereka berpegang teguh pada nilai-nilai yang dijalankan Rasul dari sifat rendah diri, konsistensi dan berakhlak mulia. Dalam kehidupan, walaupun mereka sebagai pemimpin, tidak pernah terpisah dan membedakan diri dengan rakyatnya, baik dari segi pakaian, makanan ataupun kendaraan. Jika mereka datang dalam satu majelis, mereka akan datang bersama rakyatnya hingga majelis usai.
Khalifah Umar r.a. selalu meminta gubernur dan pegawainya untuk rendah diri dan berakhlak mulia, dan berkata, “...Saya menginginkan seorang lelaki yang apabila dalam sebuah kaum ia bukan seorang pemimpin, maka seolah-olah ia adalah pemimpin mereka. Dan jika ia adalah pemimpin mereka, maka seolah-olah ia adalah bagian dari mereka.” (memiliki persamaan kemuliaan dan rendah diri dengan rakyatnya).
Diriwayatkan, suaiu ketika Khalifah ’u'mar r.a. tergesa-gesa datang untuk khutbah Jum’at, ia mengenakan pakaian ‘Burdah’ yang terdapat 21 lubang jahitan, di bawahnya terdapat baju gamis yang belum kering selepas dicuci. Kemudian beliau naik ke atas mimbar dan berkata, “Baju gamis ini telah menahanku untuk bersegera datang kepada kalian, aku menunggu baju ini hingga kering, dan aku datang kepada kalian, karena sesungguhnya aku tidak memiliki baju gamis selain yang ini.”

Dinwayaikan, khalifah pernah mendapatkan hadiah dari gubernurnya ds Azerbaijan, Utbah bin Farqad. Kemudian utusan itu diunya oleh Khalifah: *Apakah semua masyarakat di sana menikmati makanan ini?' Utusan itu menjawab: “Tidak wahai Amitul Mukminin, ini adalah makanan khusus’. Khalifah berkata: “Bawalah hadiah ini, kembalikan kepada permakny a, dan katakan padanya, “Bertakwalah kepada Allah, kenyangkanlah iaurr. Muslimin dengan makanan yang engkau makan hingga kenyang’
Diriwayatkan, putra Khalifah, Abdullah bin Umar, sedang makan lipatan daging, beliau berkata, “Apakah karena engkau anak Amirul Mukminin, maka engkau memakan daging, sedangkan rakyat dalam kondisi sangat membutuhkan? kecuali engkau makan roti dengan garam, atau roti dengan minyak.” Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah berkata: ‘Suatu ketika. Khalifah Umar r.a. melihat daging yang menggantung pada kedua tanganku." Kemudian beliau bertanya: “Hai Jabir, apa yang engkau bawa?” Jabir menjawab: “Ini adalah daging yang aku inginkan, maka aku membelinya.” Kemudian Khalifah kembali bertanya, “Apakah setiap kali engkau menginginkan sesuatu, engkau akan membelinya? Tidakkah engkau takut jika di hari kiamat nanti, akan dikatakan kepadamu: 'Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini tamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah meny ombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik’ (Al-Ahzab [331:20).
Ketika Khalifah ingin memerintah atau melarang sesuatu kepada kaum Muslimin demi kemaslahatan mereka, selalu dimulai dari keluarganya seraya memberikan nasihat dan ancaman bagi yang menenungnya. Diriwayatkan, Khalifah Umar r.a. sedang membagi-bagikan pakaian bulu kepada kaum wanita Madinah. Setelah dibagikan, pakaian tersebut tinggal satu dan masih bagus. Salah seorang dari mereka berkau, “Berikanlah - —pakaian ini kepada Ummi Kultsum binti Ali ” Khalifah menjawab, “Ummu Salith lebih berhak untuk mendapatkannya, karena dia merupakan erang yang dibaiat Rasulullah yang telah menjahit sarung pedang kiu pada perang Uhud.”


Berakhlak Mulia, Adil dan Penyayang
Eenamya, seorang pemimpin harus lemah lembut, bijaksana dan adil dalam memberikan keputusan kepada masyarakat. Perhatian terhadap persoalan rakyatnya, memberikan nasihat ketika mereka melakukan
kesalahan dan memberikan semangat (motivasi) jika mereka melakukan kebenaran. Memberikan argumen kepada mereka secara bijaksana, sehingga mereka merasa nyaman dengan pendapatnya. Sifat dan karakter ini telah melekat dalam diri Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin.
Allah berfirman: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman’ (Al-Syu’ara [26]: 215). Dalam ayat lain Allah berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik..." (Al-Nahl [16]: 125).
Khalifah Umar r.a. memberikan wasiat kepada Gubernur Mesir, Abu Musa al-Asy’ari, dan berkau: “...Tengoklah kaum Muslimin yang sedang sakit, dan saksikanlah jenazah mereka, bukakanlah pintu rumahmu untuk mereka, gembirakanlah persoalan mereka dengan kehadiranmu, engkau adalah bagian dari mereka, sebab Allah memberimu beban yang lebih berat. Jika ada rakyatmu yang mengadukan engkau dan keluargamu tentang pakaian, makanan dan kendaraan yang tidak sama dengan milik kaum Muslimin, ingatlah wahai hamba Allah, engkau layaknya binatang ternak yang lewat pada padang rumput yang hijau, yang tidak memiliki tujuan kecuali untuk menggemukkan badan, akan tetapi, akhirnya ia mati karena kegemukan. Ketahuilah, sesungguhnya, ketika seorang pegawai melakukan penyelewengan, maka rakyatnya akan melakukan hal yang sama. Orang yang paling celaka di antara manusia adalah orang yang membuat celaka dan sengsara manusia, Wassalam."
Khalifah Ali juga memberikan nasihat kepada Gubemut Mesir, Asytar al-Nukha’i, “Berlakulah adil kepada Allah, adil kepada manusia, dari dirimu, keluargamu dan rakyatmu. Jika kamu tidak berlaku adil, maka kamu akan bertindak zalim. Barang siapa bertindak zalim kepada “hamba Allah, maka Allah akan menyeteruinya di hadapan homba-Nya. Barang siapa yang diseterui Allah, maka batallah argumennya (hujjah) dan Allah akan memeranginya hingga ia meninggal atau bertaubat.
Jadikanlah jalur tengah sebagai persoalan yang engkau sukai dalam menegakkan kebenaran. Di samping itu, engkau juga harus mampu memberikan keadilan dalam setiap persoalan dan sesuai dengan ridha (persetujuan) rakyat. Jika masyarakat benci atas suatu perkara, maka bisa ditutupi dengan kerelaan sebagian, dan jika sebagian benci, maka bisa diampuni dengan kerelaan masyarakat. Janganlah engkau samakan orang yang baik dengan yang jelek dalam posisi sama. Karena, hal ini 
akan memotivasi orang untuk melakukan kebaikan, dan sebagai pelajaran bagi orang yang berbuat kejelekan. Bebankanlah pada masing-masing sesuai denga kemampuan dirinya."
Diriwayatkan dari Rasulullah, dan bersabda: *Orang yang paling penyayang di antara umatku kepada umatku adalah Abu Bakai; orang yang paling keras dan teguh pada agama adalah Umar r.a., sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran dari hati dan lisan Umar r a., orang yang paling jujur dan pemalu adalah Utsman, dan orang yang paling adil dalam membuat keputusan adalah Ali r a."
Khalifah Umar r.a. dikenal dengan kekerasan dan keteguhannya dalam menjalankan agama, namun beliau berusaha untuk khusyu’ kepada Allah dan berkata: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang keras, maka lemahkanlah aku, Ya Allah, sesungguhnya aku adalah sangat lemah, maka kuatkanlah aku, Ya Allah, aku adalah orang bakhil (kikir), maka dermawanfcanlah aku." Pada usia menjelang kewafatannya, beliau berkata: ‘Ya Allah engkau telah memberikan usia tua kepadaku, dan melemahkan kekuatanku, engkau sebarkan rakyatku, wafatkanlah aku dengan tanpa tersia-siakan dan durhaka. Ya Allah, berikanlah syahadah (mati syahid) di atasjalan-Mu, dan jadikanlah kematianku di negeri Rasul-Mu."


Musyawarah dan Partnership
Seorang pemimpin diwajibkan untuk bermusyawarah dengan para bawahannya, karena akal pikiran dan intelektual manusia tidak mungkin menguasai semua persoalan, dan pendapat orang banyak lebih bisa dipertanggungjawabkan daripada pendapat pribadi. Ini merupakan salah satu prinsip dalam Islam, dan wajib dipegang dalam kehidupan.
Rasulullah senantiasa bermusyawarah dengan para sahabat atas satu persoalan yang tidak ada ketentuan nash dari Allah secara jelas. Beliau menghormati pendapat individu dan jamaahnya, serta konsen terhadap pendapat tersebut. Hal ini tercetmin dalam peristiwa perang Badar, ketika Rasul dan pasukan turun ke temp2t lebih tinggi dari air. Kemudian Khabab bin Mundzir mendatangi beliau, dan berkata: “Ya Rasulullah, apakah engkau memandang bahwa tempat ini adalah tempat yang diturunkan Allah kepada kita, dan kita tidak boleh maju atau mundur, apakah ini hanya pendapat pribadi dan strategi perang?” Rasulullah menjawab: “Tidak, ini hanya pendapat pribadi dan strategi perang. Mundzir berkata, “Ya Rasulullah, jika demikian, ini bukanlah tempat yang strategis, bangkitlah engkau beserta pasukan ke tempat lebih rendah dari sumber air, dan bertempatlah di situ. Kemudian, kami membuat lubang sumur di belakangnya, serta membangun danau yang dipenuhi air. Kemudian kita akan berperang, kita akan mendapatkan minum, sedangkan mereka tidak.” Rasulullah bersabda: ‘Engkau telah mengisyaratkan pendapat yang tepat. ‘ Kemudian Rasul menjalankan apa yang dikatakan oleh Khabab bin Mundzir.
Prinsip musyawarah dan kerja sama ini juga diterapkan dalam kepemimpinan Abu Bakar, JJmar, Utsman dan Ali. Mereka memberikan kesempatan yang seluas-ktasnya kepada rakyat untuk menyampaikan pendapat atas berbagai persoalan kehidupan. Pada masa Khalifah Umar r.a., kaum Muslimin berhasil menaklukkan dan membebaskan negara Irak dari tangan Persia, banyak penduduknya yang masuk Islam. Menurut pendapat Umar r.a. haru perang yang berupa Unah pertanian, tidak usah dibagikan kepada para Mujahidin (pasukan perang), unah itu dibiarkan dikelola oleh pemiliknya. Kemudian, pemilik lahan tersebut akan dibebankan pajak yang akan diserahkan kepada Baitul Mal. Lalu, harta (hasil pajak) itu dibagikan kepada orang yang berhak menerimanya secara proporsional.
Alasan pendapat Umar r.a. adalah, jika unah pertanian ini dibagikan kepada para mujahidin, maka mereka akan meleukkan senjata dan tidak pergi berjihad. Mereka akan sibuk mengurus unah pertanian, sedangkan mereka tidak memiliki keahlian untuk mengelolanya, maka kesuburan tanah (hasil budi daya) akan menurun. Selain itu, akan memicu munculnya golongan feodal, di sisi lain akan meninggalkan orang-orang yang tidak memiliki unah menjadi lemah dan tersia-sia. Para tokoh-tokoh perang tidak akan mendapatkan hak dan rizkinya. Pendapat Umar r.a. ini mendapat pertenungan keras dari para sahabat. Ketika pertenungan ini memuncak, Khalifah Umar r.a. berkau: “Sesungguhnya saya hanya ingin menyampaikan pendapat yang saya lihat lebih tepat." Kemudian masyarakat bubar unpa ada satu kesepakatan pun.
Pada pertemuan yang lain, Umar r.a. memanggil sahabat Anshar dan Muhajirin yang dikenal rnaung pemikiran dan pengalaman. Khalifah mengawali pertemuan ini dan berkau: “Sesungguhnya saya memanggil kalian untuk bersama-sama menanggung beban amanah dari persoalan kalian semua: Saya hanyalah satu dan bagian dari kalian. Hari ini kalian akan memutuskan perkara kebenaran. Saya memberi kebebasan kepada kalian untuk sepakat atau bertentangan denganku, saya tidak ingin kalian mengikuti hawa nafsuku. Beserta kalian ada kiub Allah yang akan ber


bicara tentang kebenaran. Demi Allah, jika saya ingin menyampaikan suatu perkara, maka tidak aku maksudkan kecuali sebuah kebenaran.”
Khudzaifah bin Aliman menemui Khalifah, dan ia menemukannya dalam keadaan sedih dan menangis. Khudzaifah bertanya: “Apa yang terjadi pada engkau, wahai Amirul Mukminin?” Umar r.a. berkata: “Saya khawatir jika saya melakukan satu kesalahan, di antara kalian tidak ada yang mengingatkanku, karena hormat kepadaku." Khudzaifah menjawab: “Demi Allah, jika aku melihat engkau keluar dari suatu kebenaran, maka akan aku kembalikan engkau kepadanya.” Umar r.a. sangat bahagia mendengarnya, dan berkata: “Alhamdulillah, telah memberikanku sahabat yang akan meluruskan aku ketika melakukan penyelewengan.” Kemudian beliau berkata kepada jama’ah: “Janganlah kalian menyampaikan pendapat yang engkau sangka sesuai dengan hawa nafsuku. Namun sampaikanlah pendapat yang engkau anggap sesuai dengan kebenaran."
Konsep musyawarah dan kerja sama ini tidak hanya ditunjukkan sahabat Umar r.a. ketika bertukar pendapat dengan para sahabat. Namun, beliau juga menyampaikan keputusan dan menjelaskan sebab-sebab pengambilan keputusan tersebut. Sehingga para jamaah mengetahui secara detail dan bisa berdiskusi dengannya. Jika beliau memutuskan sesuatu, pasti berdasarkan persetujuan para sahabat. Jika jamaah memiliki pendapat lain, beliau akan mendengarkannya dan merumuskan kembali keputusannya. Sehingga, beliau sangat dekat dengan para sahabat.
Khalifah Umar r.a. sangat dekat dengan para sahabat dan rakyatnya, setidaknya hal ini ditunjukkan dalam beberapa peristiwa. Setelah mencopot Khalid bin Walid dari kepemimpinan, beliau mengumpulkan kaum Muslimin di kota Madinah, dan berkata: “Saya mohon maaf kepada kalian semua atas pencopotan Khalid, sesungguhnya saya perintahkan Khalid untuk menahan harta ini bagi orang-orang lemah kaum Muhajirin. Tapi, kemudian Khalid memberikan kepada orang-orang mulia, pejabat dan para penyair." Abu Amr bin Hafsh bin Mughirah bangkit dan berkata:
' Demi Allah, saya tidak memaafkanmu ya Umar, engkau telah mencopot seorang pemuda yang telah diangkat pegawai oleh Rasulullan. Engkau telah memasukkan pedang ke dalam sarungnya, pedang yang telah terhunus oleh Rasulullah. Engkau telah merendahkan seseorang yang telah diangkat derajatnya oleh Rasulullah, engkau telah memutuskan tali sila- turrahim, engkau hasud kepada Bani al-Amm.” Khalifah Umar r.a. hanya tersenyum bersahaja, dan berkata: “Sesungguhnya engkau adalah orang yang paling dekat di antara kerabat, dan masih muda, engkau marah pada persoalan anak paman engkau?.”
Ini merupakan sifat seorang pemimpin, bukan seorang hakim yang mengadili. Sifat seorang guru yang sangat mulia yang syarat dengan kemampuan untuk melaksanakan keadilan dan menunjukkan kepada mereka. Senantiasa berdiskusi dengan para bawahan, sehingga mereka menjadi pengikut yang loyal dan setia, tidak terpaksa, menjauh dan menyia-nyiakan persoalan. Sifat-sifat ini bukanlah sesuatu yang aneh bagi Umar r.a., karena beliau adalah lulusan madrasah yang diajar langsung oleh Rasulullah, yang mampu memberikan suri teladan yang baik dan mengajarkan kepada keutamaan dan akhlak mulia.
Suatu ketika Umar r.a. dan para sahabat lain sedang bercengkrama dengan Rasulullah, kemudian datanglah seorang penduduk desa menghadap Rasul, dan berkata: “Berikanlah harta kepadaku, sesungguhnya harta itu bukan milikmu, dan bukan milik bapakmu." Kepada penduduk desa ini, Rasul tersenyum, dan bersabda: “Engkau benar, sesungguhnya harta ini milik Allah.” Melihat pemandangan ini, Umar r.a. bergegas ingin menampar orang desa ini. Namun, Rasulullah mencegahnya dengan halus dan berkata: “Sesungguhnya Allah ridha kepada kalian atas 3 perkara; jika engkau beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, jika kalian mau berpegang teguh pada tali Allah dan tidak saling terpecah belah, dan jika kalian saling memberi nasihat dengan para pemimpin yang telah dipercaya Allah untuk mengurusi persoalan kalian.”
Dengan fakta ini dapat dikatakan bahwa musyawarah dan kerja sama bukanlah hayalan kosong, dan bukan pula bentuk penipuan terhadap rakyat. Tapi merupakan tanggung jawab penduduk untuk bekerja sama dengan para pemimpin, mereka memiliki hak untuk mengutarakan pendapat dan kehendak mereka. Mereka merasa memiliki hak untuk berdiskusi dengan penuh kejujuran, pendapat mereka akan dihormati dan diperhitungkan, dan keselamatan mereka akan tetap teijaga (tidak terintimidasi). Dengan demikian, akan lahir sebuah masyarakat yang pemberani dalam mengutarakan pendapat dan dapat dipertanggungjawabkan perkataan dan perbuatannya."


Pelatihan (Training)
Pelatihan merupakan elemen penting untuk meningkatkan kemampuan seorang pemimpin dalam menjalankan sebuah organisasi. Sebuah proses untuk mengembangkan dan menyediakan tenaga-tenaga handal yang mampu menunaikan tanggung jawab mereka dengan sebaik mungkin. Pada tahap awal pengembangan Islam, Rasulullah konsen untuk mencetak
pribadi-pribadi unggul yang akan menempati posisi strategis bagi masa depan Islam. Rasulullah mengawali dengan memberikan pelatihan kepada ahli fiqh, selanjutnya mereka akan diutus ke kota-kota guna mengajarkan agama kepada masyarakat luas.
Dalam rangka memperluas wilayah kekuasaan Islam, Rasulullah menaklukkan beberapa negara di Jazirah Arab. Sebelumnya, Rasulullah telah melakukan persiapan dengan mengutus beberapa sahabat untuk belajar membuat peralatan perang. Beliau mengutus dua orang sahabat pergi ke Yaman untuk belajar membuat peralatan perang. Penduduk kota Thaif merupakan pioneer dalam menggunakan alat pelempar batu.8 Ketika Rasulullah berhasil menaklukkan kota kaum musyrikin, beliau membiarkan kaum intelektual untuk tetap hidup, mungkin disisa hidupnya bisa dimanfaatkan untuk kemajuan Islam.
Rasulullah juga memperkenankan kaum wanita untuk berpartisipasi dalam setiap peperangan, tentunya setelah mendapat arahan dan pelatihan dari Rasul. Kaum wanita ini membantu korban-korban perang yang terluka, menyediakan segala kebutuhan logistik, seperti makan dan minum. Saad bin Muadz mendirikan tenda khusus untuk Rafidah guna memberi pertolongan para korban perang yang terluka, begitu juga dengan saudara perempuan Rafidah yang bernama Ka’bah binti Said al-Abisi, dan juga Ummu Salith yang bertugas menjahit sarung pedang. Pada masa Rasulullah, kaum wanita memiliki peran penting, seperti sebagai da’i, pengajar, perawat, pemberi minuman, penjahit dan lain-lain.9
Para khalifah juga konsen untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan para pegawainya yang tersebar di beberapa wilayah. Pada masa Khalifah Umar r.a. kota Madinah dijadikan sebagai pusat pembelajaran (leaming center) yang telah banyak melahirkan hakim, pejabat, panglima perang atau para pemimpin. Sebelum mereka diutus menjalankan tugas di berbagai daerah, mereka diuji terlebih dahulu.
Suatu ketika, Khalifah Umar r.a. sedang duduk bersama Ka’ab bin Siwar. Tiba-tiba datang seorang wanita mengadukan persoalan suaminya. Kemudian Khalifah Umar memerintahkan Ka’ab untuk memberikan putusan di antara keduanya. Ketika telah usai memberi keputusan. Khalifah Umar merasa takjub dan belum pernah terpikir dalam hatinya.
dan berkata kepada Ka'ab: “Pergilah ke Bashrah untuk menjadi hakim di sana’’.10
Pada masa kekhalifahan Umar r.a., musim haji dijadikan sebagai ajang pertemuan tahunan para pejabat dan pemimpin pemerintahan yang tersebar di berbagai wilayah. Mereka saling bertukar pendapat, pemikiran dan pengalaman terkait dengan persoalan manajemen yang mereka hadapi, dan bersama-sama membahas persoalan yang ada, begitu juga dengan surat-surat panjang yang dikirimkan Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali kepada para gubernur di berbagai daerah yang berisi prinsip-prinsip manajemen, petunjuk dan nasihat dalam persoalan keadilan, putusan dan perlakuan yang sama bagi rakyat. Petunjuk untuk berlaku adil dan bersikap baik dalam melayani persoalan umat, mengajak para pejabat untuk zuhud, moderat dan menolak pemberian hadiah, mencukupi segala kebutuhan rakyat, serta mengunjungi mereka jika jatuh sakit.
« Last Edit: 17 Mar, 2018, 08:35:10 by Admin »

Admin

  • Administrator
  • Abadan fi Ma'had
  • ***
  • Admin No Reputation.
  • Join: 2013
  • Posts: 2615
  • Logged
Re: Fungsi Kepemimpinan dalam Islam
« Reply #1 on: 17 Mar, 2018, 07:47:49 »

Pendelegasian
Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab merupakan persoalan penting bagi kemaslahatan seorang pemimpin. Hal ini mengingat bahwa pemimpin adalah manusia biasa yang sarat keterbatasan dan tidak mampu menjalankan semua tugas dan tanggung jawab. Oleh karena itu, ia harus mendelegasikan sebagian wewenang dan tanggung jawab kepada bawahan untuk menjalankan tugas-tugasnya. Dengan adanya pendelegasian ini, akan berpengaruh terhadap psikologi seorang bawahan, la akan merasa bahwa ia mendapat kepercayaan dari seorang pemimpin untuk mengemban sebuah tanggung jawab, dan hal ini akan memicu motivasi bawahan untuk menjalankan tugas secara amanah, bertanggung jawab dan profesional.
Dalam berbagai kesempatan, Rasulullah mendelegasikan sebagian wewenang dan tanggung jawab kepada para sahabat, di antaranya Rasul mengutus beberapa sahabat untuk mengajarkan agama kepada masyarakat Arab, dan menarik harta zakat sebagaimana dilakukan Muadz bin Jabal di Yaman. Ketika seorang utusan datang kepada pemimpin kabilah, senantiasa disertai kewajiban untuk menarik haru fai’, memerinuhkan kepada mereka untuk memberikan kabar kebaikan kepada masyarakat,

 
‘Ibid, hlm. 103. *!bid, hlm. 104.

 
mengajarkan Alquran dan ilmu-ilmu agama. Berwasiat kepadanya untuk berlaku lemah lembut kepada manusia dalam kebenaran, mencegah mereka untuk berbuat kezaliman, mencegah tindak kemusyrikan dalam berdoa, dan doa hanya untuk Allah, tiada sekutu bagi-Nya, dan selalu mengingatkan kaum Muslimin untuk membayar zakat.
Khulafaur Rasyidin juga menjalankan proses pendelegasian wewenang dan tanggung jawab sebagaimana Rasulullah. Dr. Kard Ali menyatakan: “Manajemen pemerintahan yang dijalankan Umar r.a. sebagaimana manajemen Abu Bakar sebelumnya, yakni memberikan kebebasan kepada para sahabat untuk mengurusi persoalan yang bersifat lokal, namun tetap memberikan batasan-batasan yang bersifat global, serta melakukan pengawasan dalam setiap kondisi.”11

Pengawasan dan Auditing
Keduanya merupakan persoalan penting bagi kemampuan interpersonal seorang pemimpin, dan ini merupakan kewajiban derivatif selelah pemimpin mendelegasikan sebagian wewenang dan tanggung jawab kepada bawahannya. Seorang pemimpin yang sukses, tidak akan memberikan kebebasan mutlak bagi bawahannya tanpa adanya intervensi dan pengawasan. Pengawasan dan kontrol harus tetap dijalankan agar para bawahan menjalankan tugas-tugas sesuai prosedur dan tetap konsisten terhadap tujuan yang ingin dicapai, sehingga mereka bertanggung jawab terhadap kewajibannya.
Khalifah Umar r.a. berkata kepada sahabatnya: “Apakah engkau tidak melihat mereka, jika aku angkat pegawai dari orang yang paling pandai (mengerti) di antara kalian, kemudian aku perintahkan untuk berbuat adil, apakah hal itu telah membebaskan tanggunganku?" Kemudian para sahabat menjawab, “Benar." Umar berkata: “Tidak, hingga aku melihat kinerjanya, apakah ia menjalankan perintahku atau tidak?." Barang siapa di antara pegawaiku melakukan suatu kezaliman kepada seseorang, dan kezalimannya telah sampai kepadaku, tapi aku tidak mengubahnya, maka aku telah berbuat zalim kepadanya."

Kemampuan Teknis
Bisa diartikan sebagai pengetahuan dan kemampuan khusus yang dimiliki seorang pemimpin untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab dengan sebaik mungkin, atau kemampuan untuk menggunakan peralatan tertentu guna memerlancar pekerjaan. Seorang pemimpin yang memiliki kemampuan teknis akan menjadi panutan bagi bawahannya, la akan dijadikan sebagai rujukan dan referensi para bawahan tentang sesuatu yang lidak mereka ketahui, sehingga mereka akan sangat hormat kepadanya.
Akan tetapi, hal ini tidak mengharuskan seorang pemimpin untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang bersifat detail, karena waktunya telah terkuras untuk mengatur manajemen organisasi. Setidaknya, kemampuan ini bisa membantunya untuk membuat perencanaan, penentuan aktivitas pekerjaan dan mendelegasikannya kepada bawahan. Kemudian dilakukan pengawasan dan kontrol terhadap kinerja bawahan, agar mereka konsisten menjalankan perencanaan.
Rasulullah merupakan contoh ideal bagi para sahabatnya dalam menyelesaikan suatu persoalan. Rasulullah menggunakan kedua tangannya untuk membangun Masjid Madinah bersama para sahabat, berada di barisan terdepan pasukan perang, sehingga darah menetes dari lukanya. Beliau mengetahui adat kebiasaan kaum Arab dan karakter mereka, dan mampu berdiskusi dengan mereka secara lemah lembut. Ali berkata kepada Rasul: “Ya Rasulullah, kita adalah anak keturunan dengan bapak yang sama, dan aku melihat engkau berbicara dengan beberapa golongan Arab yang tidak dapat kami pahami." Rasul menjawab: “Tuhanku telah mendidikku, maka sempurnalah pendidikanku, saya tumbuh dan dipelihara di Bani Saad."
Khalifah Umar r.a. juga memiliki kemampuan teknis yang memadai, khususnya terkait dengan sistem peradilan. Beliau memahami seluk beluk sistem peradilan dan perilaku seorang hakim. Untuk itu, Khalifah menuliskan surat kepada gubernur Abu Musa ai-Asy’ari yang berisi tentang tuntunan menjalankan sistem peradilan. Begitu juga dengan Khalifah Ali yang memiliki kelebihan dalam bidang fiqh dan peradilan, serta memiliki ilmu waris secara sempurna.
Diriwayatkan, seorang wanita datang kepada Khalifah Ali r.a. dan berkata: “Wahai Amiml Mukminin, apakah engkau rela jika saudara laki-laki meninggal, ahli warisnya tidak memberiku harta warisan kecuali satu dirham? Mereka jumlahnya sangat banyak, dan saudara laki-laki itu meninggalkan 600 dirham kepada mereka." Sahabat Ali menjawab: “Mungkin saudara laki-laki engkau telah meninggal, dan ia meninggalkan

dua anak perempuan dan seorang istri, apakah engkau memiliki 12 saudara laki-laki?” Wanita itu berkata: “Benar." Kemudian Ali berkata: “la telah membagikan harta warisan kepada ahlinya secara sempuma, jika para jamaah menghitung semua bagian ahli waris, maka bagian untuk saudara perempuan hanyalah satu dirham.”

Keyakinan terhadap Tujuan dan Menjelaskan kepada Jamaah •
Keyakinan terhadap tujuan dan bersungguh-sungguh untuk merealisasikannya, merupakan pilar bagi keberhasilan seorang pemimpin. Para pemimpin Muslim telah memberikan contoh ideal tentang kekuatan keyakinan mereka terhadap tujuan. Konsisten untuk berusaha mewujudkan impian tersebut dengan segenap pengorbanan harta dan jiwa. Kisah Rasulullah bersama pamannya, Abu Thalib, mencerminkan kuainya keyakinan Nabi Saw. terhadap tujuan yang diimpikan, dan memiliki tekad yang kuat untuk mewujudkannya.
Ketika kaum Quraisy mengancam akan memberikan siksaan kepada Nabi, Abu Thalib berkata. “Pergilah engkau, dan janganlah engkau bebankan sesuatu yang tidak kuasa aku menanggungnya.” Rasulullah menjawab. “Demi Allah, jika mereka meletakkan matahari di tangan kanan saya, dan mereka meletakkan rembulan di tangan kiri saya, dan memintaku untuk meninggalkan persoalan ini (dakwah), maka tidak akan aku lakukan, sehingga Allah memperlihatkannya atau menghancurkannya."
Rayuan dan ancaman senantiasa datang kepada Rasulullah, suatu ketika Utbah bin Rabi’ah al-Abisi dari Bani Abd Syams bin Abd Manaf, datang kepada Nabi, dan berkata: “Jika engkau menginginkan harta dengan persoalan yang engkau bawa, maka akan kami kumpulkan harta- harta kami, sehingga engkau adalah orang yang paling kaya di antara kami. Jika engkau menginginkan kekuasaan, maka engkau akan kami angkat sebagai raja, dan jika engkau menginginkan pangkat jabatan (kemuliaan), maka akan kami angkat engkau sebagai tuan kami, sehingga kami tidak akan memutuskan perkara kecuali dengan engkau. Jika memang yang engkau bawa ini mimpi dari jin yang tidak mampu engkau kembalikan dari dirimu, maka akan kami cari dokter dan kami sumbangkan harta kami untuk menyembuhkan engkau..." Rasulullah kemudian bersabda: “Apakah engkau sudah selesai wahai Abu al-V/alid? “ Abu Walid menjawab: “Ya.” Rasulullah bersabda: “Dengarkanlah aku, kemudian Rasulullah membacakan awal surat Fussilat dengan ayat, “jika mereka berpaling maka katakanlah: “Aku telak memperingatkan kamu dengan petir,


kepada mereka dari depan dan belakang mereka (dengan menyerukan): “Janganlah kamu menyembah selain Allah.” Mereka menjawab: “Kalau Tuhan kami menghendaki tentu Dia akan menurunkan malaikat-malaikat-Nya, maka sesungguhnya fcami kafir kepada wahyu yang kamu diutus membawanya" (Fussilat {411:13-14).
Ketika mendengar ayat ini, Utbah merasakan sesuatu dan tidak bisa menolaknya, ayat ini telah memengaruhi hatinya. Setelah ia datang kepada kaumnya, dan menceritakan apa yang telah ia dengar, kaumnya berkata: “Sesungguhnya Muhammad telah menyihir engkau.”
Kekuatan keimanan yang dimiliki Rasul untuk teguh terhadap kebenaran menyebabkan kuatnya keyakinan kaum Muslimin terhadap dakwah dan perintah Rasul. Di antara contoh kuatnya keimanan ini adalah perkataan Miqdad ketika Rasulullah menawarkan berperang: “Ya Rasulullah, lakukanlah sebagaimana apa yang diperintahkan oleh Allah, dan kami tidak akan mengucapkan sesuatu seperti apa yang diucapkan kaum Yahudi terhadap Musa a.s.: “Mereka berkata: "Hai Musa, kami sekali-sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja’ (Al Maidah {51: 24), tapi kami akan berkata: “Jika engkau menyuruh kami untuk menyelami lautan bersama engkau, maka kami akan menyelaminya."
Hal senada juga pernah dilakukan Khalifah Abu Bakar untuk meredam fitnah kemurtadan. Setelah wafatnya Rasulullah, Abu Bakat mendapatkan pertentangan dari Urnar r.a. dan sebagian sahabat, kemudian beliau berkata kepada sahabatnya: “Demi Allah, jika rombongan onta ini mencegahku sebagaimana mereka lakukan terhadap Rasulullah, maka akan aku bunuh mereka atas persoalan ini." Umar r.a. berkata: “Saya melihat bahwa Allah telah melapangkan hati Abu Bakar untuk berperang, maka aku mengetahui bahwa itu adalah kebenaran.”
Keyakinan terhadap tujuan tidak akan sempurna kecuali dijelaskan dan ditransfer kepada seluruh lapisan masyarakat, agar mereka dapat memahami dan menjadikan pemimpin sebagai teladan untuk merealisasikannya. Sahabat Khulafaur Rasyidin menjelaskan dan menyampaikan tujuan yang ingin dicapai melalui pembicaraan langsung, atau menuliskan surat kepada para pemimpin di berbagai daerah. Langkah ini pernah ditempuh Khalifah Umar r.a. ketika dilantik menjadi khalifah.

Manajemen Syariah
Beliau menyampaikan khutbah yang sangat panjang dan menjelaskan tujuan, mekanisme kerja dan tanggung jawabnya di hadapan masyarakat Muslim. Dan harapan beliau kepada masyarakat untuk memberikan nasihat dan bermusyawarah kepadanya, serta mencegah tindak kezaliman dan yang sesuatu yang dilarang Allah.
Umar r.a. berkata: “Telah sampai kepadaku bahwa masyarakat takut terhadap kekerasanku, dan khawatir terhadap ketegasanku. Mereka berkata, “Umar r.a. adalah orang yang keras dan tegas terhadap kami, sedangkan Rasulullah berada di antara punggung kami, kemudian semakian keras terhadap kami, Abu Bakar adalah pemimpin, bagaimana persoalan ini bisa diserahkan kepadanya? Kecuali orang yang mengatakan ini adalah benar. Saya adalah pembantu dan pelayan Rasulullah, dan beliau adalah orang yang lemah lembut dan penyayang, sebagaimana firman Allah: Kepada orang-orang Mukmin adalah pengasih dan penyayang," di hadapan beliau, aku adalah pedang yang terhunus, sehingga ada orang yang menyarungkan pedang itu, atau meninggalkanku, maka aku terus berjalan. Sikapku selalu begitu di hadapan Rasulullah sampai beliau wafat, tapi beliau tetap rela denganku. Alhamdulillah atas hal ini, saya bahagia dengan hal ini.
Kemudian diangkatlah Abu Bakar sebagai pemimpin kaum Muslimin, beliau adalah orang yang tidak diragukan dakwahnya, kemuliaannya dan kelembutannya. Dan saya adalah pembantu dan pelayan beliau, saya mengombinasikan ketegasan dan kekerasanku dengan kelembutannya, aku adalah pedang yang terhunus, sehingga ada orang yang menyarungkan pedang itu, atau meninggalkanku, maka aku terus berjalan. Sikapku selalu begitu di hadapan Abu Bakar hingga beliau wafat, tapi beliau tetap ridha denganku. Alhamdulillah banyak atas hal ini, saya bahagia dengan hal ini.
Kemudian aku dilantik untuk menjadi pemimpin guna mengurusi persoalan kalian, wahai manusia, ketahuilah bahwa kekerasan itu telah melemahkanku, kekerasan hanya dimiliki orang-orang zalim dan durhaka. Adapun terhadap orang ahli keselamatan, agama dan tujuan, maka aku lemah lembut kepada sebagian dari mereka, dan saya tidak meninggalkan seseorang berbuat zalim kepada satu orang pun, atau durhaka kepadanya sehingga aku letakkan pipinya di atas bumi, hingga ia mengakui kebenaran. Setelah kekerasan dan ketegasan itu, aku akan meletakkan pipiku ke bumi untuk orang orang yang ahli menjaga diri dan mencegah.
Wahai manusia, kalian memiliki hak kepadaku atas beberapa perkara, maka ambillah dariku, kalian memiliki hak untuk tidak ditarik sedikit
 
Fungsi Kepemimpinan dalam Islam
pun dari harta kharraj, dan apa-apa yang telah diberikan Allah (fai’) kecuali dengan ketentuan dari-Nya, kalian memiliki hak atas persoalan yang dibebankan ditanganku, dan tidak akan dikeluarkan kecuali bagi orang yang berhak, kalian memiliki hak untuk ditambah pemberian dan rizki, walaupun kalian jauh, saya tidak ingin kalian mengalami kehancuran, jika kalian pergi dalam perjalanan, aku adalah penanggung nafkah keluarga, hingga kalian kembali.
Bertakwalah kepada. Allah, dan tolonglah aku dengan segenap jiwa kalian, tolonglah aku untuk memerintah kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, dan berikanlah nasihat kepadaku atas persoalan yang telah dilimpahkan Allah kepadaku.



Mampu Melakukan Perencanaan dan Pengorganisasian
Kemampuan untuk melakukan perencanaan dan pengorganisasian merupakan standar dan faktor pembeda antara seorang pemimpin dengan lainnya. Kemampuan ini bisa diartikan dengan kemampuan untuk menjelaskan perencanaan, menentukan program dan kebijakan serta mendelegasikan kepada orang yang berkompeten dengan sumber daya yang dimiliki.
Fakta membuktikan bahwa banyak perusahaan atau organisasi gagal mencapai tujuannya karena tidak adanya perencanaan dan pengorganisasian yang matang, walaupun sumber daya yang tersedia cukup melimpah. Karena perencanaan dan pengorganisasian ini akan mengarahkan aktivitas sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan.
Perencanaan dan pengorganisasian ini telah dibahas dan dijelaskan dalam bab sebelumnya, serta telah dibahas kemampuan perencanaan dan pengorganisasian yang telah ditunjukkan Rasulullah dan para sahabat Khulafaur Rasyidin.


Bertanggung Jawab
Karakteristik lain yang membedakan seorang pemimpin dari yang lain adalah keberaniannya untuk bertanggung jawab terhadap pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Ia tidak pernah lari dari tanggung jawab, tapi akan menanggung segala sesuatu yang merupakan konsekuensi dari pekerjaan, walaupun harus berkorban. Untuk menanggung sebuah beban tanggung jawab, ia harus melakukan beberapa persiapan guna menangani beberapa persoalan terkait dengan pekerjaan, serta memiliki keberanian untuk mengambil keputusan dengan segala konsekuensinya.
Seorang pemimpin yang cerdas dan bertanggung jawab mutlak diperlukan, terlebih dalam kondisi krisis atau terdapat lingkungan yang tidak kondusif. Seorang pemimpin yang sadar, ia akan mampu menjalankan beban dan tugas dengan sebaik mungkin, walaupun dalam kondisi yang sangat buruk. Dalam kondisi ini, peran para bawahan diperlukan untuk menyumbangkan pemikiran dan bersama-sama dengan pemimpin untuk menetapkan keputusan, dengan tingkat kerugian dan pengorbanan seminimal mungkin.

Mengembangkan Organisasi
Seorang pemimpin memiliki tugas utama untuk mengembangkan dan memajukan kinerja perusahaan. Seorang pemimpin seharusnya tidak cepat merasa puas dengan apa yang telah diraihnya, tapi ia tetap harus visioner dan menatap ke depan. Konsen untuk mengembangkan dan meningkatkan performa perusahaan, aktif melakukan inovasi dan pengawasan terhadap kinetja bawahan.
Manajemen pemerintahan yang dijalankan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin menunjukkan kepemimpinan yang aktif untuk melayani masyarakat di siang hari, aktif mengawasi dan memerhatikan kehidupan rakyat di malam hari.
Pengembangan perusahaan dan memajukan performa perusahaan menuntut seorang pemimpin untuk bersikap visioner dan selalu menatap ke depan, la harus senantiasa berdiskusi dengan para ahli dan pakar yang memiliki segudang pengalaman guna memajukan perusahaan.
Sikap ini telah ditunjukkan Khalifah Umar r.a. yang memiliki pandangan cermat, dan selalu konsen terhadap kehidupan para pegawai, pejabat dan rakyatnya dengan sebaik mungkin dan sesuai dengan tujuan Islam. Memerhatikan perilaku dan kinetja mereka agar tidak menyia-nyiakan kehidupan rakyat. Hal ini dilakukan khalifah dengan berkelana dan berkeliling di kampung-kampung untuk meneliti kehidupan rakyatnya. Beliau selalu berpikir bagaimana caranya'untuk mengembangkan kehidupan rakyatnya.
Beliau pernah memberikan isyarat kepada Gubernur Mesir, Amr bin Ash, untuk membangun kanal (Terusan Suess) sebagai media transportasi ekspor-impor barang dari Mesir ke tanah Hijaz, sebagai media transportasi untuk mengatasi paceklik dan busung lapar yang dialami rakyat, sehingga kehiaupan mereka tetap baik. Khalifah juga memiliki pemikiran untuk membagikan tanah pertanian hasil taklukan kepada pasukan perang, membiarkan untuk dikelola pemiliknya dan ditarik pajaknya, sehingga bisa menjadi sumber pendapatan tetap Baitul Mal. Beliau juga mendirikan beberapa diwan di awal sejarah Islam, di antaranya diwan al-Kharrdj, al-Rasail dan al-Jund.
Kepemimpinan bukan berarti membiarkan perusahaan beroperasi sebagaimana layaknya berjalan sehari-hari. Tapi, bagaimana seorang pemimpin mampu membuat terobosan dan program-program untuk mengembangkan dan memajukan perusahaan, la adalah seorang yang visioner, dan selalu menatap ke depan dan melakukan pembaruan bagi kemajuan perusahaan. Melakukan perubahan dan pembaruan bukanlah persoalan gampang, pemimpin dituntut untuk berpikir keras dan memahami kondisi bawahannya. Membuat perencanaan dengan segala sumber daya yang dimiliki, melakukan pengawasan dan kontrol kinerja para pegawai, serta menunaikan hak-hak yang harus diterima oleh pegawai. Dan yang terpenting, bagaimana seorang pemimpin mampu memotivasi bawahannya untuk memaksimalkan sumber daya yang dimiliki guna merealisasikan tujuan.


Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan terkait dengan fungsi kepemimpinan dalam Islam, terdapat beberapa poin yang bisa disimpulkan sebagai berikut.
•   Kepemimpinan dalam Islam bersifat pertengahan, selalu menjaga hak dan kewajiban individu serta masyarakat dengan prinsip keadilan, persamaan, tidak condong terhadap kekerasan dan kelembutan, tidak sewenang-wenang dan berbuat aniaya. Sebagaimana perkataan Umar r.a., Sesungguhnya persoalan ini tidak patut dan layak, kecuali orang yang lembut tapi tidak lemah, orang yang kuat tapi tidak korup (sewenang-wenang)."
•   Kepemimpinan yang konsen terhadap nilai-nilai kemanusiaan, memperhatikan kemuliaannya dan menyertakannya dalam setiap persoalan krusial, dan memperlakukannya dengan sebaik mungkin.
•   Kepemimpinan yang konsen terhadap kehidupan rakyatnya, dan tidak membedakan rnereka kecuali berdasarkan besarnya beban tanggung jawab yang diberikan seorang pemimpin. Sebagaimana perkataan Umar r.a. terhadap Abu Musa al-Asy’ari...” Dan bahagia- kanlah persoalan rakyat dengan kehadiranmu, engkau adalah bagian  dari mereka, tapi sesungguhnya Allah memberikan beban yang lebih berat kepadamu."
•   Kepemimpinan yang konsen terhadap tujuan dan memberikan kepuasan kepada bawahan dengan memberikan suri teladan yang baik, konsisten dan tetap bersemangat serta rela berkorban untuk mewujudkan tujuan. Lihatlah jihad dan upaya yang telah dilakukan Rasulullah dan Abu Bakar untuk menyebarkan dakwah dan memerangi orang-orang murtad.
•   Kepemimpinan yang memiliki kemampuan strategis, konsen terhadap segala faktor internal dan eksternal yang melingkupi organisasi atau perusahaan.

« Last Edit: 17 Mar, 2018, 08:34:54 by Admin »