Hujroh - Forum Pesantren Indonesia Alumni Pesantren Indonesia Forum      Misi Hujroh
 

Main juga kesini sul:
The Ghurfah Kisah Sukses Alumni Alumni di Luar Negeri Bisnis Online Hikayah fi Ma'had Railfans Dunia Pesantren Ekonomi Islam
Forum  Hujroh  The Ghurfah 
PALATABILITAS Bufo melanostictus TERHADAP BEBERAPA MACAM MAKANANALAMIDANPOTEN
Pages: [1]

(Read 301 times)   

liaapri

  • Abadan fi Ma'had
  • ***
  • liaapri No Reputation.
  • Join: 2020
  • Posts: 579
  • Logged

5.   Semut Ordo Hymenoptera (Formica sp)

Semut termasuk dalam Ordo Hymenoptera Famili Formicidae. Semut adalah satu kelompok yang sangat umum dan penyebaranya sangat luas. Kebanyakan semut ini berukuran agak kecil, semut pekerja panjangnya kurang dari 5 mm. Semut mempunyai kelenjar debur yang mensekresi cairan yang berbau busuk, yang kadang-kadang disemprotkan secara paksa dari dubur sepanjang beberapa cm. Semut pemakan biji-bijian dan menyimpannya di dalam sarangnya (Borror et al., 1992).

6.   Cacing Tanah (Lumbricus sp)

Cacing tanah juga merupakan makanan alami kodok. Pada umumya cacing tanah hidup dalam tanah yang subur, banyak humus dan lembab. Cacing tanah jarang hidup dalam tanah yang tandus, asam, dan berpasir atau kondisi lingkungan yang kering. Cacing tanah biasanya hidup dalam suatu lubang, agar terlindung dari hewan pemangsa serta kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan. Tanah persawahan merupakan habitat yang cocok bagi cacing tanah, karena tanah persawahan mempunyai bahan organik yang merupakan makanan bagi cacing tanah (Sutikno, 1990).
 



7.   Ketam-ketaman

Ketam-ketaman juga merupakan salah satu makanan alami kodok. Ketam- ketaman aktif hidup di air, dan dapat sebagai salah satu makanan kodok, karena kodok menyukai makanan yang selalu bergerak dan masih hidup (Susanto,1998).

F.   Palatabilitas Kodok Terhadap Makanan Alami

Palatabilitas menurut Kramadibrata (1996) dapat diartikan sebagai kelezatan, yaitu kelezatan makan sangat ditentukan oleh banyak sedikitnya kandungan senyawa-senyawa kimia tertentu (alkaloida dan fenol). Di antara senyawa tersebut mungkin ada yang bersifat toksik yang akan merangsang respon hewan di luar kisaran toleransinya. Selain itu adanya struktur-struktur yang mengganggu seperti buku-buku dan duri-duri tajam atau lapisan kulit yang keras, semuanya itu akan mengurangi nilai palatabilitas makanan. Ukuran makanan juga sangat berpengaruh bagi hewan karnivora (predator, pemangsa) yang makanannya berupa hewan lain yang tidak sesil, yang mobilitasnya tinggi harus mempunyai ukuran tubuh lebih kecil dari pada ukuran tubuh kodok dan masih dalam batas kemampuan predator untuk menguasai dan melumpuhkan sebelum dapat dijadikan makanannya. Tetapi ukuran tubuh mangsanya juga tidak boleh terlalu kecil agar energi perolehan dari mangsa tidak lebih rendah dari pada energi yang telah dikeluarkan untuk mencari, mengejar, menangkap dan menangani mangsanya. Berdasarkan jumlah spesies organisme yang merupakan makanannya, hewan dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.   Monofag: makanannya terdiri dari satu spesies

2.   Oligofag: makanannya terdiri dari 2 - 3 spesies

3.   Polifag : makanannya sangat beraneka ragam, meliputi lebih dari 3 spesies.
 



Hewan monofag termasuk spesialis makanan karena menunjukkan derajat spesifitas yang tinggi mengenai jenis makanannya, sedangkan hewan-hewan polifag merupakan generalis (Kramadibrata, 1996). Dalam hal ini kodok termasuk hewan polifag yang makanannya sangat beraneka ragam.

G.   Peranan Kodok dalam Pengendalian Serangga Secara Biologis

Serangga merupakan hewan yang dominan dimuka bumi, banyak serangga yang bermanfaat bagi manusia tetapi banyak pula yang berbahaya atau bersifat merugikan bagi manusia. Serangga tersebut menyerang berbagai tanaman termasuk tanaman yang bernilai bagi manusia, merusak, membunuh atau menularkan penyakit pada tanaman. Serangga juga menyerang harta benda manusia termasuk rumah dan persediaan makanan. Keberadaanya juga menggangu, hal ini disebabkan karena bau, gigitan atau sengatan tersebut (Borror et al, 1992).
Serangga makan hampir segala macam makanan. Ribuan jenis serangga pemakan tumbuhan, memakan hampir setiap bagian tumbuhan, misalnya rayap, kumbang, kutu loncat yang memakan daun, aphid makan batang, lundi-lundi putih makan akar, kumbang moncong panjang dan larva ngengat makan buah-buahan. Serangga-serangga ini dapat makan bagian luar tumbuhan. Ribuan serangga bersifat karnivora, makan hewan lain, beberapa adalah pemangsa dan sejumlah Serangga bersifat parasit. Beberapa Serangga seperti nyamuk, kutu, pinjal dan kepiding tertentu tidak hanya hama yang menggangu karena gigitanya, tetapi dapat bertindak sebagai vektor penyakit. Beberapa serangga juga merusak dan memakan bahan yang mengandung selulosa, seperti rayap (Borror et al, 1992). Dalam pengendalian serangga ini harus memperhatikan juga dampak yang ditimbulkan. Penggunaan
 
insektisida untuk mematikan serangga telah banyak dilakukan manusia dan hasilnya dapat diketahui dalam waktu yang singkat, tetapi penggunaan insektisida akan memberikan efek terhadap serangga dan organisme lain serta lingkungan sekitarnya. Pemakaian insektisida dalam menggendalikan populasi serangga akan mengakibatkan terjadinya resistensi serangga tersebut terhadap insektisida. Akibat lain dari penggunaan insektisida adalah tertinggalnya residu yang berbahaya dan masuk kedalam rantai makanan, sehingga dimungkinkan konsentrasi residu yang lebih tinggi akan terakumulasi pada konsumen tingkat akhir di dalam rantai makanan itu. Salah satu pengendalian serangga yang lebih baik dari penggunaan insektida adalah dengan pengendalian secara biologis. Pengendalian secara biologis atau pengendalian secara hayati yaitu dengan memanfatkan musuh alami dari
serangga terebut.

Dalam pengertian ekologi, menurut De Bach dalam Jumar (2000) definisi pengendalian secara biologis atau pengendalian hayati adalah pengaturan populasi organisme dengan memanfatkan musuh alaminya .
Menurut Dwidjoseputra (1991) kodok dalam rantai makanan merupakan konsumen tingkat dua yang memakan konsumen tingkat satu yaitu serangga. Kodok sebagai pemangsa sedangkan serangga sebagai mangsa. Maka kodok di sini dapat dikatakan sebagai pengendali populasi serangga. Kodok merupakan musuh alami dari serangga, dengan sifatnya ini maka kodok dapat berperan untuk mengendalikan serangga terutama serangga hama. Penggunan kodok sebagai musuh alami serangga lebih baik dari pada menggunakan pestisida jenis insektisida (Susanto, 1998).
 

Dengan sifatnya ini diharapkan kodok dapat berperan sebagai pengendali serangga hama.
Dibandingkan dengan teknik pengendali serangga menggunakan insektisida, pengendalian serangga secara biologis mempunyai keuntungan, yaitu relatif aman, tidak menyebabkan resistensi terhadap serangga, bekerja secara selektif dan bersifat permanen. Dikatakan aman karena tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan tidak menimbulkan keracunan pada manusia dan ternak. Musuh alami bekerja secara selektif terhadap mangsanya, karena setiap hewan mempunyai jenis kesukaan terhadap organisme tertentu sebagai mangsanya. Pengendalian hayati atau pengendalian biologis akan bersifat permanen apabila keadaan lingkungan stabil atau terjadi keseimbangan antara hama dengan musuh alaminya. Dalam jangka panjang pengendalian dengan sistem ini relatif lebih ekonomis.
Pengendalian serangga secara hayati atau secara biologis dapat diterapkan dengan berbagai teknik tergantung pada jenis sasaran dan daerah operasionalnya, yang dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, sebagai berikut:
1.   Introduksi, dilakukan dengan cara memindahkan musuh alaminya dari satu daerah atau negara ke daerah atau negara lain untuk mengendalikan serangga yang mengganggu.
2.   Augmentasi, usaha yang menekan pada tindakan untuk meningkatkan jumlah musuh alaminya dan potensinya.
3.   Konsevarsi, usaha pengawetan atau pelestarian musuh alami yang tidak ada di suatu daerah dengan memanipulasi lingkungan (Jumar,2000).